Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Dahlan Iskan dan Kekuatan Politik Menuju Kursi Presiden

Dahlan Iskan (DI), Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam prioede kepemimpinan SBY-Boediono menjadi figur kuda hitam dalam pemilihan presiden 2014. Bahkan, dukungan masyarakat terutama di jejaring sosial meningkat terhadap ketokohan DI yang berkarakter.

Figur DI bagaikan oase di tengah padang tandus yang kering. Masyarakat memiliki kecenderungan memilih DI sebagai calon presiden karena dianggap bersih dari korupsi, hidup sederhana, tekad kerja yang kuat dan kemampuan mengambil keputusan cepat ditengah kebuntuan kondisi ekonomi, sosial dan politik.

Sayangnya, DI tidak memiliki kendaraan politik berupa partai politik yang akan mengusungnya di 2014. Kuat kemungkinan, bila DI memiliki keinginan menuju kursi panas orang nomor 1 di Indonesia harus menggandeng partai politik yang kini berada di parlemen.

Ada 3 partai besar yang kini di parlemen berupaya meminangnya, diantaranya PKS, Golkar dan Demokrat. Cuma kemungkinan besar ke-3 partai tersebut memiliki calon internal partai yang sulit digeser kedudukannya sebagai calon presiden, jadi jika DI ingin masuk maka kemungkinan akan menjadi calon Wakil Presiden. Kekuatan menjadi Wakil Presiden kemungkinan besar hanya menjadi pendongkrak suara saja, ditengah popularitas DI yang mulai menanjak.

Kekuatan DI lainnya yang patut diperhitungkan adalah kemampuan dana yang dimilikinya. Sebagai empunya Jawa Post Group, DI terbilang orang yang memiliki energi besar untuk memobilisasi kendaraan politik. Cuman, apakah DI mau melakukan itu, karena di jabatannya yang sekarang DI cenderung terlihat lebih memilih melakukan penghematan dan tidak mau menerima gaji jabatannya.


Peluang untuk maju sebagai calon independen

Regulasi calon independen belum ada, baru sebatas calon kepala daerah. Rencana aturan dengan amandemen UUD 45 baru akan dilakukan dengan memasukkan calon independen untuk dapat berkiprah pula di pemilihan presiden. Jadi, DI harus menunggu regulasi itu legal baru dapat memajukan dirinya menjadi calon independen. Biaya untuk menjadi calon independen, jika melirik pengalaman di pemilihan kepala daerah ternyata tak jauh berbeda dengan calon melalui partai politik, biayanya juga terbilang besar karena konsolidasi massa dan suara harus dibangun orang per orang. Sebuah biaya yang sangat besar untuk skala pemilihan presiden yang merangkul semua wilayah Indonesia.

Jika dihitung menuju 2014, calon independen seharusnya mulai bergerak ditahun 2012 untuk penggalangan suara individu hingga mencapai persyaratan batas minimum suara yang harus dikumpulkan untuk lolos menjadi calon independen. Walaupun independen, struktur kerja politik juga harus dibangun dengan komunikasi yang terbilang baru dan membangun jaringan politik hingga tingkat rukun tetangga dan rukun warga harus mantap.

Menimbang kemudian, antara melalui kendaraan politik ataupun melalui jalur independen tetaplah harus sama-sama bekerja keras untuk meraup kemenangan. Memang, kenyataannya yang dibutuhkan adalah suara individu orang per orang, tapi untuk bekerja mengumpulkan suara itu dengan cakupan wilayah yang sangat luas akan menguras tenaga dan dana yang tak sedikit.

Bila salah langkah, jalur independen malah akan mengeluarkan dana yang lebih besar dibandingkan melalui jalur partai politik. Tapi, tak ada salahnya bagi DI untuk mencoba jalur ini dibandingkan masuk dalam lingkaran partai politik yang diketahui bersama sebagai ladangnya korupsi di Indonesia.

Hal yang harus dilakukan DI hari ini, bila memang memiliki keinginan kuat untuk maju sebagai calon presiden adalah memperkuat popularitas politik, memikirkan kendaraan politik yang akan dipilih, mulai membangun jaringan politik hingga pada tingkatan terbawah, memikirkan strategi yang harus dilakukan dan menyiapkan dana tentunya-sebab tak ada yang gratisan hari ini.

Semoga saja DI mau untuk menjalani proses itu, kami tunggu di kursi panas Presiden RI 2014.


SBY Anti Kebebasan Informasi, Berekspresi dan Berpendapat

Kebebasan atas informasi, berekspresi dan berpendapat bukan hanya persoalan hak tapi juga kewajiban. Selama ini, perjuangan atas hak warga negara terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat telah tersalurkan dengan adanya peraturan yang terbilang cukup mewadahi, mulai dari Pasal 28 UUD 1945, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Perlindungan akan kebebasan itu telah terpenuhi oleh negara kepada warga negaranya.

Walaupun dalam catatan perjalanan, keberadaan kebebasan atas informasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat itu memenuhi berbagai rintangan. Diantaranya, tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik; mulai dari pelarangan akses terhadap informasi, perusakan alat peliputan, kekerasan saat meliput, hingga pada pembunuhan yang dilakukan terhadap wartawan.

Begitupun terhadap warga negara biasa, diantaranya mahasiswa, buruh, petani dan masyarakat adat. Sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi terutama dari aparat pengaman dalam melakukan aksinya. Tindakan aparat keamanan, mulai dari pelarangan melakukan demonstrasi, tindakan kekerasan terhadap pendemo, melakukan pembubaran paksa, pemukulan hingga penembakan yang berujung pada kematian.

Kebebasan juga terbatasi terhadap individu ketika menyampaikan pendapat melalui media. Individu sebagai narasumber, sering mengalami kekerasan mulai dari ancaman, pemukulan bahkan pembunuhan. Apa yang diungkapkan individu melalui media, termasuk jejaring sosial sering mendapati dirinya sebagai korban dari tindakan anti terhadap kebebasan menyebarkan informasi, berekspresi dan berpendapat.

Kewajiban Negara

Jika hak adalah kepemilikan dari warga negara untuk memperoleh informasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat, maka negara (baca : Pemerintahan SBY), juga memiliki kewajiban. Mungkin negara menganggap dengan memberikan kebebasan memperoleh informasi, berekspresi dan berpendapat maka pekerjaan negara telah tuntas. Padahal, negara memiliki kewajiban lebih besar dalam menerima, menyalurkan dan melaksanakan dari tindakan ekspresi dan pendapat warga negara.

Negara selalu abai dalam mewujudkan keinginan atau keresahan masyarakat. Dianggapnya, ketika memberikan kebebasan menyampaikan pendapat baik secara individu melalui media atau disampaikan langsung, ataupun melalui aksi demontrasi maka itu dianggap cukup dan sekedar ditampung saja. Kealpaan negara, adalah ketidak hadiran dalam mewujudkan apa yang telah disampaikan itu, yang berakibat pada terjadinya kerugian ataupun penderitaan berlarut-larut yang diderita masyarakat.

Apa yang terjadi di Sidoarjo (Jawa Timur), Timika (Papua), Mesuji (Lampung), Bima (NTB) dan masih banyak tempat lain di negeri ini adalah bentuk kealpaan negara dari ketidak mampuan ataupun sebenarnya karena kesengajaan yang dibuat-buat, untuk tidak melaksanakan kewajiban atas apa yang disuarakan rakyat tersebut. Kasus Sidoarjo, Timika, Mesuji dan Bima bukanlah kejadian yang langsung terjadi begitu saja pada waktu yang tertentu. Tapi, merupakan kejadian yang telah berlangsung lama, berlarut-larut dan tidak menemukan penyelesaian akibat tindakan acuh dari negara dalam memenuhi apa yang seharusnya menjadi hak dari warga negara. Hal ini berdampak pada, kehilangan rakyat atas hak mereka terhadap tanah, kehidupan, dan terenggutnya nyawa dari badan mereka. Sebuah harga yang sangat mahal, dari kelalaian negara mewujudkan kewajibannya!

Tidak hanya sampai disitu saja, kekerasan horisontal pun terjadi. Mulai dari Ambon, kasus Ahmadiyah, persoalan Geraja, tindakan Front Pembela Islam (FPI), kasus Poso dan kasus lainnya. Adalah sebuah ekspresi yang tidak segera diselesaikan secara cerdas, tapi dibiarkan berlarut-larut hingga mengakibatkan korban diantara masyarakat itu sendiri. Ini terjadi akibat ketidak pekaan negara untuk hadir sebagai penyelamat bagi rakyatnya sendiri.

