Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Bank Syariah dan Perlawanan Terhadap Imperialisme Sistem Uang Kertas

Oleh : Muhammad Sirul Haq

Pertanyaan mendasar mampukah bank syariah bertahan ditengah kondisi sistem keuangan yang dibangun berdasarkan sistem barat (baca : kafir). Tentu jawabannya teramat sulit, apalagi sistem keuangan barat telah berakar jauh mengalahkan sistem perbankan syariah. Dan terutama Indonesia, telah terjebak mulai dari kemerdekaan hingga hari ini pada sistem keuangan global yang lebih bermain pada pemberlakuan uang kertas bukan berdasarkan dinar dan dirham yang merupakan dasar mata uang yang semestinya dipakai oleh perbankan syariah.

Dalam acara seminar internasional ekonomi syariah yang berlangsung di Wisma Antara, Jakarta, hari ini (Kamis 13/8) Mantan Dirut Bank Muamalat Indonesia, Dr. Ahmad Riawan Amin mempertegas penyebab miskin umat Islam di Indonesia. Menurutnya, penyebab kemiskinan tersebut adalah bangsa ini masih terus terjebak pada satanic finance atau sistem keuangan setan yang diprakarsai negara-negara Barat.

“Ada tiga pilar yang menjadi kekuatan sistem keuangan setan. Yaitu, uang kertas, dibolehkannya bank melakukan pencetakan uang, dan sistem riba,” papar praktisi perbankan syariah yang aktif menulis buku tentang pentingnya penerapan sistem ekonomi syariah (Riawan Amin: Satanic Finance Bikin Umat Miskin. http://eramuslim.com/berita/nasional/riawan-amin-satanic-finance-bikin-umat-miskin.htm)

“Uang kertas yang sekarang menjadi alat tukar kita, sebenarnya uang yang dipaksakan. Karena tidak mempunyai nilai dari uang itu sendiri,” jelas Riawan. Karena itu, menurutnya, di antara langkah yang harus dilakukan umat Islam adalah selain kembali kepada sistem ekonomi syariah juga harus mulai menerapkan uang dinar dan dirham.

Mampukah kemudian Indonesia, terkhusus perbankan syariah melakukan itu. Apalagi, konsensus ekonomi global melalui IMF dan Bank Dunia mengharuskan Indonesia memakai uang kertas. Keterjebakan Indonesia tak lain adalah karena keterlilitan utang yang teramat sangat besar pada lembaga-lembaga donor yang tak lain telah di kontrol oleh Amerika dan sekutunya.

Mampukah kita keluar dari tekanan asing yang begitu besar, dan dimanakah kedaulatan Indonesia sebagai negara terkhusus kedaulatan pengontrolan ekonominya. Lebih lanjut Riawan Amin dalam situs eramuslim walaupun tidak menyebutkan siapa biang kerok di balik kebusukan sistem ekonomi saat ini. “Saya tidak perlu menyebutkan siapa. Tapi, saya yakin kita sudah tahu. Bayangkan, penduduk yang jumlahnya hanya 1 sampai 2 persen Amerika bisa menguasai 80 persen perekonomian Amerika. Dan orang-orang inilah yang menguasai 30 persen ekonomi dunia,” papar Riawan lebih jelas.

Masih menurut Riawan, Indonesia mungkin masih lebih bagus dari Amerika dalam soal keuangan. Karena bank sentralnya masih milik negara. Tapi di Amerika, The Fed atau bank sentral Amerika sama sekali bukan milik negara. Tapi gabungan dari beberapa perusahaan keuangan swasta di sana.

Artinya, kekuatan Indonesia sebagai negara takluk ditangan kapitalis berambut putih yang bercokol di negeri paman sam. Padahal, Indonesia sekarang lagi getol-getolnya ingin memperlebar sayapnya pada penerapan perbankan syariah. Jadi walaupun perbankan syariah tetap bertahan ataupun mengalami perkembangan pesat di Indonesia, tetap saja berada pada pilihan sulit bagaikan buah simalakama.

Upaya menekan pemerintah melalui kedaulatan sistem ekonomi pun sesuatu yang sangat mustahil. Kita tahu bersama bagaimana pemerintahan SBY dengan Sri Mulyani sebagai Menkoekuin lebih merupakan representasi barat. Sesuatu yang teramat sulit, apalagi kita telah terjebak dalam sistem utang yang memang berupaya menjajah kita secara langsung. Makanya, tak ada kebebasan sistem finansial yang bisa bertahan lama ditengah tekanan yang besar itu.

Mengeluarkan Indonesia dari pilihan itu hanya ada satu jawaban, yakni melakukan tindakan perlawanan. Kenapa kemudian harus melawan, ya sebab tak ada jalan lain ketika sistem ribawi masih berjalan. Artinya ada kondisi inkonsistensi keuangan yang akan diterapkan bank syariah itu sendiri, apalagi perlawanan besar bank syariah adalah melepaskan ketergantungan pada sistem perbankan konvensional yang memakai sistem riba.

Perlunya mendesak negara agar merubah kebijakan keuangan yang telah ada, dengan berupaya memberlakukan mata uang dinar dan dirham sebagai mata uang Indonesia. Ataupun kalau itu tidak memungkinkan, menjadikan dinar dan dirham sebagai pilihan alternatif. Artinya negara selain menerbitkan uang kertas karena tak bisa melepaskan diri dari kontrol barat, ya menggunakan sistem sampingan atau alternatif dengan mengeluarkan peraturan penggunaan uang dinar dan dirham sebagai jawaban atas kebutuhan riil di masyarakat dan terutama menggeliatnya perbankan syariah di Indonesia.

Memang perlu kerja keras dari berbagai pihak, terutama pihak perbankan syariah dan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan akan hal ini. Karena bila ini tak dilakukan sama saja bohong dengan tetap menjalankan sistem perbankan syariah dengan menggunakan uang kertas, karena mau tak mau bila uang kertas pasti akan bermain pada pasar uang global. Dan pastilah bila bermain pada pasar keuangan global maka akan ada perhitungan riba yang bermain disitu, dan lebih parah lagi mata uang dan sistem ekonomi kita telah dikontrol jadi akan tetap dibawah tekanan yang sangat imperialisme.

Sangat bisa dipastikan, bila sistem keuangan yang mengikuti cara permainan penjajah itu. Maka gelombang krisis akan mudah menimpah lagi Indonesia setelah krisis finansial di tahun 1997, bahkan krisis yang melanda Amerika sampai hari ini masih memiliki dampak yang begitu besar pada negara ini.

Menurut Ir. Muhaimin Iqbal dalam kesempatan yang sama di situs eramuslim, mengungkapkan bahwa uang sebenarnya mempunyai tiga fungsi. Yaitu, sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan sebagai satuan perhitungan atau timbangan. “Uang kertas yang selama ini kita gunakan, baik rupiah, dolar, atau apa pun, sama sekali tidak mempunyai ketiga fungsi itu. Kecuali hanya sebagai alat tukar yang sangat terbatas,” jelas Iqbal yang juga pengusaha gerai dinar.

Masih menurut Iqbal, dunia sekarang selama kurun 85 tahun terakhir sedang menuju kehancuran besar dengan hanya menggunakan uang kertas. “Bahkan, sejak 27 tahun lalu, IMF telah melarang anggotanya untuk menggunakan dinar dan dirham sebagai referensi mata uang,” tegas Iqbal.

Kondisi ini memang sulit, pilihan tetap berada pada jejaring IMF membawa kita pada resiko hilangnya kedaulatan negara dalam pengaturan sistem ekonominya termasuk pemberlakuan dinar dan dirham. Disisi lain, upaya perubahan yang diinginkan dengan memberlakukan sistem ekonomi syariah dengan menggunakan dinar dan dirham akan membuat gelombang perlawanan yang begitu besar terhadap pemerintah kita sendiri dibawah kepemimpinan SBY dan Boediono yang diindikasikan lebih condong mengambil kebijakan neoliberalisme. Selain itu, mau tak mau akan berhadapan pula pada kaum penjajah yang telah merenggut kemerdekaan negara ini dari berbagai sektor terutama sektor keuangan yang sangat diatur ketat.

Hal ini sebagai sebuah pilihan sadar, tetap menjadi negara boneka dari kepentingan imperialis ataukah melakukan tindakan perlawanan dengan keluar dari jejaring keuangan yang sangat menyesatkan itu. Dan tentu saja, pilihan sadar bila kita ingin menjadi negara berdaulat dan betul-betul keluar dari penjajahan asing. Maka tak ada pilihan lain selain mengubah sistem keuangan negara ini, dan untuk melakukan itu harus merangkul semua elemen masyarakat yang sadar dan peduli bahkan mau tak mau semua lapisan masyarakat harus disadarkan.

Dan motor penggerak dari tindakan perlawanan ini, tak lain adalah secara khusus bank syariah yang memiliki kepentingan untuk memainkan peran menjalankan sistem perbankan syariah sebagai alternatif jawaban akan krisis dan pengontrolan finansial yang akan terus menekan. Dan tentunya, semua sektor lapisan masyarakat harus dirangkul untuk melakukan tindakan yang sama. Sebab tinggal diam, bukanlah sebuah tindakan yang bijak.

