Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Adakah Wartawan yang Independen?

Mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, adakah wartawan yang independen? Mungkin jawabannya adalah tidak ada, bagi wartawan professional yang bekerja di sebuah media baik lokal maupun bertaraf internasional. Mungkin ada pengecualian bagi pewarta warga atau istilah kerennya citizen reporter, menulis berita tapi bukan untuk sebuah pekerjaan tapi lebih pada hobi, kebiasaan ataupun ingin menyebarkan informasi bagi orang banyak, tapi hal ini nanti dibahas secara tersendiri.

Wartawan, biasa pula disebut reporter, jurnalis ataupun pewarta melakukan pekerjaan berdasarkan tekanan dari si pemilik wartawan. Lebih tepat dikatakan, pemilik wartawan inilah sebagai pemilik modal yang membiayai operasional media mulai produksi berita hingga dilempar ke muka konsumen berita atau biasa disebut pembaca, pemirsa ataupun pendengar.

Sejak awal, wartawan mulai dari matanya membelalak hingga terlelap di peniduran hidupnya sangat berada dalam kungkungan penguasa media. Mirip boneka, diarahkan dari satu arah ke arah yang lain demi sebuah kepentingan pasar. Jual beli jasa informasi, dimana jurnalis sebagai buruh - terbersit dari sebuah stiker salah satu organ jurnalis, “wartawan adalah buruh” – bekerja berdasarkan pesanan. Ibaratkan pabrik, buruh bekerja berdasarkan tugas masing-masing. Ada sebagai pemasang kancing, hingga yang mengemas di dalam kotak bermerek untuk dijual pada konsumen. Inilah yang biasa disebut dengan kerja-kerja redaksi pemberitaan.

Rapat redaksi, awal sebuah peristiwa diproduksi untuk dilihat dari cara pandang berbeda. Kejadian yang dianggap bernilai berita dan layak dikonsumsi public, padahal bukan layak tapi sekedar dipaksakan demi tujuan kepentingan produsen berita itu sendiri dan konsumen mungkin sekedar sebagai korban dari kemasan berita itu.

Sudut pandang kejadian itulah yang dirapat redaksikan, kemudian menerjunkan para jurnalis ke medan peristiwa. Sebuah kemasan peristiwa, berdiri pada sebab akibat yang mungkin berantai sangat panjang. Namun lewat kaca mata reporter, peristiwa itu menjadi terpotong-potong, tereduksi dan kesan mendalam menjadi hilang – atau mungkin kehilangan nilai, karena telah dikebiri secara sadar maupun tak sadar. Lahirlah sebuah kejadian yang dikomoditikan menjadi sebuah berita yang melalui rekonstruksi peristiwa.

Sehingga siapa tuhan diatas tuhan itu sebenarnya? Tuhan tak pernah memotong, memilah dan merekayasa peristiwa untuk kemudian disajikan atas nama konsumsi dan hak publik. Tapi itulah yang terjadi, pewarta menjadi tuhan yang memotong peristiwa. Mengambil bagian yang dianggap menarik, layak diberitakan, punya nilai kedekatan dengan penikmat berita dan tentunya sudut pandang yang mendahulukan komoditi kepentingan pengiklan dibandingan kepentingan warga yang menikmati berita sebagai hak atas informasi ataukah hanya pengatasnamaan saja.

Rekonstruksi peristiwa itupun kemudian mengalir via pena – katanya pena itu lebih tajam dari pedang dan senjata utama wartawan – yang kini tak sekedar pena, ada tape recorder yang telah bermutasi menjadi MP4, kamera foto ataupun kamera video. Tak menunggu lama, produksi peristiwa yang tertuang dalam berita itu kemudian hadir via layar kaca; televisi, laptop, computer, ipad, hp lewat jejaring antena, gelombang elektromagnetik gsm/cdma, ataupun kabel tivi dan telepon. Menyapa, menyuguhkan hasil pandangan mata kepala wartawan yang kemudian tersiarkan ke seluruh pelosok negeri bahkan melintasi negeri hingga keluar negeri. Wartawan telah berhasil, mengkotakkan, mengkolomkan dan mengabadikan peristiwa. Membuang yang tak perlu – yang mungkin bagian tak terpisahkan – dan mengambil hal yang dianggap menarik, layak disajikan kepada public dan tentunya mendatangkan gairah rating pengiklan.

Lantas apakah proses itu disebut independen? Mungkin tidak, sebab berita yang telah dibuat ternyata harus melewati dapur redaksi yang lebih menentukan berita itu layak muat atau tidak. Jika layak tersaji, maka akan memakan kepala bagi siapapun yang membacanya. Namun bila tidak, berita itu layaknya sampah, diremas, dicaci dan dibuang di tong sampah. Berita sampah inilah yang merupakan bukti-bukti yang berserakan di belakang kantor penerbitan media, dan mungkin jumlahnya lebih banyak dibandingkan berita yang muncul dipermukaan kertas. Sampah busuk ini – walaupun tak berbau busuk di hidung – secara tak sadar maupun tak sengaja telah membuang ataupun mencampakkan pula wartawan yang memproduk awal berita itu.