Maka tak heran, bila Pong Harjatmo, artis senior Indonesia melakukan aksi coret di atap gedung DPR RI. Atau yang lebih ganas lagi, aksi bakar diri yang dilakukan Sondang Hutagalung dengan membakar dirinya di depan Istana Negara. Aksi-aksi ini dan beribu aksi mahasiswa, buruh, petani dan aktivis Hak Asasi manusia (HAM) di depan Istana Negara dan seluruh wilayah Indonesia, tak mendapat perhatian serius dari Negara.

SBY Pelanggar HAM

SBY sebagai perwujudan negara dan rakyat, yang hadir beserta bawaan kekuasaan Presiden Indonesia. Memiliki kewenangan luar biasa ditangannya untuk memenuhi kewajiban warga negaranya yang telah menyalurkan informasi dari bawah, melakukan aksi dan menyampaikan pendapat ternyata tidak digubris.

SBY tidak menjalankan kewajibannya, artinya melakukan pembiaran terhadap keresahan rakyat yang berujung pada kematian. Sungguh aneh memang, SBY seakan tak mau pusing akan derita rakyatnya padahal ia hadir atas keinginannya menjadi presiden itu untuk mengatasi segala persoalan kebangsaan ini, dengan kampanye politiknya “Pro Rakyat”.

Defenisi pembiaran atau pengabaian ini, termuat dalam point (a) Menimbang, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berbunyi, “bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”.

Pengabaian itu dapat diganjar dengan Tindak Pelanggaran HAM mengenai Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 9 point (e) yang berbunyi, “perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional.”

Dan juga pada Pasal 9 point (h), berbunyi,
“penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional”.

Sehingga untuk membuktikan tindakan mengabaikan itu, Komnas HAM selaku penyelidik dapat melakukan penyelidikan atas fakta-fakta hukum yang terjadi yang satu dengan lainnya saling terkait. Karena, dilakukan secara masif, sistematis dan terstruktur untuk kemudian melimpahkannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku penyidik HAM untuk meneruskannya di Pengadilan HAM.

Komnas HAM bisa menjerat dengan ancaman hukuman, seperti diatur dalam Pasal 37, berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”

Dan dalam Pasal 40, berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”

Jadi, sebenarnya tinggal menunggu langkah inisiatif dari Komnas HAM untuk memproses hal ini ataukah memang Komnas HAM tidak punya nyali dan hanya berani berkoar-koar dan hanya beraksi sebatas penerbitan rekomendasi saja. Sebuah hal yang aneh!

2012, Ketua KPK Abraham Samad Bakal Pulang Kampung

Abraham Samad (AS), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diprediksi akan pulang kampung di tahun 2012. Ramalan ini berangkat dari pernyataan AS sewaktu menjalani uji kelayakan di DPR RI yang menyatakan akan pulang kampung jika tidak dapat membongkar kasus Bank Century (BC). Artinya ada peluang 50% bagi AS untuk berhasil menjalankan misinya, dan tentunya ada peluang 50% bagi AS pula untuk pulang kampung ke Makassar.

AS menghadapi pertarungan yang sangat sulit, karena di tahun 2011 KPK jilid 2 melalui pimpinannya di depan anggota dewan DPR RI menyatakan tidak ada dugaan penyelewengan dana atau korupsi terhadap kasus BC. Apa yang diungkapkan KPK itu sendiri sebagai penanda awal pulang kampungnya AS, karena kasus BC sudah hampir setahun menjadi garapan serius KPK namun tidak membuahkan hasil sama sekali.

2011, dalam Pledoi Antasari Azhar (AA), Mantan Ketua KPK jilid 2 menyatakan ada "bos besar" yang bermain di kasus BC yang kuat dugaan juga merekayasa dirinya agar masuk ke hotel prodeo. Terbunuhnya Nazaruddin Syamsuddin, pengusaha asal Makassar diduga sebuah rekayasa besar untuk menumbangkan AA yang kala itu juga sementara membongkar kasus mega skandal BC.

Bos besar itu, juga berhasil menggolkan ataupun meloloskan Sri Mulyani (SM), mantan Menteri Keuangan dan Boediono, yang kini Wakil Presiden RI mendampingi SBY. Kegagalan KPK, karena tak dapat menjerat  SM yang kini telah diamankan Bank Dunia. Padahal, sudah ada indikasi SM bermain dalam penggelontoran dana sebanyak Rp. 6,7 Triliun itu. Bahkan kini, kasus BC telah menjadi perkara Internasional karena Bank Dunia meminta kepada Pemerintah Indonesia, dibawah rezim SBY untuk membayar kekurangan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun itu, yakni sebesar Rp. 4 Triliun.

2012, KPK belum memiliki titik terang memulai darimana, mungkin hanya menemukan alamat palsu. Bahkan KPK meminta bantuan DPR untuk turut menjabarkan kasus BC, sangat tidak mungkinlah karena jaringan bos besar pastinya sangat banyak di senayan. Masyarakat yang belum dibayarkan dana tabungannya di BC, juga KPK tidak dapat menindaklanjuti sebagai bentuk tindak pidana korupsi tersendiri.

Menghadapi kasus BC, KPK sangat ditunggu mengeluarkan pernyataan strategis maupun aksi-aksi nyata akhir tahun 2011 untuk menghadapi 2012, tapi sampai akhir tahun ini belum ada pernyataan resmi juga. Ini menandakan, tembok hitam yang terjal bakal sulit dilalui 5 pimpinan KPK. Sebab diyakini, bos besar dibelakang mafia korupsi BC tidak akan tinggal diam terhadap upaya KPK membongkar kasus tersebut.

Diyakini, apa yang pernah terjadi dan masih dijalani oleh AA adalah bagian rekayasa yang akan terjadi lagi bila KPK jilid 3 ini akan bermain-main lagi di kasus BC. Tinggal tuhan saja tempat KPK hari ini dan melewati hari-hari di tahun 2012 menghadapi bos besar yang sebentar lagi akan turun gunung bila diusik ketenangannya.

AS pun dari berbagai pernyataannya tidak mau sesumbar, setelah sesumbar yang dilontarkan di senayan. Hanya mengatakan, sekarang saatnya KPK bekerja, mengurangi bicara dan memperbanyak kerja. Bahkan, ketika diwawancarai Karni Ilyas di TVOne, AS beralasan tidak akan membeberkan strategi yang akan dilakukan dalam membongkar kasus BC. Bisa jadi demikian, tapi bisa jadi juga AS sebenarnya kebingungan karena belum memiki strategi dalam membongkar BC yang diduga akan menyeret pemain kelas satu negeri ini.

Perjuangan yang memang akan mempertaruhkan nyawa, dan pimpinan KPK juga telah menyatakan siap mati. Semoga saja itu terlaksana, jangan sampai hanya menjadi boyband KPK. Semoga saja tak ada pulang kampung, amien. 

SBY Kembangkan Budaya Suka Ngeluh


link foto : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=140803726031335&set=o.118974331509520&type=1&theater

"SBY jangan Cengeng" itulah judul foto upload yang diunggah oleh teman akrab saya di FB walaupun belum pernah berjumpa mata secara langusng, KH Avie KotakHumor ke group FB Forum Diskusi Budaya Nusantara memuat tentang komentar sebagai berikut :

"Seharusnya Presiden tidak perlu cengeng, tapi harus melakukan tindakan nyata melakukan reformasi birokrasi," kritik Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar,

Dalam rapat kabinet di Istana Bogor pada Jumat, (23/12), Presiden SBY mengeluhkan adanya tiga persoalan yang menjadi penghambat pembangunan. Selain birokrasi, Presiden menyebut persoalan infrastruktur dan korupsi yang menjadi biang permasalahan pembangunan di Indonesia.

Kalau Presiden berkomitmen menyelesaikan hambatan di internal birokrasi, pasti rakyat mendukungnya. Masalahnya adalah Presiden tidak melakukan kebijakan nyata untuk mencari pokok persoalan birokrasi dan memilih menyampaikan persoalan itu kepada kabinetnya. "Apakah masalah bisa selesai hanya dengan mengeluh?" cetus Akil.

dari http://www.republika.co.id/​berita/nasional/umum/11/12/27/​lwucl3-jubir-mk-sby-tidak-perlu​-cengeng

> Duh, Bung Akil ini kayak gak ngerti yang dikerjakan Presiden SBY sehari-hari, ya, sebagaimana sering dia nyatakan sendiri : "Saya sudah sering kirim SMS dan koreksi."