Matinya Supremasi Hukum Atas Nama Demokrasi

Oleh :
Muhammad Sirul Haq
{Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)}

Supremasi hukum telah mati seiring dengan berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Ada kondisi paradoks yang tercipta antara supremasi hukum yang ingin ditegakkan, ditengah bergulirnya sistem demokrasi di negara ini. Hal yang paling melandasi adalah besarnya pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik pemegang kekuasaan negara. Keberadaan Trias Politica diantara eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai simbol demokrasi negara modern tidak akan terjamin bebas nilai. Ketidak bebasannya atas nilai itulah yang membuat tiga pilar demokrasi ini membawa supremasi hukum pada kepentingan kekuasaan yang mengatas namakan rakyat, bukan menjadikan hukum sebagai panglima.

Sebagai sebuah produk politik, hukum adalah sebuah naskah yang di dalamnya mengandung pemihakan nilai. Ia tidak dan tidak pernah netral dari nilai atau sejumlah nilai tertentu. Begitu pula, ketika naskah itu diimplementasikan dalam sebuah ruang sosial oleh birokrasi penegak hukum (Daniel Sparringga, 2006). Makanya setiap produk hukum yang dibuat bersama-sama antara pemerintah sebagai eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif, akan selalu bernilai timpang (lihat Pasal 20 UUD 45). Dan ketimpangan itu diperoleh karena ketiga pilar tersebut memiliki otoritas dan secara relatif otoritas itu dimonopoli agar kekuasaan yang dipegangnya semakin kuat dan mungkin superior.

Monopoli otoritas tak lahir begitu saja, tapi ada dan tetap terjaga karena mengatasnamakan hukum. Berbagai peraturan dibuat untuk melindungi kekuasaan tersebut absolute, walaupun kemudian dibuat seakan kekuasaan itu dibagi secara rata berdasarkan kewenangan masing-masing. Tapi tak dapat dipungkiri, ada proses mutualisme simbiosis yang saling membutuhkan diantara tiga pilar tersebut untuk mempertahankan kepentingan yang tak bebas nilai. Tak ada kata lain, bahwa upaya melanggengkan kekuasaan itu demi kepentingan segelintir orang bukan mengatas namakan negara apalagi rakyat.

Kepentingan kekuasaan itu akan selalu tarik menarik diantara ketiga pilar tersebut, dan mungkin sesekali menimbulkan konflik kepentingan sendiri diantara mereka. Lihat saja dalam pembentukan suatu aturan berupa undang-undang, sebagai produk hukum justru lahir dari pelibatan proses-proses politik yang saling tarik menarik dan mungkin memusingkan. Terjadilah perdebatan hebat di ruang parlemen untuk membicarakan sebuah produk hukum yang akan ditelorkan, dari berbagai warna politik yang memiliki ideologi, kepentingan dan keberpihakan yang beragam yang biasa kita sebut dengan partai politik.

Keberagaman warna dan kemauan itu, menggiring pada seberapa kuat keberadaan mereka di parlemen. Bila kekuatan salah satu partai politik teramat besar, pasti dapat diyakini kemauan mereka akan lebih besar tertuang dalam pasal-pasal yang berhamburan dalam suatu rancangan perundang-undangan. Dapat dikatakan bahwa, konstitusi negara ataupun produk hukum adalah produk politik dari dominasi partai-partai politik yang memiliki massa besar di parlemen. Kondisi ini akan membawa pada aura produk hukum yang lebih beraroma politik dibandingkan atas nama hukum itu sendiri.

Aroma politik atas hasil produk hukum yang telah diperdebatkan secara politik itu, kemudian berujung pada pengesahan oleh eksekutif yang tercatat pada lembaran negara yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Pengikatan seluruh elemen negara dan masyarakat atas produk hukum yang telah berlaku yang katanya legal itu, dipatuhi tanpa terkecuali dan ditegakkan yang dalam doktrin atau ajaran tentang negara modern dikenal dengan istilah “Supremasi Hukum”.

Ajaran ini pada dasarnya mendiktekan peneguhan atas nilai dan praktik “persamaan di depan hukum” yang mengakibatkan sebuah produk hukum, yang walapun pada awalnya merupakan produk politik yang menyertakan juga proses-proses kompetisi dan rivalitas atas sumber-sumber kekuasaan, bersifat otonom (kadang bahkan “alien”) dan self-evident atau mutlak dengan sendirinya (Daniel Sparringa, 2006).

Hukum yang kemudian lahir tersebut, dilaksanakan berdasarkan kehendak demi melakukan pengawasan atas kehendak agar tak terjadi pelanggaran. Kehendak itu berupa rule of law yang dijalankan dengan wibawa dengan penuh ketegasan agar tak terjadi praktik rule by law, agar aturan itu tak sekedar tulisan diatas kertas saja tetapi dijalankan dengan baik. Lahirlah aparatus negara yakni kepolisian bersama dengan kejaksaan sebagai perpanjang tanganan eksekutif yang memiliki beban tanggung jawab paling pokok berupa penegakan hukum.

Penegakan hukum memang diarahkan pada pola pencegahan segala pelanggaran hukum baik yang dilakukan individu masyarakat ataupun badan hukum. Lahirnya istilah social order and public safety sebagai bentuk pematuhan hukum agar tercipta ketertiban sosial dan keamanan masyarakat, yang kemudian menjadikan polisi memiliki mandat otonom dan penuh dalam melakukan serangkaian tindakan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan saksi dan atau pencarian bukti hingga pemberkasan. Memang sangat diharapkan dengan kewenangan itu kepolisian tidak tunduk pada kekuasaan legislatif, yudikatif maupun eksekutif sendiri, tapi tunduk pada aturan hukum.

Kepatuhan atas aturan hukum turut pula dijalankan kejaksaan yang notabene berada di bawah eksekutif, tak lain berfungsi sebagai perpanjangan negara untuk melakukan penuntutan di depan peradilan menangani kasus pemidanaan. Di ruang pengadilan, berbagai kasus tersebut dijemput oleh yudikatif yang berfungsi memutuskan sebuah kasus benar atau salah. Selain itu, yudikatif merangkap sebagai penilai peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan istilah judicial reviewer, penyelesai sengketa konstitusional dan sengketa pilkada/pemilu. Sehingga proses penegakan hukum tak terlepas dari peran kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk membuat hukum terlaksana dengan sebagaimana mestinya.

Jaminan profesionalisme kepolisian, kejaksaan dan pengadilan kemudian dipertanyakan realitanya, apakah memang betul menjalankan hukum demi terwujudkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Namun bagaikan sebuah kutukan, aturan hukum yang dijalankan tersebut yang pada dasarnya lahir dari kepentingan politik akan terus membawa aroma “politik” dalam setiap prosesnya. Politisasi perkara adalah rahasia umum yang sering kita dengar bersama, bahwa aparat penegak hukum adalah pelanggar hukum itu sendiri.

Bukti nyata yang bisa dilihat adalah hasil penelitian Indonesia corruption watch (ICW) yang melaporkan bahwa ada sekitar 221 hakim yang tersebar di seluruh tingkat peradilan di wilayah Indonesia, melakukan tindakan melawan hukum dengan membebaskan para koruptor dari jeratan hukum dengan adanya penyuapan dan tindakan pidana lainnya. Bahkan berdasarkan data penelitian dari Transparence International Indonesia (TII) menyebutkan bahwa lembaga peradilan merupakan institusi terkorup di Indonesia. Hal ini membawa pada precedent buruk terhadap lembaga peradilan sebagai mafia peradilan oleh para hakim-hakimnya yang tak dapat dipercaya sebagai lembaga yang memfungsikan dirinya sebagai penegak hukum.

Citra kepolisian dan kejaksaan sendiri ketika dipertanyakan kredibilitasnya dalam penegakan hukum, maka yang selalu muncul adalah penilaian negatif. Mulai dari istilah mafia peradilan jalanan, penyuapan, dan koruptor yang sangat melekat erat. Mungkin tak perlu menampilkan data-data lapangan, sebab begitu banyak data lapangan yang berhamburan yang menyebutkan kebejatan aparat kepolisian dan kejaksaan yang tak dapat dipercaya dalam penegakan hukum. Bahkan akhir-akhir ini kepolisian bertindak sangat represif terhadap setaip dakwa dan penangkapan orang berjangkut dan bersurban di bulan ramadhan dengan alasan terorisme.

Integritas kepemimpian kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung turut pula dipertanyakan, karena sebagai lembaga penegak hukum juga ternyata dominan dengan nuansa politik. Terutama dalam penempatan siapa yang layak menjadi pimpinan di setiap instansi itu, karena ada pertarungan politik yang sangat kental mewarnainya. Adakah kemudian niatan yang dilandasi politik akan berujung pada upaya penegakan hukum, atas produk hukum yang kemudian tak sekedar kertas bertinta emas tapi pengejawantahan kehidupan ketertiban hukum agar terpelihara integritas sosial yang melingkupi masyarakat, pasar dan negara.

Bila kemudian ini tak terjawab dengan memuaskan, bahkan menimbulkan rasa miris bagi siapapun yang mengetahui kondisi ini. Adalah kemudian tinggal mimpi untuk menerapkan supremasi hukum ditengah hembusan demokrasi yang didengungkan negara ini, ataukah masih menyisahkan harapan bagi terwujudnya negara hukum. Semetara telah menjadi opini public tentang maraknya korupsi di negara ini, dan permasalahan hukum lainnya yang tak menemukan rasa kepastian dan keadilan. Begitupun dengan pelaksanaan demokrasi, selalu menyisahkan janji dan derita bagi rakyat bawah. Jadi mungkinkah harapan terhadap demokrasi agar tak mematikan supremasi hukum dapat terwujud?

