Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Polisi Pelaku Penghambat Demokrasi di Indonesia


Pihak kepolisian (baca : polisi) memiliki andil besar sebagai pelaku kemunduran demokrasi, Ideologi Pancasila dan kebudayaan Indonesia. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia, mengalami kondisi yang menyedihkan dengan tindakan kepolisian dalam menjalankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Memang tidak semua kasus polisi bertindak aneh, tapi yang menjadikan itu bagai bagai nila setitik rusak susu sebelanga adalah perilaku polisi dalam mengatasi berbagai tindakan masyarakat dalam menyuarakan pendapat.

Kasus di Timika, Papua, masyarakat adat di Timika berhadapan dengan polisi dalam menyuarakan pendapat mereka. Keberadaan PT. Freeport di Timika, Papua menurut warga tidak memiliki andil yang besar secara positif justru dengan keberadaan pertambangan emas dan tembaga tersebut rakyat Papua mengalami kesengsaraan. Tanah warga, termasuk tanah masyarakat adat banyak yang dialih fungsikan (baca : dibajak) oleh PT. Freeport sebagai perusahaan multinasional dari Amerika. Bahkan pencemaran air, udara dan tanah sangat diperankan PT. Freeport termasuk hilangnya berjuta pohon demi kepentingan pertambangan.

Hal ini sama, seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Bima, Nusa Tenggara Barat. Persoalaan mendasarnya sama, perusahaan pertambangan dan perkebunan mengambil lahan warga yang termasuk dalam masyarakat adat dan tanah adat. Pengambilannya pun secara legal karena disetujui oleh pihak pemerintah pusat-dalam hal ini kementerian terkait-pemerintah daerah dan pengamanan oleh kepolisian dibantu Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Aparat kepolisian, ternyata dipergunakan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai alat pengaman sekaligus penggebuk rakyat. Jadilah konflik pertanahan itu menjadi persoalan yang sangat frontal dan penuh nuansa kekerasan, dikarena penggunaan aparatus negara sebagai pelindung operasional pertambangan dan perkebunan membuat penggunaan cara-cara refresif berjalan secara mulus.

Polisi dengan kelengkapannya, telah mendayagunakan demi melakukan perlindungan bagi terjaminya perusahaan perusak lingkungan itu mengeruk tanah rakyat. Kelengkapan polisi, berupa senjata api, tameng anti huru-hara dan seragam kepolisian digunakan secara massif untuk menekan rakyat. Alhasil, karena polisi bergerak dilapangan menjadi anjing penjaga bayaran perusahaan, berusaha mati-matian mempertahankan keberadaan jalannya pengerukan kekayaan tanah rakyat masyarakat adat.
Karena dianggap legal, arogan dan penuh dengan kekuatan akhirnya polisi tanpa pikir panjang-dan memang tanpa dibekali dengan pengetahuan-melakukan tindakan kekerasan, bahkan berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Melakukan penyerbuan kepada warga, pemukulan, tindakan kekerasan, menendang dengan sepatu laras, memukul dengan senjata hingga menembak warga hingga mati. Tindakan ini, bagi polisi adalah legal, tapi dalam perspektif dan cara berfikir lain ini sebuah pelanggaran yang teramat berat-pelanggaran kemanusaian yang berat.

Pola-pola demokratis tidak dikedepankan polisi

Pola demokratis diantaranya, musyawarah, mufakat, dan menjalankan hasil mufakat secara bersama tidak dilakukan polisi. Kecenderungan dengan kepala panas, cara berfikir dangkal dan emosional yang dikedepankan. Sehingga jalur damai, melalui tindakan dialogis tidak dilakukan secara bertahap padahal apa yang diinginkan rakyat merupakan haknya, kehidupannya dan menyangkut nyawanya.

Dapat dipastikan, tindakan demokratis tidak dijalankan polisi dalam penanganan massa. Strategi dialog dan pendekatan kekeluargaan kurang dijalankan, justru mengandalkan keegoannya sebagai polisi yang dipersenjatai akhirnya mengambil tindakan akal pendek. Dengan kondisi itu, penegakan hukum tetap dijalankan sebagai bagian dari demokrasi yang berjalan tanpa kekacauan. Siapapun pelaku kejahatan, termasuk polisi sendiri harus tetap diproses, diadili dan dihukum agar tercapai penegakan hukum sebagai prasarat mutlak berjalannya demokrasi.

Jangka panjang, polisi segera mereformasi dirinya. Melakukan evaluasi dalam pendidikan kepolisian dan protap dalam penanganan penyaluran aspirasi masyarakat dilapangan. Polisi harus mereformasi lebih lanjut dirinya, dalam bentuk secara sistematis dan terstruktur dalam perbaikan institusi demi terwujudnya demokrasi tanpa ada lagi sikap perilaku anti demokrasi.

Yusril Ihza Mahendra Bebas dari Daftar Cekal

Yusril Ihza Mahendra lewat akun Facebooknya Yusrilihza Mahendra II, kini terbebas dari daftar cekal yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham bertanggal 27 Desember 2011. Dalam akunnya itu, Yusril menyatakan, "Akhirnya pencegahan (cekal) keluar negeri dicabut sudah hari ini. Saya telah menerima surat pembertahuan dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham bertanggal 27 Desember 2011 yang menyatakan bahwa pencegahan ke luar negeri atas nama saya berakhir."