Kerja kok sms-an en koreksi ajah. wedew.

(unggahan di group FB itu terjadi diskusi yang sangat sengit diantara anggota)

Jujur saja, memang kita hampir setiap hari kalau SBY tampil di Media selalu ada saja keluhan yang disampaikan, padahal dengan kekuasaan dan kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, SBY punya kewenangan tak terkalahkan - hanya tuhan yang mampu mengalahkannya di Indonesia.

Tapi anehnya, keluhan itu selalu datang bertubi-tubi. Mulai dari mengeluhkan gaji, kritik pedas yang selalu dilontarkan masyarakat padanya, kerbau Si Buya, hingga persoalan sepele microphone di podium tempat dia akan berbicara sebagai presiden juga dipermasalahkan.

Nah, klo SBY saja yang mengeluh, lantas siapa yang harus menerima keluhan itu. Di budaya kita, Indonesia, keluhan biasanya datang dari pihak inferior terhadap superior. Seperti, anak terhadap bapaknya yang tidak mendapat uang jajan. Lantas kalau SBY yang mengeluh, kan seharusnya tuhanlah yang dijadikan tempat mengeluh. Sebab rakyat menganggap, beban tanggung jawab menjadi presiden sudah dipikirkan sebelum jabatan itu dipegang.


Kenapa kemudian ini menjadi sebuah Budaya


Ibarat korupsi yang telah menjadi budaya, walaupun budaya yang tidak diinginkan bersama tapi dilakukan mungkin bersama-sama bagi yang menginginkannya. Budaya dalam konteks paling sederhananya adalah lahir dari hasil oleh pikiran dan tingkah laku masyarakat yang kemudian disepakati bersama untuk dijalankan sebagai budi pekerti, moral dan etika.


Jadi, begitupun mengeluh (atau ngeluh) karena ia lahir dari sebuah pikiran dan tingkah laku seorang presdien, maka baik diterima masyarakat maupun tidak, tapi karena ada pola pembiasaan maka ia menjadi budi pekerti yang tanpa sadar ditularkan kepada anak bangsa. Bahayanya, ini mirip budaya korupsi. Walaupun tidak diinginkan bersama, tapi korupsi banyak dilakukan secara bersama-sama dan dilakukan pula oleh pejabat yang pintar, punya kedudukan dan pastinya kaya, karena tidak mungkin orang miskin pemulung.

Siapa yang tidak sepakat dengan korupsi yang telah jadi budaya? begitupun ngeluh atau mengeluh akan menjadi budaya, dilihat, dipikirkan, ditiru dan dilakukan. Akhirnya, setiap orang melakukan itu, karena ada pengesahan secara langsung dan tidak langsung dari kepala negara, SBY.

Jadi, hati-hatilah dalam menonton pidato di televisi atau membaca koran di media manapun. Karena jika ada kata keluhan yang keluar dari SBY, mungkin bisa jadi anda tertular dan menjadikan itu sebagai sebuah budaya.

Selamat Mencoba...

SBY Tidak Pro Terhadap Masyarakat Adat

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak pro terhadap terhadap masyarakat adat, sikap anti (baca : tidak pro) itu memang tidak seperti yang dilakukan polisi dengan menembaki warga hingga mati tapi melalui kebijakan dan tindakan sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersama kekuasaannya, SBY telah memberikan keleluasaan kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan untuk mengelolah lahan yang tak lain adalah milik masyarakat adat.

Keleluasaan itu, salah satunya berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) diantaranya PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Tambang. Dengan memberikan keleluasaan pengelolaan dan perizinan kepada perusahaan tambang untuk menduduki wilayah masyarakat adat, yakni tanah adat. Begitupun dengan perusahaan perkebunan diberikan keleluasaan yang sama, melalui izin yang kemudian diterbitkan kementerian terkait.

Dampak akan pemberian izin itu, tercatat berbagai tindakan kekerasan, penggusuran, pembakaran rumah hingga matinya warga masyarakat adat. Jika kita melihat lebih lanjut data yang dipaparkan Harian Kompas, Senin 29/Des/2011 pada halaman 1 (satu) kolom 6 dan 7, disebutkan berbagai rangkaian pembunuhan yang terjadi kepada masyarakat yang sebagian besar berada pada wilayah adat.

Ada 20 warga yang tewas kena tembak aparat yang tersebar dalam 7 tempat dan waktu kejadian yang berbeda. Diantaranya; Desa Alas Tlogo, Jawa Timur, 4 warga tewas tertembak (30 Mei 2007), Desa Koto Cengar, Kuantan Singingi, Riau, 2 warga tewas (8 Juni 2010), Desa Pelita Jaya, Mesuji, Lampung, 1 Warga tewas (6 Nov 2010), Tiak, Morowali, Sul-Teng, 2 warga tewas (22 agustus 2011), Desa Sei Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sum-Sel, 7 orang tewas (21 April 2011), Kecamatan Tanjung Raya, Mesuji, Lampung, 1 orang tewas (10 November 2011), dan Bima, NTB, 3 orang tewas (24 Desember 2011). Belum lagi, yang terjadi di Kajang, Bulukumba, Sul-Sel, juga di Sulawesei Tenggara dan paling mengenaskan pula di Papua.

Semua korban tewas itu, dan korban luka serta kekerasan yang diakibatkan oleh aparatus negara di lapangan, semua dengan dalil melindungi perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai aset vital. Namun, perlindungan itu merupakan keputusan dari pusat yakni Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, semua kendali kejadian di lapangan itu ada ditangannya. Ingat, TNI dan Kepolisian ada dibawah kendali dan perintah SBY selaku presiden.

Akibat perlindungan dan backing yang dilakukan pemerintah dan polisi sebagai penjaga lapangan (baca : anjing penjaga), tidak saja mengakibatkan kematian warga tapi juga segala yang berkenaan dengan kehidupan warga yang sebagian besar berada pada kawasan adat pada awalnya. Hitung saja, di setiap lokasi itu tidak ada yang dibawah 1.000 (seribu) Hektar pengelolaan kawasannya. Sangat tidak logis, bila kemudian tanah seluas itu tidak akan menggusur bahkan membantai habis warga yang secara turun temurun dan adat menempati dan mengembangkan budaya serta kehidupannya di daerah itu.

Perilaku bejat itu, mematikan pula kekayaan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, diantara rumah adat mereka, aksesoris kebudayaan mereka, lingkungan kebudayaan mereka dan secara paksa mereka harus meninggalkan kebudayaan mereka karena harus tergusur dan berlawanan langsung dengan polisi yang bersenjatakan api-senjata hasil dari uang rakyat yang dipajaki negara.


Kerja Sistematis, Terstruktur dan Masif

SBY dengan kampanye dan program politiknya yang pro rakyat, pada kenyataannya dilapangan tidak seperti itu justru berbalik arah 180 derajat. Apa yang terjadi pada masyarakat adat berupa pembunuhan massal itu, yang terjadi dalam sebaran wilayah dihampir seluruh kawasan di Indonesia, melibatkan aparat, dan dikerjakan melalui kebijakan terpusat dari SBY yang kemudian diturunkan hingga di pemerintahan daerah.

Ini membuktikan bahwa kerja-kerja pembunuhan masyarakat adat bukanlah sekedar pekerjaan sambil lalu, tapi memang telah digarap secara sistematis, terstruktur dan masif-yang dalam perkara pilkada di MK ini sudah tergolong pelanggaran yang berakhir pada pilkada ulang.

Sistematis, karena dikerjakan dengan ada sebuah sistem berjalan yang di pandu dari awal melalui kebijakan pemerintah pusat hingga ke daerah tambang ataupun perkebunan. Terstruktur, karena melibatkan aktor-aktor yang berada pada struktur kekuasaan negara hingga daerah. Dan massif, karena terjadi merata disemua wilayah tambang dan perkebunan di wilayah Indonesia.

Pembunuhan yang sangat rapih, penuh intrik, mungkin licik, dan ini bisa digolongkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat (UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM), dimana telah melanggar hak hidup berdasarkan Pasal 18B UUD 45, UU No 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, dan UU No 11 tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

Lantas ini seakan terjadi pembiaran, tak ada langkah hukum terutama dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membawa persoalan ini pada ranah hukum sebagai sebuah pelanggaran HAM yang harus diadili di pengadilan Ad Hoc HAM?.  