Islam Menguasai Eropa dan Amerika 40 Tahun Ke Depan Melalui Angka Kelahiran (Serta Kontroversi Penerapan KB di Indonesia)

Oleh :
Muhammad Sirul Haq
{Koordinator Forum Kajian Kota (ForKATA) Makassar dan Koordinator Area PT. Lingkaran Survey Kebijakan Publik (LSKP) Sul-Sel dan Barat}

Program KB ternyata memiliki muatan kepentingan global yang sangat besar, terutama tentang isu penguasaan dunia. Kepentingan tersirat dan mungkin sebenarnya sangat nyata tergambar, adalah kepentingan agama, ideologi, ekonomi dan penguasaan politik global. Tarikan yang sangat nyata bisa dilihat dengan adanya pertambahan jumlah penduduk secara kuantitas, dan pertarungan kepentingan antara dunia barat dan timur. Diramalkan, Islam sebagai agama akan menguasai Eropa dan Amerika baik secara kuantitas dan kualitas bila dihitung dari pertambahan jumlah penduduknya yang sangat pesat dibandingkan Eropa dan Amerika yang cenderung lesu.

Pada jaringan internet, beredar sebuah video yang dibuat langsung oleh pihak barat berjudul, “A Report On the World Changing Demographic” yang kemudian dalam bahasa Indonesia di beri judul, “Dunia Telah Berubah (perkembangan Islam di Benua Eropa dan Amerika)” yang diterjemahkan oleh Ferdy Dailami Firdaus. Dalam video itu diulas secara lengkap tentang bagaimana peradaban bisa bertahan 25 tahun kedepan sangat dipengaruh dengan pertambahan jumlah penduduk berkisar rata-rata 2,11 angka kelahiran setiap keluarga. Dan bila kurang dari rata-rata tersebut, atau hanya rata-rata 1,3 saja, maka dipastikan akan sulit mempertahankan peradabannya. Tidak sampai disitu saja, butuh 80-100 tahun untuk dapat mengembalikan peradaban itu dan tidak ada model ekonomi pun yang bisa melakukan itu secara cepat.

Sementara di negara-negara Islam dengan penduduk yang bertambah pesat, kemudian mereka mengadakan migrasi ke Eropa dan Amerika yang dimulai sekitar tahun 1990. Pada pola migrasi itu, penduduk Islam di Eropa mengalami pertumbuhan pesat mencapai pertumbuhan rata-rata 8 orang pertahun per keluarga, sementara di penduduk asli Eropa yang terdiri dari 31 negara hanya mampu mencapai 1,38 orang pertahun per keluarga. Artinya apa?, diramalkan Jerman pada tahun 2020 akan menjadi negara muslim, Inggris akan dipenuhi 60% penduduknya beragama Islam. Belanda akan dipenuhi seperduanya oleh penduduknya yang beragama Islam, begitu pula dengan Perancis. Dan itu tidak akan berlangsung lama, cukup dalam kurun waktu 5 tahun ke depan itu sudah terlihat nyata.

Bukti otentik yang dapat dilihat, berupa penambahan mesjid yang kini mencapai 1000 buah di Inggris. Dan kebanyakan mesjid disana itu dulunya adalah gereja-geraja yang mulai ditinggal para jemaahnya. Karena kehilangan jemaah, secara otomatis geraja-gereja tersebut tidak memiliki lagi sumbangan rutin dari para jemaah untuk biaya operasional. 1 dari 5 penduduk Perancis pada tahun 2027 adalah orang muslim, dan hanya dalam 39 tahun lagi akan menjadi Negara muslim. Di inggris dari 82ribu orang tumbuh menjadi 2,5 jt jiwa orang, jadi ada kenaikan 30 kali lipat. Di Rusia ada lebih dari 23 juta muslim, artinya akan ada 40% tentara rusia yang beragama Islam. 25% persen penduduk Belgia dan 50% bayi adalah warga muslim. Dan terkhusus di Amerika sendiri sebagai benua penguasa global, sekarang telah hidup 2 juta penduduknya yang beragama Islam dan berdirinya mesjid-mesjid di sana dengan mengumandangkan asma Allah SWT.

Ditambah lagi, mulainya banyak yang beralih agama dari Kristen menjadi muslim. Jadi dapat dipastikan benua Eropa akan dikuasai oleh penduduk muslim disana itu tidak melalui peperangan ataupun pemboman bunuh diri, tapi karena angka kelahiran warga muslim yang sangat besar dan pesat. Hal mengenai penguasaan benua Eropa tersebut, seperti yang diutarakan Moamar Khadafi dalam video itu secara jelas ditegaskan Islam akan menguasai Eropa tidak melalui peperangan, melainkan angka kelahiran yang sangat besar. Karena disisi lain, orang-orang Eropa yang memiliki tingkat kelahiran sangat mengkwatirkan. Entah karena gaya hidup dan cara berfikir tentang keluarga dan memiliki anak yang dianggap menjadi beban, atau tak sekedar ingin memiliki banyak anak karena dipengaruhi berbagai faktor. Ini sangat berlawanan memang dengan cara berfikir bagi orang-orang muslim dimanapun dia berada, bahwa keluarga adalah amanah Allah SWT yang merupakan rahmat. Memiliki anak adalah rezeki yang tak bisa ditolak, dan seperti yang dinukilkan dalam al-quran bahwa setiap mahkluk di dunia ini telah dijamin rezkinya, apalagi bila ia seorang anak manusia selama ia mau berusaha pasti ada saja rezeki yang datang.

Islam juga tidak melarang bagi hambanya untuk melakukan pernikahan dini, bahkan sangat dianjurkan untuk segera menikahkan anak ketika ia telah dewasa, memiliki hasrat untuk menikah dan telah mampu menopang keluarga. Lain halnya dengan gaya hidup di Eropa dan Amerika, yang memberikan kebebasan untuk menikah kapanpun. Bahkan hingga pada taraf kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan dalam satu atap tanpa memiliki hubungan suami istri, untuk tak dibebani pula berkeluarga secara sah. Sehingga dorongan untuk memiliki anak sangat kurang, apalagi dengan paham kebebasan yang berkembang di Amerika dan Eropa membuat pilihan bagi perempuan untuk secara sadar melakukan pilihan berkarir di berbagai bidang yang dipilihnya. Sehingga dorongan memiliki anak ditengah kesibukan akan membuat itu menjadi sirna, ataupun berkurang.

Gerakan Spionase Barat Melalui Penerapan KB

Saat ini ramai di beberapa media cetak dan elektronik kembali di gelontorkan kampanye ataupun iklan Keluarga Berencana (KB) yang tak lain untuk menekan pertambahan jumlah penduduk. Karena berdasarkan versi pemerintah, ada beberapa faktor negatif yang bisa terjadi bila pertambahan jumlah penduduk tidak terkontrol. Secara pasti adalah tingkat kelahiran yang sangat besar, beban keluarga yang semakin bertambah dan ekonomi yang tidak dapat meningkat karena beban ekonomi untuk membiayai anggota keluarga sangat besar.

Tapi kemudian hal ini dibantah oleh Hisbut tahrir, melalui medianya AL-Islam yang beredar setiap jumat di mesjid-mesjid, pada edisi Jumat, 14 Agustus 2009, menulis bahwa KB adalah sebuah program terselubung yang dititipkan di Indonesia oleh Amerika dan sekutunya. Tak lain, guna mencegah pertambahan penduduk yang begitu besar di dunia muslim. Dan bila itu tidak dicegah, dikwatirkan penduduk di negara muslim akan bertambah secara pesat dan akan mendesak terjadinya imigrasi besar-besaran. Dan imigrasi itu secara pasti akan merambah ke daerah-daerah ataupun negara-negara yang kekurangan jumlah penduduk tapi membutuhkan tenaga produktif yang sangat besar.

Isu terjadinya krisis pangan global akibat pertambahan jumlah penduduk juga dibantah, dalam tulisan itu. Disebutkan, kekwatiran barat akan pertambahan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan tingkat produksi pangan yang massif bisa berakibat pada krisis pangan dan kelaparan. Tapi ternyata, hampir 60% konsumsi pangan yang sangat boros di dunia itu ternyata ada di negara-negara maju yang jumlah penduduknya sedikit bila dibandingkan negara berkembang yang jumlah penduduknya lebih banyak. Indikasi yang nyata, bukan persoalan produksi pangan yang menjadi kekwatiran terjadinya kelaparan, tapi akses terhadap pangan yang tidak merata. Ditambah lagi, ada penekanan ekonomi yang tidak seimbang sehingga mengakibatkan negara-negara miskin tidak bisa menikmati pangan yang baik. Sementara Amerika dan Eropa mengontrol jalannya distribusi pangan secara global mulai dari titik produksi hingga sampai pada titik konsumsi bagi masyarakat mereka. Dan di negara-negara berkembang, khususnya juga Indonesia memiliki kecenderungan melepas ke pasar mengenai pola distribusi yang padahal pada kenyataannya telah dikontrol asing.

Jika kita melihat pola distribusi pangan, mulai dari hasil laut, pertanian, dan pertambangan walaupun dikuasai pemerintah dan atas nama rakyat di Indonesia. Tapi pada kenyataannya itu telah dikontrol habis oleh pihak Amerika dan sekutunya. Bahkan pola kebijakan dan produksi pertanian di Indonesia bukan di kontrol negara maupun para petani, tapi berdasarkan atas kebijakan dan keinginan asing yang sangat besar. Begitupun terhadap hasil pertambangan minyak bumi, gas dan barang tambang lainnya, Negara Indonesia terutama rakyatnya hanya menjadi penonton atas kekayaan tanah dan airnya.

