Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Artikel

Dua Hati, Satu Cinta
Penulis:
Sismanto
Email: sirilwafa@ gmail.com

Tanggal 14 Juli 2008 adalah hari bersejarah bagi para guru dan murid di
sekolah saya. Karena pada tanggal itu para murid di sekolah dengan
senangnya memasuki sekolah dengan tas baru, sepatu baru, buku baru, dan
semangat baru. Kebanyakan mereka sudah mempersiapkan jauh-jauh hari
untuk menghadapi tanggal tersebut, dan memang kebanyakan anak didik di
sekolah saya menggunakan perlengkapan sekolah dengan perlangkapan yang
relatif baru. Mereka ingin dengan alat dan perlengkapan sekolah yang
baru akan ada harapan baru dalam asa mereka sebaru perlengkapannya.

Bagi anak TK yang naik tentu akan senang karena pada tanggal ini dia
tidak lagi disebut sebagai anak TK, rasanya mereka akan protes jika
masih dipanggil anak TK. Padahal, terkadang ada juga baju yang mereka
gunakan adalah baju TK, maklum saja jahitan baju yang digunakan untuk
seragam SD belum jadi.

Bagi anak SD yang kemarin kelas enam, tentu hari ini juga akan bersorak
gembira karena dia juga tidak disebut sebagai anak SD, dia menjadi anak
SMP. Baju seragamnya pun tidak mau "merah putih", anak ini akan
selalu menggunakan seragam "biru putih", karena dia ingin
disebut sebagai anak SMP bukan anak SD lagi. Sementara bagi para guru
juga tak kalah senangnya, karena pada tanggal itu juga para guru akan
menyambut kedatangan murid-murid baru di kelasnya. Murid-murid yang
sebelumnya tidak dia kenal, nantinya akan dianggap seperti anaknya
sendiri.

Pun demikian dengan tugas guru di awal tahun pembelajaran, misalnya saja
tahun ini sebelum menyambut kehadiran anak didik yang baru. Saya harus
menyiapkan semua administrasi pembelajaran mulai dari program tahunan
(prota), program semester (promes), sampai pada rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Untuk RPP, dulu kita kenal dengan istilah Rencana
Pembelajaran (RP). hal ini belum lagi pada analis butir soal, analisis
ketuntasan belajar, dan jika kita sebagai wali kelas maka di akhir
semester kita akan menuliskan rapor (hasil belajar) bagi anak didik
kita.

Tentu, hal ini semakin menjadikan saya bersemangat menempuh awal tahun
pembelajaran ini. Berbeda halnya dengan guru yang punya kharakter lain
dalam hal ini saya menyebut dengan istilah "teacher post power
syndrome", jika dulunya dia sebagai guru yang luar biasa di
jamannya, namun tidak pada jaman sekarang. Semoga saja asumsi saya salah
bahwa tidak ada post power syndrom bagi guru. "Anakku, Guru tetaplah
guru dari dulu sampai akhir hayatnya, boleh seorang peserta didiknya
menjadi presiden, menteri, gubernur, tapi guru tetap menjadi guru. Guru
bukanlah Panglima Besar Jenderal Sudirman, pemimpin perang gerilya yang
mempertahankan kedaulatan negara dari para penjajah. Sudirman yang kala
itu berasal dari kalangan guru menjadi tentang. Anakku, gurumu bukanlah
Panglima Sudirman, Gurumu akan tetap menjadi gurumu meskipun engkau
kelak menjadi guru". Sebuah pelajaran terakhir yang saya terima dari
Pak Markidjan, kepala sekolah SD di pelosok pesisir utara dulu ketika
saya di wisuda dari SD.

Hal ini juga mengingatkan saya beberapa bulan yang lalu, tepatnya
Nopember 2007 ketika saya menyampaikan presentasi di depan juri dalam
lomba karya tulis nasional di Jakarta, ada peserta lomba yang mengusung
tema menarik saya kira, namun dia menyampaikan kurang maksimal sehingga
dia tidak bisa lolos sebagai juara pertama dalam perlombaan tersebut.
Tema yang diangkat pun cukup menarik, yakni seputar keteladanan guru
yang kemudian dikerucutkan dengan guru muda dan guru tua (seperti wacana
pilpres 2009 saja, ada istilah calon presiden tuda dan calon presiden
muda). Calon yang terakhir ini yang kemudian disebut dengan calon
alternatif dan terkadang berasal dari calon independen.

Salah seorang juri menanyakan kepada nominator yang menyampaikan
presentasi tadi dengan agak sedikit tertawa "lho, masa ada guru koq
di kotak-kotakkan menjadi guru muda dan guru tua. Berarti seperti saya
dan juga juri di sebelah saya yang tergolong berusia tua juga
digolongkan sebagai guru tua?". tanya seorang juri.

Nominator tadi menjawab dengan agak malu-malu, malu kalau jawabannya
salah atau memang malu belum ada konsepsi itu dalam pendidikan kita.
Tapi nyatanya memang ada. "Bapak, saya memberi label begini ini
hanya untuk menjustifikasi bahwa guru tua itu identik dengan
keengganannya untuk mempersiapkan administrasi pembelajaran,
ketidaksiapannya menghadapi peserta didiknya di kelas, dan keengggananya
meluangkan waktu semenit saja untuk anak didiknya. Guru-guru tua hanya
memperhatikan waktu tugasnya saja di sekolah, ketika masa tugasnya
selesai maka dia akan pulang kerumahnya sebelum anak didiknya sampai di
rumahnya masing-masing. Dan bahkan, bagi guru-guru yang sudah mapan
(katakanlah beberapa oknum guru PNS) ada juga yang hanya datang pada
jam-jam pelajaran yang diampunya saja".

Begitulah pelajaran yang saya ambil hari itu dari salah seorang peserta
lomba dari Sumatera, meski dia masih fresh gradued tapi pemikirannya
luar bisa dan saya memberikan apresiasi atas pemikirannya. Kini hari
ini, hari kali pertama pembelajaran di sekolah mudah-mudahan menjadi
titik awal perjuangan bagi para guru dengan menyatukan dua hati, dua
cinta antara anak didik dengan gurunya di tengah kebanggaan para orang
tua yang melepas anaknya untuk sekolah, di tengah kepercayaan orang tua
menyerahkan amanahnya kepada sekolah lewat anaknya untuk dididik menjadi
generasi penerus bangsa ini, menjadi generasi yang Rabbani menjadi
jiwa-jiwa yang ululu albab.

Semoga saja, kelak jika saya diberi umur panjang dan tetap diberi
kesempatan menjadi guru bagi anak didik saya, keluarga, dan minimal guru
bagi diri saya sendiri, saya menjadi guru yang terus mempertahankan
keteladanan, guru yang selalu menyiapkan waktu dua puluh empat jam untuk
melayani anak didik di tengah kesibukan bersama keluarga. Meski berada
pada pertentangan dinamika profesionalisme guru, saya akan tetap menjadi
pelayan yang baik bagi anak didik saya.

Bagaimana dengan Bapak/Ibu guru?

PS: saya tuliskan cinta ini buat para guru, semoga menjadi guru yang
dapat menyatukan cinta dengan anak didiknya.

Sangatta, 13 Juni 2008
"Jadilah guru diri sendiri, sebelum menjadi guru orang lain

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.