Dahlan Iskan, Figur Presiden Rebutan Parpol PKS, Golkar dan Demokrat

Dahlan Iskan (DI), Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini menjadi figur yang paling kuat dicalonkan untuk menjadi Presiden periode 2014-2019. Nyentrik, itulah sosok DI yang suka tampil apa adanya, sederhana dan berbicara tanpa basa basi. Dia pula, satu-satunya menteri yang tak mau menerima gajinya dan lebih suka naik mobil pribadinya dibandingkan naik kendaraan resmi menteri BUMN yang milyaran harganya itu.

Sosok DI memang lagi naik daun, sangat disukai masyarakat. Dijejaring sosial pun sudah ramai perbincangan untuk mencalonkan dirinya menjadi Presiden RI. Maka tak aneh, jika partai sekelas Partai Golkar (PG), Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) curi start untuk menggadangnya menjadi figur yang paling cocok menjadi calon presiden.

PKS Ingin Pasangkan Dahlan dengan Luthfi, Nur Wahid atau Anis (sebuah judul berita di Detik.com). Keinginan PKS itu teramat kuat, kekaguman yang luar biasa ditunjukkan PKS sebagaimana di utarakan Wakil Ketua DPP PKS, Zulkieflimansyah kepada detikcom, Rabu (28/12/2011). Begitupun dengan PG, melalui Juru Bicara PG akan menyandingkan DI dengan Aburizal Bakrie dengan alasan kekuatan jawa dan luar jawa. DI dan Ical dianggap sebagai kekuatan dahyat dan saling melengkapi.

Tak mau ketinggalan, PD yang terseok-seok karena kehilangan figur calon presiden karena dirundung kasus korupsi, turut pula mengidolakan DI. Rencananya DI akan disandingkan dengan Hatta Radjasa dari PAN, sehingga DI akan menjadi usulan dari PD sebagai calon presiden 2014.


Partai Kehilangan Kader


Tidak aneh memang, partai politik mulai mencari calon presiden yang ideal buat mereka. Namun, dengan munculnya nama DI sebagai calon presiden menjadi hal yang sangat meragukan konsolidasi dan pengkaderan partai politik. Dapat dipastikan, partai politik tidak pernah melakukan pengkaderan yang mapan untuk menjaring calon dari kubu partai sendiri. Selain itu, partai tidak punya strategi matang dalam menyiapkan figur yang akan didudukkan menjadi presiden di 2014.


Ini sebuah kegagalan partai politik (parpol), artinya parpol telah mengalami kebuntuan politik dan kemalasan berfikir dan bergerak dalam menyiapkan kadernya sendiri. Selain itu, parpol di DPR terlalu asik menikmati kekuasaan sehingga sebagian besar tidak memfokuskan diri pada pencarian bibit unggul dari dalam partai sendiri.

Memang ini menjadi hal lumrah bagi parpol, tapi ini menjadi catatan penting bahwa parpol tidak bekerja secara politik. Strategi politik tidak terbangun secara baik, budaya politik pun belum dimiliki parpol dalam menciptakan kader yang mumpuni. Maka tak heran, tindakan politik praktis yang tercela selalu menjadi jalan utama parpol dalam mengusung calon dan meraih kemenangan, karena calon yang diusung tidak memiliki kekuatan politik dan kharismatik ketokohan di masyarakat yang pantas untuk menjadi presiden di 2014.

Selamat tinggal partai politik.

Adili Jaksa Kotor


Baru-baru ini masyarakat dikagetkan dengan berita “Kajari Takalar Peras Pengusaha Rp 500 Juta” termuat di berita Headline Tribun Timur, Jumat, 23 Desember 2011. Sangat tidak disangka, seorang Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Takalar yakni Rahmat bersama Kasi Pidsus, yakni Tuwo (Kepala Seksi Pidana Khusus) diduga melakukan pemerasan. Sungguh sangat menghinakannya lagi, pihak Kejari bersama Kasipidsus lah yang sangat proaktif untuk bertemu dan meminta dana senilai Rp 500 juta yang sangat tak sedikit jumlahnya itu. Ironis memang, jaksa sebagai penegak hukum melakukan pemerasan terhadap seorang saksi, Rommy Hartono atas perkara korupsi pengadaan dua unit kapal penyeberangan dan bus pada Dinas Perhubungan Kabupaten Takalar tahun 2010 bernilai Rp 1,5 Milyar.

Terungkapnya kasus ini karena tindakan proaktif dan mungkin dengan rasa teramat kesal akan tindakan pemerasan yang dilakukan Kajari bersama konco-konconya (baca: anak buahnya), Rommy melakukan tindakan berilian dengan mereka percakapan pemerasan itu dengan menggunakan telepon genggamnya yang kemudian rekaman itu dijadikan bukti permulaan untuk melaporkan ke Kejati (Kejaksaan Tinggi) Sul-Sel, yang kemudian dibentuk pula tim khusus langsung dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Basrief Arief. Dari hasil pemeriksaan Kasipidum (Kepala Seksi Pidana Umum), Kasiintel (Kepala Seksi Intelejen), Kasipidsus (Kepala Seksi Pidana Khusus) dan dua jaksa penyidik Kejari Takalar. Rahmat Harianto, mengakui itu suaranya dan diamini oleh Asisten Pengawas (Aswas) Kejati Sul-Sel Chaerul Amir yang dikonfirmasi disela-sela pemeriksaan jaksa madya tersebut (Tribun Timur, Sabtu, 24 Desember 2011).

Jaksa, Aparat atau Keparat

            Jaksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 1 Ayat 1 menegaskan, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”

            Berdasarkan kewenangan atas UU yang diberikan kepada Jaksa, sepatutnya jaksa sebagai aparat negara yang menjalankan fungsi penegakan hukum khususnya sebagai penuntut umum dan pelaksana vonis majelis hakim pengadilan. Namun memang bukan hal yang aneh, bahwa jaksa tidak menjalankan amanah sebagaimana yang diembankan kepadanya.

Begitu mulianya tugas diemban seorang Jaksa sebagai wakil negara yang tentunya juga wakil masyarakat dalam penegakan hukum yang digaji negara, namun sebagai manusia biasa jaksa dapat pula melakukan perbuatan tercela dan melanggar sendiri tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat 4, “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”

Artinya seorang Jaksa, dalam bertindak selalu mawas diri menjaga kehormatan dan martabat, namun tindakan yang ditunjukkan oleh Kejari Takalar dengan melakukan pemaksaan sangat bertentangan dengan moralitas jaksa yang harus dijaga dengan baik. Sehingga, menjadikan Jaksa dinegeri yang lagi krisis moral dan identitas ini memang sangat sulit apalagi tindakan tak terpuji itu sebagai cambuk bukan saja kepada pihak kejaksaan tapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang telah kehilangan rasa kepercayaan terhadap penegak hukum.

Budaya malu seorang Jaksa mungkin telah hilang, ataukah karena ke-malu-annya telah dikebiri oleh perilaku kebinatangan sendiri yang haus akan harta benda. Padahal seorang Jaksa, apalagi setingkat Kejari memiliki gaji yang boleh dikata sangat lumayan bila mengukur kebanyakan rakyat Indonesia yang masih dalam garis kemiskinan. Pantaslah kemudian, Jaksa yang melakukan tindakan amoral untuk ditindak tegas dengan diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya dan tugasnya sebagai Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Kejaksaan.

Pemberhentian tidak hormat itu, dikarenakan Jaksa melanggar sumpah dan janjinya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Kejaksaan, dipidana karena melakukan tindakan pidana pemerasan dan penyalagunaan tugas dan wewenang, serta melakukan perbuatan tercela. Jaksa yang seharusnya berdasarkan sumpah dan janjinya mengemban amat penegakan hukum, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.         

Jadi sudah sepatutnyalah seorang Jaksa yang telah melanggar pertanggung jawaban dirinya dengan Tuhan seharusnya diadili dengan diberhentikan secara tidak hormat, karena bukan lagi sebagai aparat negara melainkan keparat negara yang harus diadili secara hukum didepan pengadilan. Dituntut secara pidana melanggar tindak pidana pemerasan Pasal 368 dengan ancaman telah melakukan pemerasan untuk menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum, dipidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pengawasan Masyarakat

Pengungkapan perilaku Jaksa bejat yang dilakukan masyarakat, khususnya Rommy perlu menjadi contoh menarik yang harus dilakukan masyarakat umum. Setiap orang, siapa saja harus bertindak proaktif untuk mengungkapkan tindakan tercela yang tidak patut dicontoh yang dilakukan penegak hukum, khususnya jaksa nakal walaupun tak menutup kemungkinan untuk melaporkan pula Polisi dan Hakim yang berbuat nakal.