Penguasaan atas kontrol kekayaan alam oleh asing bagi negara berkembang, terutama Indonesia tidak dapat dielakkan lagi. Apalagi dengan keberadaan utang yang sangat besar dan mencekik bagi rakyat, bahkan memang di setting agar Negara ini tak lepas dari jerat utang, agar mudah di control oleh pihak asing. Dan pengontrolan/penguasaan itu bisa dilepaskan oleh pihak asing, tak lain dengan salah satunya pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar menjadi faktor penentu.

Kenapa sampai hal ini menjadi faktor penting. Ini tak terlepas dari kebutuhan ekonomi rakyat, karena semakin bertambanya jumlah penduduk maka akan mendorong penguasaan ekonomi yang semakin besar pula atas sektor-sektor penghasil produksi ekonomi. Diantaranya pertanian, kelautan, pertambangan, dan kehutanan. Walaupun itu mungkin sangat pragmatis, tetapi dari hal yang sangat pragmatis itulah membuat adanya dorongan untuk secara idelogi, teknologi dan kepentingan pasar untuk bisa direbut sebagai hak rakyat.

Keberpihakan Negara

Tarik menarik kepentingan rakyat yang secara riil dengan penambahan penduduk sangat membutuhkan akses ekonomi yang semakin besar pula, akan bertarung dengan kepentingan asing yang menguasai sektor-sektor ekonomi penting di dalam negeri. Pertarungan kepentingan rakyat dan pihak asing itu, tinggal menunggu bagaimana reaksi negara dalam hal ini pemerintah Indonesia, yang secara nyata sekarang dibawah kontrol presiden SBY. Ada kecenderungan yang bertiup, bahwa SBY akan lebih berpihak ke asing terutama dalam hal kebijakan dan pelaksanaan teknis dilapangan.

Indikasi keberpihakan asing oleh SBY yang sangat besar, bisa dilihat dengan pertambahan jumlah hutang yang sangat besar dalam 5 tahun terakhir. Bahkan mengalahkan Presiden Soeharto dalam konsesi hutang dengan pihak asing, terutama dengan Bank Dunia dan Asia Development Bank. Bahkan program pemberdayaan masyarakat, semisal PNPM, BLT dan Konversi minyak tanah ke gas, semuanya terlaksana akibat dana talangan utang.

Lantas, secara khusus program KB menjadi kampanye pemerintah SBY tak lain untuk menekan pertambahan jumlah penduduk dengan dalih sebagai beban ekonomi, menggerus keluarga Indonesia untuk terjerat pada garis kemiskinan. Padahal sebenarnya, kemiskinan di Negara ini terjadi bukan karena pertambahan jumlah penduduk yang sebenarnya menjadi modal besar dalam peningkatan SDM. Tapi karena kemiskinan itu sengaja diciptakan secara politik dan ekonomi, dengan penghilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, ketertutupan informasi, penguasaan asset yang tidak diserahkan kepada rakyat melainkan ke asing, dan secara kebijakan Negara memang tidak member ruang sebagai pemain utama tetapi lebih kepada asing.

Melihat kebijakan dan tindakan Negara, terutama pemerintahan Indonesia dibawah presiden SBY tersebut. Tinggal kitalah rakyat Indonesia membangun kesadaran kritis, apakah KB memang diperlukan ataukah itu sekedar pembohongan saja. Dan apakah kita masih terus terdiam dengan tindakan asing dan pemerintah yang lebih memiskinkan rakyatnya ataukah kita harus melepaskan diri dari ketertindasan itu. Hal ini sangat tergantung masyarakat itu sendiri.

Strategi Bank Syariah Berbasiskan Mesjid

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ ﴿١٨﴾
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (Surah At-taubah, ayat 18)


Mesjid adalah simbolisasi agama Islam yang paling realistis dan penggerak utama bagi umat Islam. Tidak bisa dinafikkan, peran mesjid yang sangat besar dalam mengelola umat, penyebaran syariat agama dan titik sentral segala kegiatan umat. Mulai dari persoalan sholat 5 waktu, pengajian ibu-ibu dan remaja mesjid, pengajaran Al-quran, kegiatan remaja mesjid, pembangunan mesjid, penyebaran syiar agama, dan tempat berkumpulnya umat Islam. Keberadaannya yang sangat strategis di setiap pemukiman, kantor dan pusat-pusat perbelanjaan. Sehingga tak bisa kita melepaskan peran mesjid yang begitu sangat besar, apalagi guna strategi dan pengembangan bank Syariah di Indonesia.

Ibaratkan kabah di Masjidil Haram, maka mesjid memainkan peran yang sama pentingnya. Kabah selalu diputari bagi siapapun dan berasal dari manapun di penjuru dunia ini yang beragama Islam, dan paling diidamkan bagi setiap muslim untuk berkunjung ke sana. Begitu pun dengan mesjid, sebagai tempat ibadah dan paling suci yang terdekat di lingkungan masyarakat. Juga memainkan peran penting layaknya kabah, karena di mesjidlah setiap muslim menghadapkan dirinya ke kabah. Sehingga apapun yang datang dari mesjid, mulai dari panggilan shalat 5 waktu, kegiatan keagamaan, pendidikan dan kegiatan sosial akan selalu direspon positif.

Respon positif inilah sebagai potensi yang paling digdaya dalam setiap kegiatan yang menyangkut umat, terkhusus pula dengan persoalan perbankan syariah. Potensi itu dapat merangkul mulai dari kalangan anak-anak hingga orang tua, semua dapat ditarik dengan mudah baik sebagai pelaku utama maupun sebagai pengguna ataupun peserta dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh pengurus mesjid. Apalagi kegiatan perbankan syariah mengandalkan ajaran agama Islam terutama dalam pengelolaan keuangan, mulai dari individu setiap muslim hingga yang menyangkut urusan umat. Sehingga koneksitas antara bank syariah dan mesjid adalah hal mutlak dalam pengembangan kemaslahatan umat.

Pola Strategis

Strategi yang bisa dikembangkan bank syariah berbasis mesjid sifatnya multi strategi. Kenapa multi strategi, karena seluruh sektor kehidupan umat bisa dirangkul terutama yang memiliki persoalan ekonomi. Jadi mesjid dan bank syariah menjadi satu sebagai pusat sentrum gerakan dan titik-titik kegiatan keumatan, mulai dari kegiatan yang bersifat amal akhirat dan duniawi, pendidikan, ekonomi, pembangunan mesjid dan berbagai kegiatan yang berbasis mesjid. Sehingga seluruh sektor kehidupan bisa terangkum dalam satu mekanisme yang tidak terlalu sulit pengelolaannya, sekaligus merupakan bentuk pemberdayaan bagi pengurus dan jamaah mesjid itu sendiri.

Mekanisme paling simple menjadikan pengurus mesjid sebagai pelaku utama dalam setiap kegiatan bank syariah. Pengurus mesjid merupakan penggerak utama mesjid dan segala kegiatan yang berhubungan dengan jamaah mesjid. Jadi pengurus mesjid memiliki kegiatan tambahan berupa menjadi pengelola yang sifatnya tidak terikat ataupun dibuat terikat dengan bank syariah. Tidak terikat dalam artian pengurus mesjid tidak merupakan bagian struktural dari bank syariah, tapi sebagai pengelola bank syariah dalam persoalan administrasi dan keuangan. Secara terikat, artinya pengelola mesjid yang memainkan peran sebagai pelaksana bank syariah tercatat pula sebagai bagian struktural bank syariah. Perbedaan lain, contohnya dalam penggajian bila terikat akan dibebankan pada bank syariah namun bila tidak terikat akan dibebankan pada pendanaan mesjid bahkan mungkin bersifat amal jariah.

Selama ini, pengelolaan mesjid terutama dalam pengelolaan keuangan dibebankan pada pengurus mesjid. Jadi pengurus mesjid mencatan segala pemasukan mesjid mulai dari celengan mesjid, sumbangan perorangan dan kelompok ataupun badan hukum. Dana yang masuk itu secara otomatis akan disimpan pada tempat penyimpanan yang aman sebelum digunakan untuk berbagai kegiatan mesjid. Nah, disinilah fungsi bank syariah telah masuk. Sebagai tempat penyimpanan dana mesjid tersebut, dan karena dikelola secara struktural berdasarkan mekanisme mesjid itu, maka bank syariah mengajak pula setiap pengurus dan jamaah mesjid untuk turut serta menabung pada bank syariah tersebut. Bayangan saja, bila mesjid tersebut berada dalam satu pemukiman yang terdapat 500 kepala keluarga dan seluruh anggota keluarga berhasil ditarik sebagai nasabah bank syariah berbasis mesjid.

Agar hal itu menjadi lancar, pihak bank syariah perlu melakukan perjanjian dengan pihak mesjid dalam pengelolaan bank berbasiskan mesjid. Perjanjian kesepakatan itu menuangkan segala aspek yang bisa dirangkul dalam kegiatan ekonomi masyarakat, baik berupa sistem dan struktur yang ingin dibangun demi pemberdayaan bank syariah begitu pula dengan masjid dan jamaahnya itu sendiri. Jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perbankan tidak lagi dipusatkan di kantor-kantor bank syariah yang mungkin tidak semua bisa menjangkau dengan mudah, tapi menjadikan mesjid sebagai ujung tombak penggerak utama.