Jika jumlahnya lebih banyak daripada yang menjadi pajangan disetiap halaman atau tayangan berita, maka mungkin wartawan yang menjadi bagian dari berita sampah itu adalah buangan – maaf tak bermaksud menyamakan dan mencampakkan, tapi sekedar berbicara kenyataan. Terbuang, itulah mungkin tepatnya. Bila digambarkan ibarat sesosok wartawan yang berdiri tegap, maka 2/3 dirinya adalah sampah yang selalu dibuang di tong sampah setiap harinya – bila ia bekerja pada media harian. Sisanya, 1/3 bagian inilah yang muncul menjadi berita yang dikonsumsi pembaca. Nilai 1/3 pulalah yang menjadi penghitungan point bagi setiap wartawan untuk mendapatkan penggajian, itu bila berdasarkan point sebab ada pula yang dibayar (baca : diupah) bulanan – tak tahu mana yang lebih menguntungkan, sebab mungkin keduanya tetap menguntungkan bagi wartawan itu.

Itu mungkin sekilas dari segi pemberitaan, tapi dari segi ketenagakerjaan mungkin lebih parah lagi. Peraturan tenaga kerja mengharuskan setiap pekerja bekerja 8 jam setiap hari, tapi wartawan bekerja 24 jam jika perlu – dan mungkin seperti itulah – jauh melampaui pekerja/buruh normal di sebuah pabrik pembuatan sepatu. Waktu kerja yang begitu terlampau superman itu, tak mempengaruhi perolehan upah/gaji bulanan maupun berdasarkan jumlah berita dan point yang masuk. Artinya, gaji wartawan sebagai buruh seharusnya 3 (tiga) lipat dari pekerja buruh yang hanya 8 (delapan) jam sehari.

Begitu superman-nya wartawan itu, sehingga dalam peliputanpun mungkin tak ada penghitungan biaya operasional lapangan, tunjangan jabatan, biaya per diem, hingga perlindungan asuransi – bila ada, itu sangat syukur alhamdulillah. Sangat mirip dengan tokoh Gatot Kaca, bekerja dengan otot tapi juga harus mengandalkan otak. Padahal pekerja di pabrik kebanyakan hanya mengandalkan otot sebab otak mereka telah dikendalikan mesin pabrik, tapi wartawan harus pula memeras otak untuk mendapatkan berita berdasarkan pesanan koordinator liputan ataupun redaktur berita (baca : pemilik media).

Penyalahan UU Tenaga Kerja, yang mungkin sering pula diliput oleh wartawan terutama setiap tanggal 1 Mei yang merupakan hari buruh untuk menuntut. Tapi tak pernah terdengar, wartawan menuntut pada perusahaan tempat mereka bekerja. Kenaikan gaji, penolakan sistem kontrak, jam kerja setiap hari tak melebihi 8 jam jika lebih terhitung lembur yang honornya lebih besar dari gaji pokok, dan memiliki cuti. Mungkinkah wartawan takut terhadap penguasa mereka sendiri, sementara diluar sana mereka selalu mengangkat peristiwa para pekerja yang menuntut hak mereka berdasarkan UU Tenaga Kerja. Ataukah mereka sekumpulan pecundang – maaf kata ini mungkin terlalu menghina, tapi ini sekedar intisari kenyataan. Menyedihkan, mereka tak bisa meneriakkan hak mereka padahal kewajiban mereka sudah sangat terlampau menekan hingga melampaui nilai dasar kemanusiaan (lihat Sila ke-2 Pancasila). Ataukah mereka (baca : wartawan) tak independen, ataukah independen itu adalah mimpi yang ingin diwujudkan tapi tak pernah kesampaian.

Belenggu Kapitalisme Media

Sadar ataupun tidak, berita yang telah diproduksi wartawan dari peristiwa lapangan. Adalah ujung tombak jualan pasar media untuk meraup pembeli berita, yang biasa disebut dengan pengiklan. Dalam media cetak maupun elektronik, ada skop atau wilayah tayangan/kolom yang nilainya tidak sama. Bila muncul di halaman satu atau tayangan utama, maka nilai harga iklan jauh lebih besar dari nilai yang ada dihalaman dalam pojok yang mungkin kurang dilirik.

Iklan di Indonesia, merupakan hal yang gila-gilaan menjadi pangsa pasar produktif yang menggiurkan bagi para pengusaha juga penguasa. Makanya tak heran, hari ini terdapat 11 (sebelas) channel media televisa yang berseliweran menayangkan tayangan mereka masing-masing termasuk berita. Bahkan berita hari ini, menjadi hal yang paling menggiurkan bagi setiap media untuk meraup iklan. Sehingga tak aneh kalau hari ini kita punya 2 (dua) station tivi yang mengusung berita sebagai jualan mereka, dan raupan begitu besar dari iklan disetiap tayangan berita tersebut atau biasa diistilahkan dengan waktu tayangan berita.