Masyarakat yang menjadi korban pemerasan selayaknya memang melakukan tindakan pelaporan sebelum tindakan jaksa kotor itu berkembang biak. Sebagai bagian dari pemberantasan korupsi, upaya pencegahan, pengawasan hingga penindakan juga dapat dilakukan masyarakat berdasarkan prosedur legal atau sah yang dapat dilakukan jika menemukan kasus serupa.

Masyarakat dapat membentuk komunitas ataupun lembaga swadaya masyarakat, atupun secara sendiri-sendiri, beserta elemen masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam gerakan anti korupsi untuk bertindak secara sadar memerangi kebejatan aparat penegak hukum yang telah menjadi keparat hukum. Karena semakin banyak ditemukan keparat hukum yang sepantasnya diberantas dan penjaralah tempat mereka.

Berjamurnya jaksa kotor, sebagaimana pernah terjadi Jaksa Urip yang menerima suap, Jaksa Sirus Sinaga yang melakukan perubahan dakwaan karena telah mendapat sogokan dari Gayus Tambunan, harus mendapat perhatian serius agar tak menjamurnya aparat negara penegak hukum yang menjadi keparat hukum, karena telah merusak dan menodai rasa keadilan dan harapan penegakan hukum oleh masyarakat.

Polisi Pelaku Penghambat Demokrasi di Indonesia


Pihak kepolisian (baca : polisi) memiliki andil besar sebagai pelaku kemunduran demokrasi, Ideologi Pancasila dan kebudayaan Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia, mengalami kondisi yang menyedihkan dengan tindakan kepolisian dalam menjalankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Memang tidak semua kasus polisi bertindak aneh, tapi yang menjadikan itu bagai bagai nila setitik rusak susu sebelanga adalah perilaku polisi dalam mengatasi berbagai tindakan masyarakat dalam menyuarakan pendapat.

Kasus di Timika, Papua, masyarakat adat di Timika berhadapan dengan polisi dalam menyuarakan pendapat mereka. Keberadaan PT. Freeport di Timika, Papua menurut warga tidak memiliki andil yang besar secara positif justru dengan keberadaan pertambangan emas dan tembaga tersebut rakyat Papua mengalami kesengsaraan. Tanah warga, termasuk tanah masyarakat adat banyak yang dialih fungsikan (baca : dibajak) oleh PT. Freeport sebagai perusahaan multinasional dari Amerika. Bahkan pencemaran air, udara dan tanah sangat diperankan PT. Freeport termasuk hilangnya berjuta pohon demi kepentingan pertambangan.

Hal ini sama, seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Persoalaan mendasarnya sama, perusahaan pertambangan dan perkebunan mengambil lahan warga yang termasuk dalam masyarakat adat dan tanah adat. Pengambilannya pun secara legal karena disetujui oleh pihak pemerintah pusat-dalam hal ini kementerian terkait-pemerintah daerah dan pengamanan oleh kepolisian dibantu Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Aparat kepolisian, ternyata dipergunakan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai alat pengaman sekaligus penggebuk rakyat. Jadilah konflik pertanahan itu menjadi persoalan yang sangat frontal dan penuh nuansa kekerasan, dikarena penggunaan aparatus negara sebagai pelindung operasional pertambangan dan perkebunan membuat penggunaan cara-cara refresif berjalan secara mulus.

Polisi dengan kelengkapannya, telah mendayagunakan demi melakukan perlindungan bagi terjaminya perusahaan perusak lingkungan itu mengeruk tanah rakyat. Kelengkapan polisi, berupa senjata api, tameng anti huru-hara dan seragam kepolisian digunakan secara massif untuk menekan rakyat. Alhasil, karena polisi bergerak dilapangan menjadi anjing penjaga bayaran perusahaan, berusaha mati-matian mempertahankan keberadaan jalannya pengerukan kekayaan tanah rakyat masyarakat adat.
Karena dianggap legal, arogan dan penuh dengan kekuatan akhirnya polisi tanpa pikir panjang-dan memang tanpa dibekali dengan pengetahuan-melakukan tindakan kekerasan, bahkan berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Melakukan penyerbuan kepada warga, pemukulan, tindakan kekerasan, menendang dengan sepatu laras, memukul dengan senjata hingga menembak warga hingga mati. Tindakan ini, bagi polisi adalah legal, tapi dalam perspektif dan cara berfikir lain ini sebuah pelanggaran yang teramat berat-pelanggaran kemanusaian yang berat.

Pola-pola demokratis tidak dikedepankan polisi

Pola demokratis diantaranya, musyawarah, mufakat, dan menjalankan hasil mufakat secara bersama tidak dilakukan polisi. Kecenderungan dengan kepala panas, cara berfikir dangkal dan emosional yang dikedepankan. Sehingga jalur damai, melalui tindakan dialogis tidak dilakukan secara bertahap padahal apa yang diinginkan rakyat merupakan haknya, kehidupannya dan menyangkut nyawanya.

Dapat dipastikan, tindakan demokratis tidak dijalankan polisi dalam penanganan massa. Strategi dialog dan pendekatan kekeluargaan kurang dijalankan, justru mengandalkan keegoannya sebagai polisi yang dipersenjatai akhirnya mengambil tindakan akal pendek. Dengan kondisi itu, penegakan hukum tetap dijalankan sebagai bagian dari demokrasi yang berjalan tanpa kekacauan. Siapapun pelaku kejahatan, termasuk polisi sendiri harus tetap diproses, diadili dan dihukum agar tercapai penegakan hukum sebagai prasarat mutlak berjalannya demokrasi.

Jangka panjang, polisi segera mereformasi dirinya. Melakukan evaluasi dalam pendidikan kepolisian dan protap dalam penanganan penyaluran aspirasi masyarakat dilapangan. Polisi harus mereformasi lebih lanjut dirinya, dalam bentuk secara sistematis dan terstruktur dalam perbaikan institusi demi terwujudnya demokrasi tanpa ada lagi sikap perilaku anti demokrasi.

Yusril Ihza Mahendra Bebas dari Daftar Cekal

Yusril Ihza Mahendra lewat akun Facebooknya Yusrilihza Mahendra II, kini terbebas dari daftar cekal yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham bertanggal 27 Desember 2011. Dalam akunnya itu, Yusril menyatakan, "Akhirnya pencegahan (cekal) keluar negeri dicabut sudah hari ini. Saya telah menerima surat pembertahuan dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham bertanggal 27 Desember 2011 yang menyatakan bahwa pencegahan ke luar negeri atas nama saya berakhir."

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (26 Agustus 2000-7 Februari 2001), menulis lebih lanjut pada statusnya, "Pada periode Surat itu juga memerintahkan seluruh jajaran imigrasi untuk mencoret nama saya dari daftar cekal." Sehingga tak ada lagi pencekalan yang dilakukan berbagai pihak penegak hukum di negeri ini terhadap Yusril.

 Yusril juga mengucapkan rasa terima kasihnya yang mendalam, dimana dalam statusnya dia mengatakan, "Saya berterima kasih kepada semua teman-teman yang selama ini mendukung saya dan ikut mendo'akan agar pencekalan dan status tersangka saya yang ditetapkan Kejagung, segera dapat diakhiri. Kezaliman takkan mampu bertahan terhadap kebenaran, walau kita harus banyak bersabar."

Semoga saja tak ada lagi kezaliman seperti yang dikatakannya akan terjadi, dan hal yang paling patut dicontoh dari Yusril adalah kemampuan dan keberaniannya meneriakkan kebenaran atas dirinya secara hukum di depan pengadilan, melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

SBY Galau Pertanggung Jawabkan Pelanggaran HAM Insiden Pelabuhan Sape Bima NTB

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata membawa kegalauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Presiden Republik Indonesia. Melalui Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Harian Kompas, Minggu (25/2) dalam konfrensi pers, "Presiden prihatin dengan insiden yang menimbulkan korban jiwa di Bima. Presiden memerintahkan investigasi atas kasus itu. Kalaupun ada provokator yang memicu bentrok itu, harus ditangkap dan diadili."