Secara sistem, mesjid telah menjadi pusat kegiatan perbankan syariah. Mulai dari tabungan syariah, pinjaman syariah, deposito syariah, dan investasi syariah yang semuanya berbasiskan syariah yang berada di mesjid. Jadi tak ada lagi keraguan dalam hal riba bagi umat Islam, juga mendekatkan kegiatan ekonomi produktif itu pada lingkungan terkecil sehingga mudah untuk dikendalikan dan diawasi. Begitu pula dengan segala kegiatan ekonomi lainnya bisa dipusatkan di mesjid dan menjadikan bank syariah sebagai sentral kegiatan ekonomi tersebut.

Kegiatan ekonomi apa saja yang bisa dirangkul tersebut, jawabnya adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan keuangan. Mulai dari pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak dan mungkin kartu kredit. Penarikan uang pun bisa dilakukan di mesjid, caranya tinggal mengalihkan saja mesin ATM tersebut ke mesjid-mesjid yang telah menjalin kerjasama dengan pihak perbankan. Bahkan pengelolaan infaq, shodokah, zakat dan wakaf menjadi tanggung jawab bank syariah yang telah berbasis mesjid. Dan segala kegiatan ekonomi lainnya bisa terpusatkan di mesjid, sehingga dengan menggunakan jasa pengurus mesjid membuat bank syariah bisa berhemat dalam pengelolaan kantor, administrasi perkantoran dan personalia. Karena semuanya telah dialihkan ke pengelolaan mesjid, dimana keuangannya selalu transparan dan bertanggungjawab yang selalu diumumkan/dibacakan setiap jumat, yang juga menghemat biaya pengumuman laporan keuangan yang biasa dikeluarkan bank syariah di media-media umum.

Tak diragukan lagi, harapan Nabi Muhammad SAW untuk menjadikan mesjid sebagai pusat pergerakan Islam akan terwujud karena mesjid telah dijadikan basis bagi kegiatan ekonomi umat dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan menyentuh pula kegiatan pendidikan, pemberdayaan masyarakat, pemukiman dan usaha ekonomi kecil. Islam memiliki sistem pendidikan mulai dari jenjang play group, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. Dan yang paling terlihat riil adalah Taman Pendidikan Al-quran (TPA) yang berpusat di mesjid, dimana dapat dikolaborasi dengan bank syariah. Baik persoalan pendidikan bank syariah yang ditanamkan dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan, praktek bank syariah berupa pembukaan buku tabungan, hingga mendidik mereka menjadi entrepreneur islami. Sehingga kebiasaan dari kecil akan tertanam hingga di bangku kuliah, sehingga tak sulit lagi dalam merangkul pembiayaan pendidikan dan pengelolaan pendidikan itu sendiri.

Pemberdayaan masyarakat atau keumatan dapat pula dilakukan. Tinggal bagaimana mengatur peran pengurus mesjid dalam hal menjadi fasilitator pemberdayaan keumatan, mulai dari pembentukan kelompok ekonomi kecil, pembuatan kegiatan ekonomi produktif, usaha ekonomi kecil hingga pembiayaan kelompok ekonomi berbasis umat. Sehingga paling kurang akan di temui 2 (dua) kelompok jamaah mesjid yang selain melakukan kegiatan ibadah juga secara berkelompok mengembangkan ekonomi di lingkungan mereka. Dan mengenai fasilitas pembiayaan akan didanai oleh bank syariah yang telah berbasis mesjid, sehingga tak diragukan lagi mengenai pengelolaan dana hingga pengembalian pinjaman oleh kelompok ekonomi produktif ini.

Mesjid pula menjadi saran informasi dan menfasilitasi bagi umatnya yang membutuhkan perumahan, baik berupa penyediaan data perumahan hingga pinjaman ataupun kredit kepemilikan rumah. Begitu pula dengan biaya penguburan jenazah, yang selalu melibatkan pihak mesjid mulai dari pengurusan jenazah dalam persoalan memandikan hingga tanah pekuburannya. Dan mesjid, memberikan rasa kesetaraan baik kaya dan miskin begitupula dengan tua dan muda. Sebab dalam pandangan agama, Islam hanya memandang bagi orang-orang yang sabar dan bertaqwa (baca : bekerja keras).

Tak ada lagi persoalan ekonomi mendasar yang tak diketahui oleh bank syariah, karena telah menempatkan dirinya pada ujung tombak utama kegiatan setiap umat muslim yaitu di mesjid. Bahkan bagi yang beragama non muslim, dapat pula mengakses segala kegiatan perbankan Islami yang telah dipusatkan di mesjid karena sifatnya terbuka untuk umum. Sehingga ajakan ayo ke bank tinggal ditambahkan ayo ke mesjid, jadi selogannya menjadi “ayo ke bank ayo ke mesjid”.

Implementasi Kegiatan

Satu hal yang teramat penting dalam perbankan syariah adalah pengolaan administrasi. Nah, apakah mesjid dalam hal ini pengurus mesjid dapat melakukan itu? Jawabanya adalah dapat. Ada beberapa alternatif pilihan yang bisa dilakukan diantaranya, pengurus mesjid dilatih beberapa orang sesuia kebutuhan awal kegiatan perbankan syariah agar bisa mengoperasikan segala kegiatan administrasi. Hal lain, dengan adanya dukungan staf dari pihak bank sendiri untuk melakukan kegiatan perbankan mulai dari persoalan administrasi hingga pengawasan, sehingga tak ada lagi persoalan yang harus menjadi permasalahan begitu hal ini diterapkan. Cara lain sebagai pendukung, melakukan penerimaan pegawai perbankan yang memang secara khusus dilatih dan dipekerjakan untuk ditempatkan di mesjid yang juga berfungsi sebagai tempat kegiatan perbankan.

Bagaimana sendiri dengan dukungan sarana prasarana, apakah mesjid memiliki dukungan itu? Jawabnya tentu ada. Fasilitas mesjid sebenarnya sangat memiliki sarana penunjang yang sangat bagus, dan bisa dijadikan tempat kegiatan perbankan tinggal setting tempat saja yang kemudian butuh modifikasi sedikit sesuai kegiatan perbankan. Dan untuk memudahkan dan mengurangi resiko dari penerapan ini, pihak perbankan bisa mengambil dulu mesjid percontohan untuk merealisasikan persoalan tersebut. Paling praktis dan sangat menguntungkan, mencari mesjid utama di setiap kota-kota besar dulu sebagai pusat kegiatan umat. Misalnya saja, mesjid Istiglal di Jakarta ataupun mesjid AL Markaz Al Islami di kota Makassar. Kedua mesjid ini merupakan pusat dari pusatnya mesjid yang bertebaran di kota tersebut ditempat mereka berada, selain itu mesjid ini memiliki fasilitas yang terbilang lengkap.

Konkritnya, mesjid Al Markaz Al Islami (selanjutnya di sebut dalam tulisan ini Mesjid Al Markaz) itu telah memiliki kegiatan pendukung selain sarana untuk sholat. Diantaranya, perpustakaan dengan ribuan koleksi, radio FM siaran mesjid AL Markaz, ruang serba guna yang bisa diadakan berbagai kegiatan mulai dari seminar hingga resepsi pernikahan, kios-kios yang menjual kebutuhan sehari-hari hingga perlengkapan sholat, Play Group, Taman Pendidikan Al-quran, BMT, Badan Amil Zakat, Majelis Taqlim, dan Kantor pengelola mesjid. Bahkan di setiap jum’at hampir dipenuhi lapak-lapak pedagang kaki lima yang jumlahnya mencapai 300 pedagang yang menjualkan aneka dagangan, apalagi bila bulan puasa tiba hampir dapat dipastikan setiap sore hingga tarwih usai pekarangan masjid dipenuhi kegiatan jual beli layaknya pasar dan masih banyak kegiatan lainnya yang sangat produktif bernilai ekonomi. Ditambah lagi, pengunjung/jamaah mesjid yang datang silih berganti dengan berbagai keperluan bisa menjadi ajang promosi yang lebih intensif dan massif. Sehingga dapat mengurangi biaya promosi yang biasa dikeluarkan baik melalui media umum ataupun sarana promosi lain, bahkan mungkin bisa ditekan sampai 70% biaya promosi tersebut.

Kondisi ini, sangat memungkinkan pula bank syariah masuk untuk menghimpun segala kegiatan ekonomi tersebut diatas layaknya sarang laba-laba. Tinggal menempatkan diri di salah satu bagian dari gedung mesjid tersebut, entah mengambil ruang kosong atau membangun baru tanpa mengurangi tata bangunan dari mesjid. Sehingga tak ada lagi alasan tak ada kesiapan sarana prasarana pendukung yang sangat baik dan halal.

Bila tak ada keraguan untuk mewujudkan itu, Insyaallah bila rumah Allah SWT diramaikan dengan niat kemaslahatan ummat dan beribadah demi mendekatkan diri padaNYA. Akan terjawab dengan datangnya berbagai rezeki, bahkan dari arah yang tidak tahu darimana datangnya. Tapi sebenarnya untuk mengetahui arah mana saja yang datang itu sangat bisa diramalkan, metodenya dengan memanfaatkan segala jaringan potensi dari mesjid tersebut. Diantaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sering mengakses mesjid tersebut, persatuan mesjid-mesjid yang ada dan kalau di Makassar sendiri ada namanya IMMIM (Ikatan Masjid Mushollah Indonesia Makassar) yang memiliki jaringan mesjid terluas bahkan telah memiliki pesantren putra-putri dan beberapa kegiatan ekonomi pendukung lainnya. Badan majelis taqlim yang sering berkumpul di mesjid itu, juga setiap kali ada penyelenggaraan jamaah haji pastilah Mesjid Al Markaz ini menjadi markas bagi para calon haji itu untuk belajar bagaimana berhaji dan segala urusan tentang haji sendiri.