Keuntungan media, paling besar dinikmati oleh pemilik media itu sendiri. Contohnya saja, ada pemilik media tivi yang begitu kaya raya, sangking kayanya sanggup menenggelamkan warga Porong, Sidoarjo dengan lumpur bawah tanah. Tapi sampai hari ini tak tuntas membayarkan ganti rugi, bahkan Negara melalui pemerintah mencanangkan menjadi bencana nasional – tak lebih hanya rekayasa dan transaksional politik. Tapi sang pemilik tivi itu tak pernah disentuh oleh berita-berita kritis dari media mereka sendiri, jadi sekedar tajam untuk peristiwa yang lain namun tumpul untuk sebuah peristiwa menyedihkan. Tenggelam dalam bencana lumpur tapi pembuat bencana lumpur menikmati luberan duit dari berita yang tak pernah menyentuh lumpur itu. Sungguh sangat menyedihkan dan juga sangat memukul – mungkin sangat munafik saja berita-berita mereka itu.

Sedih memang, tapi itulah kenyataan penguasa media adalah jejaring pengusaha yang berorientasi mencari untung dengan menjadikan media sebagai salah satu jualan dan mungkin jualan utama mereka. Sementara wartawan, hanya sebagai penderita pelengkap bagi mereka yang dengan begitu gampang ditugaskan ke lapangan mencari berita. Tapi hasil produksi berita itu, mereka lebih menikmatinya dengan sangat menyenangkan tanpa perlu merasakan pahitnya kemiskinan rakyat hari ini.

Inti profesionalisme

Diatas telah dikupas bagaimana wartawan dilapangan merekonstruksi peristiwa menjadi berita, hingga pada kedudukannya sebagai buruh/pekerja serta bagaimana belenggu yang secara tak sadar dan mungkin sadar telah dimanfaatkan dengan begitu empuknya bagi pengusaha dan penguasa media. Dimana menggiring pada gambaran kenyataan tentang getirnya persoalan kewartawanan yang sulit mungkin dikatakan independen.

Kondisi terbelenggu itulah, terasa terobati dengan slogan jurnalis adalah pekerjaan profesionalisme yang memiliki kode etik. Namun bagi Robert Thiyosaki (mungkin salah penulisan) dalam bukunya cash flow, membedakan antara pekerja pegawai/buruh dengan professional. Pekerja pegawai cenderung berada pada tekanan dan memiliki atasan sehingga mendudukan dirinya sebagai bawahan, sementara pekerja professional adalah pekerja yang independen yang tidak terikat dengan perusahaan ataupun tekanan dari atasan karena bekerja secara sendiri-sendiri dengan mengandalkan keahliannya, semisal dokter, konsultan ataupun advokat.

Pekerja professional memiliki keterikatan moral dan etik atas pekerjaannya, sehingga pekerja professional harus berdisiplin ilmu sama dengan profesinya, tapi tidak dengan wartawan yang kebanyakan bukan lulusan jurnalistik. Pekerja professional, sebelum bekerja mereka disumpah secara moral dan etik atas pekerjaan yang dilakukannya karena sumpah itulah yang mengikat pekerjaannya karena tak memiliki atasan. Tapi bagaimana dengan wartawan, pernahkan mereka disumpah atas dasar profesi kewartawanan mereka, mungkin jawabnya tidak. Karena bagaimana mungkin disumpah, toh sarjana Peternakan pun bisa menjadi wartawan. Namun tak pernah ditemui, seorang dokter berlatar belakan Teknik Mesin.

Sanksi moral ataupun etik bagi pekerja professional sangat jelas, tindakan mal praktek yang dilakukan bisa mengakibatkan pada hilangnya profesi mereka itu. Kehilangan itu, akibat mal praktek membuat mereka dicabut lisensi profesi mereka. Tapi adakah wartawan yang melanggar kode etik jurnalistik yang berakibat pada hilangnya lisensi kewartawanannya, jawabanya tidak. Seenak perutnya, bila mereka dipecat dari organisasi wartawannya dan media tempatnya bekerja, dia masih dapat menjalankan kerja jurnalistik pada media maupun tempat yang lain atau pada tempat yang sama. Sehingga tak ada pelanggaran etika bagi pekerjaan wartawan, karena ia tak pernah disumpah secara etik dan tak pula kehilangan profesi ketika melakukan mal praktek dalam kerja jurnalistiknya.

Jadi, pantaskah sebuah pekerjaan wartawan dikatakan sebagai pekerja professional yang berlandaskan kode etik jurnalistik? Silakan anda menjawab. Namun bila jawabannya adalah tidak, apakah profesi wartawan adalah independen yang bekerja tidak dibawah tekanan dan kepentingan perusahaan dimana dia bekerja? Silakan anda menjawab. Namun bila jawabannya adalah tidak, apakah produk yang dihasilkannya adalah sebuah produk yang independen, tidak memihak dan cover both side? Silakan anda menjawab. Namun bila jawabannya tidak, perlukah ada etika jurnalistik ataukah itu hanya pemanis bibir bagi sebuah rekayasa pemilik kepentingan?

Selamat berekayasa dengan pikiran anda


Oleh :
Muhammad Sirul Haq
(Praktisi Hukum)
Diberdayakan oleh Blogger.