Memang terlihat, SBY sebagai Presiden RI tidak sadar diri berdasarkan kedudukannya berdasarkan UUD 45 menyatakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi terhadap pemerintahan, Panglima Tertinggi memiliki kekuasaan terhadap Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini, membuktikan peran dan tanggung jawab SBY sebagai pemegang kekuasaan, bukan hanya memegang, menikmati dan melaksanakan kekuasaan saja, melainkan pula harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan kepolisian dan TNI dilapangan.

Apa yang terjadi di Bima, sebuah bentrokan di Pelabuhan Sape adalah sepenuhnya akibat perilaku buruk  dan bejat dari kepolisian. Tindakan itu menyebabkan, sebuah pelanggaran HAM yang berat-yang jadi catatan jangan menyatakan korban berjatuhan harus sampai 100 orang baru dikatakan berat-berakibat pada kematian 3 warga masyarakat (versi Komnas HAM) dan 2 warga masyarakat (versi Kepolisian).

Seharusnya, sebagai kepala negara, SBY bertanggung jawab sepenuhnya. Bukan malah bersifat galau, dengan menyatakan prihatin dan memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto. Alay banget, melimpahkan kerja-kerja yang membutuhkan peran langsung presiden malah dialihkan kepada pembantunya yang seharusnya dipecat secara tidak hormat karena bekerja tidak becus menyebabkan matinya 3 warga negara dan lebih 20 orang luka-luka parah serta meningkatnya kecemasan warga akan tindakan kepolisian yang sangat tercela itu.

SBY seharusnya secara jantan datang langsung di tempat kejadian, memutuskan cepat tindakan yang harus dilakukan. Mengevaluasi kerja kepolisian berkaitan insiden Pelabuhan Sape, Bima, NTB, dan tentunya mengeluarkan langkah-langkah sebagai kepala negara yang dibutuhkan rakyat. Kasus pelanggaran HAM Pelabuhan Sape, Bima bukan saja merisaukan masyarakat disana, tapi seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia.

SBY seharusnya mengambil langkah, pemecatan polisi yang melakukan penembakan, juga Kapolsek, Kapolres, Kapolda dan Kapolri. Jika perlu, SBY membuat Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk membawa insiden pelanggaran Pelabuhan Sape, Bima ke Pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Komnas HAM. Tak lupa, meminta Komnas HAM menyeret pula Bupati dan Wakil Bupati Bima beserta Gubernur NTB ke Pengadilan HAM. Dan tentunya, mendesak Mahkamah Agung (MA) segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menggelar perkara Pelanggaran HAM Pelabuhan Sape, Bima.

Jika SBY tidak dapat melakukan itu semua, lebih baik SBY mundur saja daripada hanya memasang sikap galau dan hanya bertindak alay saja. Saatnya sekarang, bagi SBY bukan untuk banyak menyuruh dan menyuruh saja, tidak pula hanya duduk-duduk santai di Istana Negara seakan tak ada yang terjadi, tapi bertindak tegas melakukan langkah kenegaraan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Dan berharap SBY melakukan itu mungkin sangat aneh, jadi kalau begitu ngapain kita punya presiden seperti SBY? Bagusnya diapakan ya?

KOMNAS HAM Mandul Tangani Pelanggaran HAM Sappe, Bima

Tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak Kepolisian di Pelabuhan Sappe, Bima, NTB hanya disikapi dengan membuat rekomendasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Seharusnya, Komnas HAM menggiring persoalan insiden ini ke pengadilan HAM. Sepatutnya ini diarahkan ke Pelanggaran Kemanusiaan yang berat sesuai UU Peradilan HAM, bukan hanya sekedar merekomendasikan saja ke berbagai pihak.

Komnas HAM harusnya membawa hal ini sampai di Pengadilan HAM, pembuatan terobosan harus dilakukan. Jangan sekedar mengatakan ini sebagai sebuah pelanggaran, tapi tidak pernah diselesaikan hingga ke ranah hukum. Pengadilan Ad Hoc HAM harus dibentuk, dan biarkan pengadilan nanti yang menentukan apakah ini sebuah pelanggaran HAM dan berapa tahun ganjaran yang pas buat polisi penembak rakyat.

Jumlah 3 orang tewas, versi Komnas HAM dan 2 orang tewas versi Kepolisian harus pula disikapi secara hukum karena telah terjadi pembohongan publik. Bukti rekaman media elektronik telah membuktikan terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian, mulai dari pemukulan, menyeret hingga penembakan telah membuktikan adanya pelanggaran HAM.

Jika demikian kita hanya tinggal gigit jari saja, karena Komnas HAM hanya bersikap pemanis bibir saja. Tidak ada tindakan nyata yang harus dilakukan terkait insiden ini selain rekomendasi lompat ke rekomendasi lain di kasus yang mungkin akan terjadi lagi. Terobosan hukum harus dilakukan Komnas HAM selain secara jangka panjang melakukan upaya revisi terhadap UU HAM dan UU Pengadilan HAM, dengan memasukkan pelanggaran sipol dan ekosob yang dapat diadili pula dalam pengadilan HAM.

Kapolri Harus Bertanggung Jawab Kasus Pelabuhan Sappe Bima

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus bertangung jawab secara hukum atas kasus pelanggaran HAM bentrokan di Pelabuhan Sappe, Bima, antara warga masyarakat dengan kepolisian. Akibat serangan fajar yang dilakukan kepolisian tanpa ada pendekatan persuasif terlebih dahulu, karena dilakukan secara mendadak disaat belum terbangunnya semua orang.

Akibat serangan bersenjata itu, 2 orang warga dan puluhan warga luka-luka yang dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, akibat yang ditimbulkan itu tidak ada upaya tindak lanjut dari pihak Kepolisian (baca: Kapolri) untuk membayar uang duka atas 2 orang meninggal dan ganti kerugian terhadap yang luka-luka, seakan hanya lepas tangan saja. Kapolri juga harus bertanggung jawab penuh secara hukum, matinya 2 orang dan puluhan luka-luka merupakan pelanggaran hukum yang berdasarkan kedudukan jabatannya merupakan pelanggaran HAM.

Tapi saya yakin, Kapolri tidak akan secara jantan dan berani untuk melakukan pernyataan resmi baik melalui media ataupun berita resmi kepolisian untuk menyatakan bahwa dirinyalah paling bertanggung jawab akan kasus tersebut. Jika Kapolri tak punya nyali, seharusnya ada tangan-tangan tuhan untuk memaksanya bertanggung jawab secara hukum.

Pertanyaan mendasar, siapakah kemudian yang harus pemproses hukum Kapolri atas tanggung jawabnya sebagai pengambil keputusan tertinggi di kepolisian? Seharusnya, tindakan ini dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang berdasarkan UU HAM memiliki kewenangan untuk memproses secara langsung ke Pengadilan HAM.

Secara hukum ini harus dilakukan oleh Komnas HAM, cuma persoalanya secara politik Komnas HAM tidak memiliki kemauan untuk memproses hal ini lebih lanjut. Komnas HAM selalu menjadi alasan dengan tak adanya kewenangan lebih yang dimiliki oleh Komnas HAM, terutama dalam penyelidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM.

Kerja Komnas HAM selama ini terlihat hanya menjadi corong bocor saja. Hanya berkoar-koar di media, tapi tidak ada tindak lanjut yang dilakukan secara hukum. Hanya bekerja mengumpulkan fakta-fakta lapangan dan rekomendasi, setelah itu gigit jari.

Polisi Pelanggar HAM Kasus Pelabuhan Sappe Bima

Tindakan Polisi yang melakukan penyerbuan di pagi buta terhadap kumpulan massa rakyat yang beraksi terhadap penolakan tambang yang akan dibuka didaerah mereka. Aksi yang dilakukan di Pelabuhan Sape, Bima dengan menutup jalur kedatangan dan keberangkatan kapal di pelabuhan itu selama 4 hari, sebagai wujud kekecewaan terhadap tindakan Bupati yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pembukaan tambang di daerah mereka.

Penyerbuan itu mengakibatkan 2 orang warga masyarakat yang bermalam di pelabuhan Sape, Bima meninggal dunia, bahkan kematiannya sangat mengenaskan karena tertembak oleh senjata aparat kepolisian. Namun itu disangkal pihak kepolisian, yakni Kombes Roy, Humas Polri dengan menyatakan 2 warga yang mati adalah orang luar yang masuk ke daerah kejadian disaat terjadinya kejadian (penayangan TVone).