Jejaring yang terbentuk tersebut, alhasil akan melebarkan sayap dari bank syariah tersebut. Pelebaran itu dengan cara tersebar luasnya informasi keberadaan bank syariah di mesjid tersebut, dan tak diayal lagi akan datang berbagai tawaran dari mesjid-mesjid lainnya untuk membuat bank syariah di mesjid-mesjid mereka. Terutama yang berada di kota kabupaten/kota madya yang berdekatan, telah merasakan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi ummat. Apalagi secara langsung membantu pemerintah dalam peningkatan kegiatan ekonomi, pengurangan pengangguran dan penambahan pendapatan negara.

Insyaallah dengan bantuan Allah SWT dan niat tulus pastilah tak ada halangan yang merintangi dengan terlalu berat, kecuali tak mau untuk mewujudkannya. Telah ada ide yang dipaparkan dengan begitu mendetailnya, mulai dari persoalan strategi dalam hal sistem dan struktur pendukung hingga pada penggambaran potensi yang bisa diraih. Jadi harapan kedepan, semoga mesjid juga menjadi tempat yang paling menyegarkan dan bernilai ibadah bagi kegiatan perekonomian terutama perbankan syariah. Sehingga kumandang “Ayo Ke Bank Ayo Ke Mesjid” mari sama-sama kita dengungkan disela-sela ajakan mari sholat dan mari merebut kemenangan. Semoga Allah SWT meridhoi segala pemikiran dan ikhtiar dari setiap ummatnya, Amien.

Wassalam

Kontroversi Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis di Makassar

Oleh : Muhammad Sirul Haq

{Advokat/Pengacara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Anggota DPD KAI Sul-Sel dan Barat}


Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis (PBHG) khususnya di kota Makassar melalui draft Rancangan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Pelayanan Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat yang Tidak Mampu dalam Kota Makassar, menjadi hal yang gamang. Ini ditandai dengan tidak adanya keseragaman sistem dan struktur yang terbangun dalam pelaksanaannya, apalagi pemerintah kota terlihat setengah hati dalam pelaksanaan PBHG, padahal merupakan hak dasar warga yang harus dimiliki. Ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Article 7/Pasal 7 :
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”
(Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini)

Setiap orang, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa memandang status. Dan perlindungan hukum yang dimaksud di sini, salah satunya adalah pemberian bantuan hukum bagi setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Mulai dari penyuluhan hukum, pendampingan kasus di pengadilan hingga pada penanganan biaya perkara. Sehingga sangat dibutuhkan suatu sistem kerja yang dibangun secara sistematis dan terencana dengan baik, mulai dari pembentukan kebijakan hingga pelaksanaan dilapangan.

Hal yang paling mendasar dan secara terinci yang perlu dimasukkan dalam Perwali tersebut, diantaranya perbedaan pengistilahanan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP) disebutkan sebagai Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, namun dalam Perwali diistilahkan sebagai Pelayanan Bantuan Hukum Gratis. Juga dalam Mengingat pada Rancangan Perwali tidak dicantumkan aturan PP, padahal merupakan struktur atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan langsung.

Begitu pula mengenai pengajuan bantuan oleh masyarakat bila bersandar pada UU No. 18 Tahun 2003 dan PP, penekanannya ada pada advokat ataupun organisasi advokat sebagai tempat pengajuan langsung, sementara pemerintah hanya sebagai pelaksana administrasi berupa pemberian surat keterangan tidak mampu bagi masyarakat miskin. Sementara Perwali lebih penekanan sebagai pelaksana dalam pengajuan PBHG dan pemberi anggaran, padahal dalam PP No. 83 Tahun 2008 ditekankan dalam Pasal 1 Point 3 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Namun dalam Rancangan Perwali pada Bab IV Pembiayaan Pasal 9 disebutkan advokat yang mendampingi klien dalam pelayanan bantuan hukum berhak mendapatkan uang jasa pendampingan dan biaya perkara yang dikeluarkan dari Pemerintah Kota yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Artinya, dalam persoalan anggaran saja ada ketimpangan antara PP dan Perwali yang akan dikeluarkan Walikota Makassar.
Agar tak terjadi ketimpangan itu, sangat dituntut adanya kerja sistematis yang harus dilakukan, tak terlepas dari peran pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan berupa penerbitan peraturan hingga turut melakukan kerja teknis dalam pelaksanaan, mulai dari pembiayaan perkara, penyuluhan hukum, dan terpenting pembuatan unit kerja khusus yang mengurusi persoalan bantuan hukum. Melalui PP, secara jelas menguraikan hal itu, mulai dari Pasal 4 yang menitik beratkan pada pengajuan permohonan PBHG hingga pada pengembangan program PBHG dan pembentukan unit kerja tersendiri di Pasal 15 dalam PP tersebut.

Peran pemerintah kota Makassar yang memiliki itikad baik dengan membuat peraturan terkait yang kini masih berupa draft memang perlu mendapat respon secara positif. Hal tersebut perlu didorong dan diawasi dengan baik, karena masih banyak hal yang perlu dibenahi. Semisal dalam draft tersebut, pada Pasal 1 bagian 4 disebutkan Bantuan Hukum Gratis adalah pemberian pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu baik berupa penyuluhan maupun pendampingan secara gratis oleh Pengacara yang ditunjuk oleh Walikota yang meliputi perkara perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian maupun sengketa perburuhan.

Pasal diatas menekankan perlunya Walikota Makassar bekerjasama dengan advokat/pengacara dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan hukum. Namun, mekanisme penunjukan advokat yang akan ditunjuk oleh Walikota sangat tidak jelas. Padahal dicantumkan dalam PP No. 82 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-Cuma”

Hal ini mengharuskan Walikota Makassar untuk bekerjasama dengan organisasi advokat ataupun dengan lembaga bantuan hukum yang ada di kota Makassar. Sehingga sangat diperlukan kerjasama yang bersinergi, berupa adanya kebijakan yang jelas, perjanjian kerjasama, dan perumusan kerja agar terencana dengan baik. Apalagi sebenarnya, advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 berbunyi, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Advokat memang memiliki kewajiban melakukan atau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun persoalanya bantuan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sebab organisasi advokat sendiri kebanyakan belum memberikan layanan bantuan cuma-cuma, padahal itu merupakan kewajiban dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik organisasi advokat tempat mereka bernaung bila menolak ataupun meminta bayaran diluar dari kemampuan masyarakat yang kurang mampu tersebut. Persoalan lebih lanjut, advokat belum bekerja secara terorganisir untuk melakukan bantuan cuma-cuma. Hanya melalui lembaga bantuan hukum hal tersebut berjalan walaupun hal itu juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran dengan jumlah perkara yang terbilang banyak.

Rancangan Perwali sendiri tidak menyebutkan besaran anggaran yang akan dikeluarkan setiap perkara, padahal dalam perkara yang berbeda memiliki anggaran yang berbeda pula. Seharusnya, ada mekanisme kerjasama dengan pengadilan terutama dalam penetapan anggaran biaya perkara selain koordinasi yang harus dibangun dalam penanganan perkara. Ada tiga pengadilan yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah kota, diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA), dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perkara yang berbeda dan memiliki aturan khusus tersendiri walaupun tak berbeda jauh.

Apalagi bila menyangkut persoalan pidana, pihak pemerintah kota harus pula bekerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi ini sebagai penyidik dan penyelidik memainkan peran penting dalam proses penanganan perkara yang berkaitan dengan masyarakat, karena setiap orang yang berperkara pidana seharusnya telah mendapat pendampingan sejak proses di kepolisian mulai dari pemanggilan menjadi saksi ataupun penangkapan karena tertangkap tangan.

Tidak adanya model kerjasama yang jelas dengan aparat hukum lainnya selain advokat/pengacara, membuat rancangan Perwali Kota Makassar menjadi pincang. Selayaknya dalam rancangan Perwali ini, pihak Pemerintah Kota melakukan dengar pendapat ataupun memasukkan setiap elemen penegak hukum dalam tim rancangan Perwali tersebut. Dan tidak sampai disitu, beberapa unsur masyarakat yang berkepentingan turut pula dilibatkan secara aktif bukan sekedar pendengar setia saja.

Perlunya melibatkan berbagai sektor yang berkepentingan langsung, tak lain guna membuat Rancangan Perwali tidak hanya sekedar kejar tayang saja. Pelibatan tersebut lebih diarahkan pada pembuatan mekanisme sistem dan struktur berjalan sistematis, karena melihat persoalan PBHG yang tertuang dalam Rancangan Perwali hanya terfokus pada persoalan anggaran, masyarakat yang berhak mendapat pelayanan, tata cara pada tingkatan administrasi dan birokrasi pengurusan untuk mendapatkan bantuan, dan pelaporan/pengawasan. Padahal struktur pelaksana sangat membantu lancarnya kegiatan PBHG di masyarakat, apalagi bila melihat cakupan wilayah kota dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa terbilang kota besar.

Diharapkan kedepan, Walikota Makassar tidak terburu-buru dalam pembuatan, pembahasan dan penetapan Perwali tersebut. Berbagai hal yang sangat berhubungan dan terkait satu sama lainnya perlu dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga tak ada lagi ketimpangan ketika Perwali itu diterapkan di tengah masyarakat.