Apapun namanya, tindakan aparat kepolisian sudah melewati batas protap tanpa ada tindakan terlebih dahulu pendekatan persuasif. Senjata yang dibeli dari uang rakyat itu, dipergunakan untuk menembak rakyat hingga mati. Begitu murahkah nyawa warga negara ini, hanya dengan tindakan aksi demonstrasi penolakan langsung diberondong dengan tembakan senjata, ataukah ini akibat adanya pihak ketiga yang mendesak kejadian tersebut terjadi.

Kematian 2 warga itu, adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena dilakukan secara sistematis, bukan orang per orang aparat kepolisian. Sistematisnya tindakan itu bisa diurai dengan, kedatangan polisi yang berseragam, menggunakan garis komando kepolisian, dan penembakan yang dilakukan atas perintah atasan. Artinya, pelaku penembakan tidak berdiri sendiri, sangat bisa dipastikan tindakan pembubaran dengan menggunakan senjata itu akibat perintah atasan dengan sistem komando, sekurang-kurangnya diketahui terlebih dahulu oleh Kapolres (jabatan polisi setingkat Bupati).

Kedua, aksi penembakan itu menggunakan seragam kepolisian. Artinya, tindakan itu mewakili negara sebagai aparat hukum untuk melakukan pembunuhan terhadap 2 rakyat yang tak bersenjata api. Jika negara yang melakukan, ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM bukan pelanggaran tindak pidana biasa. Lantas siapakah yang harus diseret ke meja hijau untuk diadili di Pengadilan HAM? Pastinya, pertama pelaku penembakan dan penyerbuan itu, jadi jika satu Batalyon maka mereka dianggap semua terlibat termasuk intel yang ada pada peristiwa itu. Kedua, secara sistem garis komando maka yang perlu pula diseret adalah Kapolsek, Kapolres, Kapolda dan Kapolri, mungkin juga bisa menyeret Presiden RI sebagai Panglima hukum di negeri ini. Karena mereka semua inilah yang melakukan pengambil keputusan dan tingkat tertinggi Kapolri dan tentunya Presiden harus bertanggungjawab dan membuktikan tidak dapat mempertanggungjawabkan kedudukannya atau kepemimpinannya.


Komnas HAM Mandul 

Siapa yang kemudian harus membawa ini ke Pengadilan HAM? tentu jawabannya adalah Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) sebagai komisi negara yang membidangi masalah HAM, selain warga itu sendiri dan semua elemen masyarakat, LSM, dan mahasiswa dapat melakukan desakan untuk membawa hal ini ke pengadilan HAM. Tapi yang paling berwenang tentunya Komnas HAM, berdasarkan UU HAM memiliki kewenangan untuk melakukan pencarian fakta pelanggaran HAM.


Kesulitannya Komnas HAM tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan, sehingga tetap harus berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung yang berwenang melakukan penuntutan. Selain itu, yang memberatkan hal ini dibawah ke pengadilan HAM adalah UU Peradilan HAM yang hanya memasukkan 2 (dua) pelanggaran HAM sebagai pelanggaran yang bisa dibawah ke Pengadilan HAM. Diantara pelanggaran itu adalah pelanggaran kemanusiaan yang berat dan Genosida.

Alibi yang selalu dilontarkan aparat hukum, korban yang meninggal hanya 2 (dua) orang sehingga ini sulit diseret ke Pengadilan HAM. Genosida berbicara tentang pembantaian atau pemusnahan suku bangsa, sedangkan pelanggaran kemanusiaan yang berat lebih berbicara tentang jumlah korban yang harus banyak, mungkin harus yang mati satu kampung baru dapat digolongkan dalam pelanggaran berat ini.

Jadi kita bisa gigit jari saja terhadap peristiwa ini, dan paling banter yang diadili hanya pelaku penembakan 2 warga itu saja yang diadili. Itupun proses hukumnya hanya tindak pidana pembunuhan biasa saja, bukan tergolong dalam Pelanggaran HAM.


Politik Hukum Negara atas Kasus HAM

Negara selalu andil atau hadir dalam terjadinya pelanggaran HAM, sebab yang membedakan antara pelanggaran pidana adalah perbedaan pelakunya. Pelanggaran pidana dilakukan oleh orang per orangan, ataupun sekelompok orang, sedangkan pelanggaran HAM dilakukan negara. Polisi yang melakukan penembakan itu berperan sebagai negara, mewakili negara, sebagai aparatus negara dalam sektor melakukan penegakan hukum. 


Apapun yang dilakukan pihak kepolisian, ketika itu berseragam, menggunakan senjata, secara beregu, dan atas perintah atasan berarti menggunakan sistem atau protap yang telah disepakati negara. Dan jika mengakibatkan matinya warga negara sipil yang tak bersenjata ataupun menggunakan senjata parang tapi tidak berdaya maka itu dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM.

Kenapa kemudian negara hilang dalam memberikan perhatian terhadap Pelanggaran HAM? jawabannya tentu, negara secara politik tidak ingin dibebani melakukan Pelanggaran HAM. Bebannya yang terlalu berat, karena bila tak mampu mengadili aktor negara dapat diseret pada peradilan HAM Internasional. Sektor pelanggaran HAM termasuk didalamnya pelanggaran sipol dan ekosob, tapi kemudian negara melakui UU Peradilan HAM hanya memasukkan Genosida dan Pelanggaran kemanusiaan yang berat.

Aktor negara; Partai Politik, Aparatus Negara dan pejabat negara mulai Bupati/Walikota hingga Presiden selalu cuci tangan ketika terjadi pelanggaran HAM dan tidak mau bertanggung jawab terjadinya pelanggaran HAM. Akhirnya, peraturan pun dibuat agar tak menyeret mereka sebagai pelanggaran HAM. Sehingga harus didorong revisi terhadap perubahan 2 UU berkaitan HAM yakni UU HAM dan UU Peradilan HAM. Tapi itu sangat tidak mungkin, karna partai politik mandul untuk melakukan peran itu.

Jadi siapakah yang bisa kita harapkan dinegeri ini menerapkan peraturan dan penegakan HAM di Indonesia?

SBY Terancam Pusaran Kasus Korupsi

Berbagai skandal kasus korupsi kakap yang diduga melibatkan jaringan mafia korupsi, baik yang telah divonis Pengadilan maupun yang masih dalam penyidikan dan penyelidikan selalu mencatut ataupun melibatkan orang terdekat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kuat dugaan, berbagai mega skandal korupsi itu menggiring pada satu nama yang paling berpengaruh sekarang ini di Indonesia. Walaupun sekedar dugaan dalam kaca mata awam, dan dari berbagai diskusi baik yang berseliweran di media massa, jejaring sosial hingga diskusi warung kopi.

Sudah menjadi rahasia umum, berbagai kasus nyata-nyatanya selalu menggiri pada keterlibatan SBY. Kita masih mengingat kasus Gayus Tambunan dan Anggodo Wijoyo yang dalam percakapan telepon yang diperdengarkan di Sidang Mahkamah Konstitusi, nama presiden disebut berulang-ulang kali. Hal ini pun pernah diungkapkan George Yunus Adicondro dalam bukunya Gurita Cikeas, dimana menyimbolkan Cikeas sebagai tempat kediaman SBY sebagai pusat pusaran berbagai kasus korupsi.

Pusaran itu begitu nyata dalam kasus Bank Century (BC), dimana secara langsung melibatkan pembantu SBY yakni Sri Mulyani dan Boediono yang kini menjadi Wakil Presiden mendampingi SBY. Abraham Samad, Ketua KPK yang baru menyatakan tidak akan memutihkan kasus BC dan akan terus mendalami serta akan memanggil semua yang terlibat. Dalam berita Harian Tribun Timur, Sabtu, 24 Desember 2011 disebutkan keterlibatan Hartanto Edhie Wibowo (HEW) dalam kasus BC yang didasari atas hasil audit forensik skandal BC oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilaporkan ke pimpinan DPR RI, jumat (23/12). HEW diduga menerima aliran dana tidak wajar berupa ratusan miliar rupiah mengalir ke rekeningnya, yang tak lain adalah adik kandung Ani Yudhoyono, isteri SBY.