Wassalam

Kontroversi Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis di Makassar

Oleh : Muhammad Sirul Haq
{Advokat/Pengacara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Anggota DPD KAI Sul-Sel dan Barat}


Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis (PBHG) khususnya di kota Makassar melalui draft Rancangan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Pelayanan Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat yang Tidak Mampu dalam Kota Makassar, menjadi hal yang gamang. Ini ditandai dengan tidak adanya keseragaman sistem dan struktur yang terbangun dalam pelaksanaannya, apalagi pemerintah kota terlihat setengah hati dalam pelaksanaan PBHG, padahal merupakan hak dasar warga yang harus dimiliki. Ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Article 7/Pasal 7 :
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”

(Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini)

Setiap orang, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa memandang status. Dan perlindungan hukum yang dimaksud di sini, salah satunya adalah pemberian bantuan hukum bagi setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Mulai dari penyuluhan hukum, pendampingan kasus di pengadilan hingga pada penanganan biaya perkara. Sehingga sangat dibutuhkan suatu sistem kerja yang dibangun secara sistematis dan terencana dengan baik, mulai dari pembentukan kebijakan hingga pelaksanaan dilapangan.

Hal yang paling mendasar dan secara terinci yang perlu dimasukkan dalam Perwali tersebut, diantaranya perbedaan pengistilahanan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP) disebutkan sebagai Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, namun dalam Perwali diistilahkan sebagai Pelayanan Bantuan Hukum Gratis. Juga dalam Mengingat pada Rancangan Perwali tidak dicantumkan aturan PP, padahal merupakan struktur atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan langsung.

Begitu pula mengenai pengajuan bantuan oleh masyarakat bila bersandar pada UU No. 18 Tahun 2003 dan PP, penekanannya ada pada advokat ataupun organisasi advokat sebagai tempat pengajuan langsung, sementara pemerintah hanya sebagai pelaksana administrasi berupa pemberian surat keterangan tidak mampu bagi masyarakat miskin. Sementara Perwali lebih penekanan sebagai pelaksana dalam pengajuan PBHG dan pemberi anggaran, padahal dalam PP No. 83 Tahun 2008 ditekankan dalam Pasal 1 Point 3 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Namun dalam Rancangan Perwali pada Bab IV Pembiayaan Pasal 9 disebutkan advokat yang mendampingi klien dalam pelayanan bantuan hukum berhak mendapatkan uang jasa pendampingan dan biaya perkara yang dikeluarkan dari Pemerintah Kota yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Artinya, dalam persoalan anggaran saja ada ketimpangan antara PP dan Perwali yang akan dikeluarkan Walikota Makassar.
Agar tak terjadi ketimpangan itu, sangat dituntut adanya kerja sistematis yang harus dilakukan, tak terlepas dari peran pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan berupa penerbitan peraturan hingga turut melakukan kerja teknis dalam pelaksanaan, mulai dari pembiayaan perkara, penyuluhan hukum, dan terpenting pembuatan unit kerja khusus yang mengurusi persoalan bantuan hukum. Melalui PP, secara jelas menguraikan hal itu, mulai dari Pasal 4 yang menitik beratkan pada pengajuan permohonan PBHG hingga pada pengembangan program PBHG dan pembentukan unit kerja tersendiri di Pasal 15 dalam PP tersebut.

Peran pemerintah kota Makassar yang memiliki itikad baik dengan membuat peraturan terkait yang kini masih berupa draft memang perlu mendapat respon secara positif. Hal tersebut perlu didorong dan diawasi dengan baik, karena masih banyak hal yang perlu dibenahi. Semisal dalam draft tersebut, pada Pasal 1 bagian 4 disebutkan Bantuan Hukum Gratis adalah pemberian pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu baik berupa penyuluhan maupun pendampingan secara gratis oleh Pengacara yang ditunjuk oleh Walikota yang meliputi perkara perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian maupun sengketa perburuhan.

Pasal diatas menekankan perlunya Walikota Makassar bekerjasama dengan advokat/pengacara dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan hukum. Namun, mekanisme penunjukan advokat yang akan ditunjuk oleh Walikota sangat tidak jelas. Padahal dicantumkan dalam PP No. 82 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-Cuma”

Hal ini mengharuskan Walikota Makassar untuk bekerjasama dengan organisasi advokat ataupun dengan lembaga bantuan hukum yang ada di kota Makassar. Sehingga sangat diperlukan kerjasama yang bersinergi, berupa adanya kebijakan yang jelas, perjanjian kerjasama, dan perumusan kerja agar terencana dengan baik. Apalagi sebenarnya, advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 berbunyi, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Advokat memang memiliki kewajiban melakukan atau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun persoalanya bantuan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sebab organisasi advokat sendiri kebanyakan belum memberikan layanan bantuan cuma-cuma, padahal itu merupakan kewajiban dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik organisasi advokat tempat mereka bernaung bila menolak ataupun meminta bayaran diluar dari kemampuan masyarakat yang kurang mampu tersebut. Persoalan lebih lanjut, advokat belum bekerja secara terorganisir untuk melakukan bantuan cuma-cuma. Hanya melalui lembaga bantuan hukum hal tersebut berjalan walaupun hal itu juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran dengan jumlah perkara yang terbilang banyak.

Rancangan Perwali sendiri tidak menyebutkan besaran anggaran yang akan dikeluarkan setiap perkara, padahal dalam perkara yang berbeda memiliki anggaran yang berbeda pula. Seharusnya, ada mekanisme kerjasama dengan pengadilan terutama dalam penetapan anggaran biaya perkara selain koordinasi yang harus dibangun dalam penanganan perkara. Ada tiga pengadilan yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah kota, diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA), dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perkara yang berbeda dan memiliki aturan khusus tersendiri walaupun tak berbeda jauh.

Apalagi bila menyangkut persoalan pidana, pihak pemerintah kota harus pula bekerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi ini sebagai penyidik dan penyelidik memainkan peran penting dalam proses penanganan perkara yang berkaitan dengan masyarakat, karena setiap orang yang berperkara pidana seharusnya telah mendapat pendampingan sejak proses di kepolisian mulai dari pemanggilan menjadi saksi ataupun penangkapan karena tertangkap tangan.

Tidak adanya model kerjasama yang jelas dengan aparat hukum lainnya selain advokat/pengacara, membuat rancangan Perwali Kota Makassar menjadi pincang. Selayaknya dalam rancangan Perwali ini, pihak Pemerintah Kota melakukan dengar pendapat ataupun memasukkan setiap elemen penegak hukum dalam tim rancangan Perwali tersebut. Dan tidak sampai disitu, beberapa unsur masyarakat yang berkepentingan turut pula dilibatkan secara aktif bukan sekedar pendengar setia saja.

Perlunya melibatkan berbagai sektor yang berkepentingan langsung, tak lain guna membuat Rancangan Perwali tidak hanya sekedar kejar tayang saja. Pelibatan tersebut lebih diarahkan pada pembuatan mekanisme sistem dan struktur berjalan sistematis, karena melihat persoalan PBHG yang tertuang dalam Rancangan Perwali hanya terfokus pada persoalan anggaran, masyarakat yang berhak mendapat pelayanan, tata cara pada tingkatan administrasi dan birokrasi pengurusan untuk mendapatkan bantuan, dan pelaporan/pengawasan. Padahal struktur pelaksana sangat membantu lancarnya kegiatan PBHG di masyarakat, apalagi bila melihat cakupan wilayah kota dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa terbilang kota besar.

Diharapkan kedepan, Walikota Makassar tidak terburu-buru dalam pembuatan, pembahasan dan penetapan Perwali tersebut. Berbagai hal yang sangat berhubungan dan terkait satu sama lainnya perlu dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga tak ada lagi ketimpangan ketika Perwali itu diterapkan di tengah masyarakat.

Gerakan Anti Pelemahan KPK dan Deklarasi Cicak Sul-Sel

Oleh :
Muhammad Sirul Haq
{Anggota Tim Deklarasi CICAK SUl-SEl dan Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)}


Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sedang hangat bergulir, bahkan upaya itu terlihat hingga pada pemotongan kewenangan KPK hanya sebagai lembaga pencegahan korupsi saja. Ada 11 upaya melemahkan KPK, diantaranya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berupa mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan pasal 53 UU KPK tidak sah. Perlu dibentuk dengan UU tersendiri yakni UU Pengadilan Tipikor. MK memberikan batas waktu sampai tahun 2009 sejak diputuskan 19 Desember 2006. (Rilis Media Gerakan Cintai Indonesia Cintai KPK – dan tulisan ini merupakan intisari dari rilis tersebut).
Artinya bila sampai pelantikan baru anggota DPR, ini mengindikasikan perlunya pembenahan ulang dari awal. Karena dapat dipastikan sebagian anggota dewan yang mengurusi persoalan RUU Tipikor adalah wajah baru yang mungkin tidak mengetahui sama sekali mengenai isu dan substansi isi dari RUU Tipikor tersebut.
Alasan lain, muncul upaya “pembajakan KPK” melalui proses seleksi fit and propert test pimpinan KPK jilid III. Track record calon tidak menjadi pertimbangan dalam memilih, ini mengindikasikan para anggota dewan yang pro pelemahan KPK akan bertindak aneh, dengan menghapuskan beberapa calon terutama pengganti Antasasri Azhar (AA) yang terpilih menjadi Ketua KPK 10 Desember 2007. Apalagi penyudutan AA dalam keterkaitan dengan kasus dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, dan indikasi penyeretan keterlibatan beberapa anggota KPK lainnya.
Chandra Hamzah, wakil Ketua KPK diperiksa sebagai saksi oleh Mabes Polri. Para petinggi Polri memberi sinyal Chandra diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, yang menyeret Ketua KPK nonaktif AA pada bulan Juni 2009. Tolak ukur kasus pidana yang menimpa AA dan penggiringan beberapa unsure KPK terkait, mengindikasikan adanya penekanan secara langsung dan mengaduk-aduk keberadaan institusi pemberantas korupsi ini. Sehingga dengan muda bagi para pihak yang tidak menyukai keberhasilan KPK, sangat kuat diindikasikan akan bertindak dengan memilih ketua KPK yang tidak memiliki kredibilitas yang bagus dan bisa diandalkan menggantikan AA dikemudian hari.
Selain itu, ada pula isu ancaman pemboman Gedung KPK. Namun setelah ditelusuri tidak ditemukan ancaman itu yang terjadi pada 6 Februari 2008, dan diindikasi hanya berupa penyudutan terhadap tindakan riil yang dilakukan oleh KPK terhadap pengejaran para koruptor kakap di Indonesia. Secara beruntun pula, ada wacana pembubaran KPK yang dilakukan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR Ahmad Fauzi. Hal ini terkait dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR. Ahmad menilai, KPK menjadi lembaga yang super dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bagi Ahmad Fauzi yang mengeluarkan pernyataan pada April 2008, mengatakan UU KPK perlu direvisi dengan alasan yang tidak logis.
Ketidak logisan itu terlihat pula pada penolakan anggaran KPK terutama dalam operasional pemberantasan korupsi menemukan jalan buntu, indikasi ini terlihat pada permintaan tambahan dana dalam rekening 069 pada RAPBN 2009 untuk KPK sebesar Rp90 miliar ditolak DPR dengan alasan belum pernah dibicarakan dalam rapat Komisi III DPR pada November 2008. Dan sangat berimbas pada proses legislasi UU antikorupsi, terkhusus mengenai RUU KPK. Pemerintah dan DPR memasukkan Revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2004-2009. Jika UU KPK dibahas, potensial justru akan melemahkan KPK. Namun proses pembahasan batal dilakukan, apalagi banyaknya anggota DPR yang lengser dan digantikan wajah baru yang tidak mengikuti alur jelas mengenai peraturan tersebut.
RUU Tipikor pun memiliki isu krusial, diantaranya kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan yang pernah dilimpakan ke DPR Mei 2009. RUU Pengadilan Tipikor yang juga terdapat isu krusial, berupa komposisi hakim ad hoc mulai diperkecil, Ketua Pengadilan diberikan kewenangan penuh memilih hakim, pembentukan pengadilan tipikor disetiap kabupaten yang telah dilimpakan ke DPR September 2008. Proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di Pansus DPR masih macet, jika tidak disahkan hingga 19 Desember 2009, maka semua kasus yang ditangani oleh KPK akan diadili oleh pengadilan umum.
Lebih mengherankan lagi, ada indikasi tindakan penarikan personel dari KPK yang dilakukan mabes POLRI, dengan berupaya menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK pada November 2008. BPKP berupaya menarik 25 personelnya dari KPK dan akan memberikan sanksi jika menolak. Namun rencana urung dilaksanakan pada Mei 2009, berkat adanya desakan dari elemen masyarakat yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi agar tak melemahkan KPK.
Tidak hanya sampai disitu saja, tindakan pembatasan kewenangan penyadapan bagi KPK pun menjadi isu hangat, ini muncul dari sejumlah anggota Komisi III DPR. Muncul ide pembatasan penyadapan KPK melalui Revisi UU KPK yang dilaksanakan pada Agustus 2008. Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah terkait, bagi upaya pembatasan dan mungkin berupa tindakan pengubahan beberapa pasal dalam revisi UU KPK.
Ada dorongan dari sebagian anggota Komisi III DPR untuk meminta KPK tidak melakukan penyidikan atau penuntutan selama komposisi pimpinan tidak lengkap 5 orang yang dilakukan pada Mei 2009. BPKP berupaya melakukan audit terhadap KPK atas perintah Presiden, namun SBY membantah adanya tindakan itu pada Juni 2009. Padahal secara terang-terangan semua media baik cetak maupun elektronik memberitakan hal tersebut, sehingga tak ada upaya mengelak yang sepantasnya dilakukan SBY. Apalagi dalam setiap kampanyenya, SBY selalu menekankan upaya pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan sepatutnya ditagih hingga 5 tahun ke depan.

Deklarasi Cicak
Sejumlah elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu korupsi terutama mengenai tindakan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap proses pelemahan KPK, perlu melakukan tindakan perlawanan bersama. Dan tindakan perlawanan itu muncul dengan menggunakan simbol CICAK sebagai singkatan dari Cinta Indonesia Cinta KPK. Hal ini berkaitan pula dengan kondisi semakin tidak baik, ketika salah seorang perwira POLRI menggunakan istilah “Cicak kok Mau Melawan Buaya”. Penggunaan istilah ini dinilai semakin menunjukkan resitensi pihak tertentu dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Akan tetapi, Deklarasi Gerakan CICAK yang telah dilakukan di Jakarta pada 12 Juli 2009 yang dilakukan elemen masyarakat tersebut tidak ditujukan untuk menyerang salah satu institusi. Karena personifikasi Buaya lebih mengarah pada seluruh kekuatan “corruptor fight back” yang terus menerus menyerang KPK dan melemahkan pemberantasan korupsi. Jika dulu koruptor perseorangan dilambangkan dengan tikus, maka saat ini koruptor yang mengkonsolidasikan diri dan bersarang di instansi negara disimbolkan dengan Buaya (koruptor). Kekuatan itulah yang saat ini mengepung KPK dari berbagai arah.
Makanya, upaya perluasan perlawanan itu kemudian digulirkan pula oleh semua elemen masyarakat di Sulawesi Selatan, terutama kota Makassar. Dengan rencana akan melakukan deklarasi CICAK Sul-Sel pada Kamis, 20 Agustus 2009, untuk menggaungkan tindakan pelemahan KPK secara khusus, dan pemberantasan korupsi secara umum. Sangat diharapkan, secara umum bagi masyarakat dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap upaya pemberantasan korupsi khususnya yang ada di Sul-Sel, dukungan terhadap KPK agar tidak surut dalam pemberantasan korupsi dan upaya pihak bertanggungjawab untuk melemahkan keberadaan KPK melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK.
Sehari berselang setelah Deklarasi Gerakan CICAK, Presiden mengundang sejumlah pimpinan Lembaga Negara yang terkait penegakan hukum di Istana Negara (13/7/09). Seperti diketahui, KPK dan POLRI hadir disana. Selain itu, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK, BPKP dan Kejaksaan pun turut diundang.
Sebenarnya masyarakat berharap, Presiden bisa memperkuat fungsi dan peran KPK untuk memproses kasus korupsi yang terjadi diinsitusi manapun. Akan tetapi, kesan yang muncul ke publik justru sebaliknya. Penggunaan frase seperti: KPK jangan jebak koruptor, sebaiknya prioritas pada pencegahan korupsi, dan jangan sampai ada rivalitas antar penegak hukum menimbulkan kekhawatiran baru. Wajar jika masyarakat menilai, tidak banyak hal krusial dan kabar baik bagi pemberantasan korupsi dari rapat koordinasi tersebut.
Prioritas Pemberantasan Korupsi pada strategi pencegahan termasuk poin yang seringkali dikritik keras oleh publik. Bagaimana mungkin dalam kondisi korupsi menjalar dan tumbuh besar diberbagai institusi negara, yang dilakukan justru “pencegahan”? Kasus-kasus di Bea dan Cukai adalah contoh terbaik yang seharusnya jadi acuan. Meskipun strategi pencegahan telah dimulai sejak lama, namun saat KPK melakukan penggrebekan, suap dan praktik pungutan liar masih tetap tumbuh dan terjadi.
Dalam kondisi korupsi Indonesia yang masih terpusat di Institusi Politik, seperti Legislatif dan Partai Politik serta lembaga penegak hukum, maka penggunaan strategi pencegahan sama halnya dengan tindakan kompromi dengan koruptor. Lagipula, pencegahan korupsi dilakukan untuk kasus korupsi yang belum terjadi, itupun dalam jangka panjang. Jika korupsi sudah terjadi, pilihan strategi yang dilakukan tetap pencegahan, hal itu sama artinya menggunakan isitilah pencegahan sebagai legitimasi melindungi koruptor.
Oleh karena itu, lewat deklarasi CICAK sangat mengharapkan agar KPK tetap kuat melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan memprioritaskan strategi penindakan. KPK memprioritaskan membongkar kasus korupsi di lembaga penegak hukum. Dan Presiden, Kepolisian beserta Kejaksaan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Bila kemudian presiden SBY tidak melakukan tindakan tersebut, ini sangat mengindikasikan kekecewaan yang teramat sangat dengan terpilihnya kembali sebagai presiden 5 tahun kedepan. Padalah keberadaannya sebagai hasil pencitraan sangat terbantukan dengan kampanye anti korupsi dan upaya pemenjaraan koruptor tanpa pandang bulu. Kita lihat saja, apakah SBY mampu melakukan itu ataukah hanya sesumbar janji politik saja.

(tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur, edisi 18 Agustus 2009 pada kolom OPINI)
Diberdayakan oleh Blogger.