Bisakah kemudian HEW mengakses dana yang begitu besar tanpa ada akses yang diberikan kepadanya, sungguh tidak mungkin. Apalagi, HEW bukanlah menteri SBY tapi kalau hubungan keluarga sudah pasti dan kepastian itulah mengarahkan pada alibi akan akses yang dibuka oleh SBY sendiri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam memutuskan persoalan bantuan keuangan perbankan yang kolaps.

Kasus BC sendiri telah menjadi perkara Perbankan Internasional, dimana Bank Dunia (World Bank) memutuskan pemerintah Indonesia harus membayar sisa dana talangan yang dijanjikan sebesar Rp 4 Triliun dari jumlah total Rp 6,2 Triliun. Artinya, ada sekitar Rp 4 Triliun yang raib entah kemana, karena Sri Mulyani sendiri mengatakan dana Rp 6,2 Triliun itu telah dibayarkan kepada BC tapi nyatanya tidak sepenuhnya bahkan hanya 1/3 anggarannya saja. Lantas, kemanakah mencari dana sisa Rp 4 Triliun itu? Tidak mungkin KPK akan menemukan alamat palsu   atau salah alamat, sebab sudah jelas aliran dana sebesar itu pasti sangat mudah untuk dideteksi.

LSM Merdeka Jakarta pun pernah mengungkapkan dan melaporkan beberapa petinggi Partai Demokrat, anak dan Pembantu SBY sebagai penerima aliran dana BC, yang kemudian ternyata dilaporkan balik oleh Andi Alfian Mallarangeng, yang waktu itu Juru Bicara SBY, sekarang sebagai Menteri Olah Raga, bersama Ibas, anak SBY.

Korupsi di Tubuh Partai Demokrat

Skandal korupsi Wisma Atlet Palembang, yang kini digulirkan lagi oleh Nazaruddin bahwa berbagai kasus korupsi tersebut turut melibatkan Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Jafar Hafsah, Saan Mustofa. Dan tak hanya itu saja, kasus korupsi infrastruktur di Riau, Kalimantan hingga pengadaan E-KTP diduga hasil rekayasa dari Anas Urbaningrum yang dibantu Nazaruddin dan gembong politiknya di Partai Demokrat. Dimana menurut pengakuan Nazaruddin, dana korupsi itu digunakan untuk meloloskan Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat (PD).


Memang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, dan sangat diyakini semua masyarakat yang dapat menganalisa persoalan ini pasti melibatkan pula sesepuh di PD. Hal ini pernah diungkapkan Nazaruddin sendiri, ketika KPK melakukan penangkapan kasus suap Wisma Atlet di kantor Menegpora, secara spontan saja KPK mengungkapkan kepada media dan publik orang-orang yang diduga terlibat dalam penangkapan itu, dan salah satunya tentunya Nazaruddin sendiri.

Nazaruddin sebelum ke Singapura melarikan diri, sempat bertemu SBY bersama petinggi PD di Istana Negara yang menceritakan kronologis kasus skandal korupsi tersebut. Bahkan, melarikan dirinya Nazaruddin yang diungkapkannya sendiri, itu atas rekomendasi dari pertemuan tersebut dan desakan dari Anas agar ia mengamankan diri. Dan lagi-lagi, kasus ini pun juga diduga melibatkan Andi Alfian Mallarangeng, Menegpora dan Pembina Partai Demokrat.

Informasi yang diutarakan secara blak-blakan berbagai kasus yang kini menimpa Nazaruddin, sungguh sangat tersebar luas melalui media massa maupun pengamatan langsung publik atas mega skandal kasus-kasus ditubuh PD. Bagaikan sebuah pusaran dan jejaring laba-laba, kasus ini saling bertalian dan mengarah pada dugaan andilnya SBY dalam berbagai lingkaran setan korupsi ini.

Tinggal menunggu saja, apakah pimpinan KPK yang baru, berjumlah 5 orang itu tidak sekedar menjadi boyband saja dengan gaji perbulan mencapai Rp 63 juta - Rp 70 juta tidak hanya bersikap lebay dan galau. Sebab pada pusaran kasus ini, selayaknya pula meminta keterangan SBY sekurang-kurangnya sebagai saksi karena turut hadir dalam beberapa pertemuan ataupun sekedar mengetahui persoalan korupsi ini, dan kalaupun status hukumnya akan ditingkatkan kita tunggu saja keberanian KPK! Sambil berdoa, jangan sampai ada yang pulang kampung.

Anas Urbaningrum, Nasaruddin dan Skandal Korupsi Hambalang

Tudingan Muhammad Nasaruddin, sang bendahara Partai Demokrat terhadap Anas Urbaningrum, Algojo Partai Demokrat ini begitu menusuk langsung ke jantung mantan Ketua Umum PB HMI ini. Tuduhan itu diantaranya kasus korupsi Hambalang, yang terbilang baru digulirkan lagi oleh Nasaruddin berkaitan tindakan korupsi yang menyeretnya. Kasus Hambalang, yang merupakan proyek Sea Games kompleks olahraga di Hambalang, Bogor yang juga menyeret Angelina Sondakh yang dianggap keduanya sudah layak ditetapkan tersangka menurut Nazaruddin.

Apa yang diungkapkan Nazaruddin, seharusnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya bertindak cepat dengan memangginl Angelina dan Anas sebagai saksi berkaitan dengan pernyataan Nazaruddin tersebut.  KPK seharusnya bergerak jangan menunggu adanya keterlibatan politik kotor yang lebih jauh yang bisa mempengaruhi jalannya kasus baru ini selain kasus Wisma Atlet.

Apa kemudian gerangan yang membuat KPK begitu lambat bertindak, apakah karena persoalan ini melibatkan orang nomor satu di Partai Demokrat, ataukah memang ada perlindungan khusus secara politik ataupun hidden agenda terhadap kasus ini. Memang jika dilihat, bila sampai Anas terseret lebih jauh ini akan memporak-porandakkan Partai Demokrat bahkan hingga merusak citra Susilo Bambang Yudoyono atau SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga sekaligus sebagai Presiden Republik Indonesia.


Gurita Anas Urbaningrum

Kasus-kasus yang diungkap Nazaruddin ternyata bukan cuma satu dua saja yang melibatkan Anas Urbaningrum, tapi mungkin berjuta kasus megaproyek yang melibatkan mereka berdua. Diantara berbagai kasus itu diantaranya yang disebutkan Nazaruddin adalah pembangunan gedung pajak, proyek listrik di Kalimantan Timur dan Riau, hingga proyek e-KTP (diutarakan didepan berbagai media).

Bahkan ini turut melibatkan pihak ketiga diantaranya PT. Adhi Karya sebagai pelaksana proyek atau kontraktornya, pihak Badan Pertanahan Nasional, hingga Nazaruddin menyebutkan nama Ignatius Mulyono, politikus Partai Demokrat dalam berbagai kasus tersebut sangat memiliki peran penting. Keseluruhan dana yang dikeruk dari mega proyek itu dipergunakan untuk mendanai pemenangan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang dilaksanakan di Bandung, Mei 2010.

Jika kemudian ini terbukti, dan harus dibuktikan oleh KPK melalui proses penyidikan dan penyelidikan untuk segera melakukan kewenangannya dalam membongkar kasus tersebut. Diragukan, bila kasus ini semakin terlontar tanpa arah dan KPK tidak bertindak segera ini bisa mengakibatkan ada hal-hal aneh yang bisa terjadi diluar dari bayangan kita bersama. Bahkan akan sangat mengancam nyawa dari Nazaruddin yang mengungkapkan kasus tersebut yang juga sebagai aktor dalam berbagai kasus itu.

Seluruh bangsa dan negara ini sangat mengharapkan KPK dapat bertindak, semoga saja! amin.

Kayu Hutan Rakyat Tidak Dapat di Pidana

Kayu yang bersumber dari hutan rakyat adalah kepemilikan pribadi atau privat, ini diatur dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Kehutanan lebih menyebutkan hutan hak daripada hutan rakyat, namun dari segi kepemilikan hutan hak adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat yang dikelola sendiri dan berada dalam area tanah kepemilikan pribadi atau orang per orang.

Sehingga pemanfaatan kayu dari olahan hutan hak atau hutan rakyat, tidak dapat dipidana ini dikarena karena mendasari pada Surat Edaran Menteri Kehutanan yang ditanda tangani Menteri Kehutanan MS Kaban. (bersambung)
Diberdayakan oleh Blogger.