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (26 Agustus 2000-7 Februari 2001), menulis lebih lanjut pada statusnya, "Pada periode Surat itu juga memerintahkan seluruh jajaran imigrasi untuk mencoret nama saya dari daftar cekal." Sehingga tak ada lagi pencekalan yang dilakukan berbagai pihak penegak hukum di negeri ini terhadap Yusril.

 Yusril juga mengucapkan rasa terima kasihnya yang mendalam, dimana dalam statusnya dia mengatakan, "Saya berterima kasih kepada semua teman-teman yang selama ini mendukung saya dan ikut mendo'akan agar pencekalan dan status tersangka saya yang ditetapkan Kejagung, segera dapat diakhiri. Kezaliman takkan mampu bertahan terhadap kebenaran, walau kita harus banyak bersabar."

Semoga saja tak ada lagi kezaliman seperti yang dikatakannya akan terjadi, dan hal yang paling patut dicontoh dari Yusril adalah kemampuan dan keberaniannya meneriakkan kebenaran atas dirinya secara hukum di depan pengadilan, melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

SBY Galau Pertanggung Jawabkan Pelanggaran HAM Insiden Pelabuhan Sape Bima NTB

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata membawa kegalauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Presiden Republik Indonesia. Melalui Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Harian Kompas, Minggu (25/2) dalam konfrensi pers, "Presiden prihatin dengan insiden yang menimbulkan korban jiwa di Bima. Presiden memerintahkan investigasi atas kasus itu. Kalaupun ada provokator yang memicu bentrok itu, harus ditangkap dan diadili."

Memang terlihat, SBY sebagai Presiden RI tidak sadar diri berdasarkan kedudukannya berdasarkan UUD 45 menyatakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi terhadap pemerintahan, Panglima Tertinggi memiliki kekuasaan terhadap Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini, membuktikan peran dan tanggung jawab SBY sebagai pemegang kekuasaan, bukan hanya memegang, menikmati dan melaksanakan kekuasaan saja, melainkan pula harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan kepolisian dan TNI dilapangan.

Apa yang terjadi di Bima, sebuah bentrokan di Pelabuhan Sape adalah sepenuhnya akibat perilaku buruk  dan bejat dari kepolisian. Tindakan itu menyebabkan, sebuah pelanggaran HAM yang berat-yang jadi catatan jangan menyatakan korban berjatuhan harus sampai 100 orang baru dikatakan berat-berakibat pada kematian 3 warga masyarakat (versi Komnas HAM) dan 2 warga masyarakat (versi Kepolisian).

Seharusnya, sebagai kepala negara, SBY bertanggung jawab sepenuhnya. Bukan malah bersifat galau, dengan menyatakan prihatin dan memerintahkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto. Alay banget, melimpahkan kerja-kerja yang membutuhkan peran langsung presiden malah dialihkan kepada pembantunya yang seharusnya dipecat secara tidak hormat karena bekerja tidak becus menyebabkan matinya 3 warga negara dan lebih 20 orang luka-luka parah serta meningkatnya kecemasan warga akan tindakan kepolisian yang sangat tercela itu.

SBY seharusnya secara jantan datang langsung di tempat kejadian, memutuskan cepat tindakan yang harus dilakukan. Mengevaluasi kerja kepolisian berkaitan insiden Pelabuhan Sape, Bima, NTB, dan tentunya mengeluarkan langkah-langkah sebagai kepala negara yang dibutuhkan rakyat. Kasus pelanggaran HAM Pelabuhan Sape, Bima bukan saja merisaukan masyarakat disana, tapi seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia.

SBY seharusnya mengambil langkah, pemecatan polisi yang melakukan penembakan, juga Kapolsek, Kapolres, Kapolda dan Kapolri. Jika perlu, SBY membuat Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk membawa insiden pelanggaran Pelabuhan Sape, Bima ke Pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Komnas HAM. Tak lupa, meminta Komnas HAM menyeret pula Bupati dan Wakil Bupati Bima beserta Gubernur NTB ke Pengadilan HAM. Dan tentunya, mendesak Mahkamah Agung (MA) segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menggelar perkara Pelanggaran HAM Pelabuhan Sape, Bima.

Jika SBY tidak dapat melakukan itu semua, lebih baik SBY mundur saja daripada hanya memasang sikap galau dan hanya bertindak alay saja. Saatnya sekarang, bagi SBY bukan untuk banyak menyuruh dan menyuruh saja, tidak pula hanya duduk-duduk santai di Istana Negara seakan tak ada yang terjadi, tapi bertindak tegas melakukan langkah kenegaraan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Dan berharap SBY melakukan itu mungkin sangat aneh, jadi kalau begitu ngapain kita punya presiden seperti SBY? Bagusnya diapakan ya?

KOMNAS HAM Mandul Tangani Pelanggaran HAM Sappe, Bima

Tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan pihak Kepolisian di Pelabuhan Sappe, Bima, NTB hanya disikapi dengan membuat rekomendasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Seharusnya, Komnas HAM menggiring persoalan insiden ini ke pengadilan HAM. Sepatutnya ini diarahkan ke Pelanggaran Kemanusiaan yang berat sesuai UU Peradilan HAM, bukan hanya sekedar merekomendasikan saja ke berbagai pihak.

Komnas HAM harusnya membawa hal ini sampai di Pengadilan HAM, pembuatan terobosan harus dilakukan. Jangan sekedar mengatakan ini sebagai sebuah pelanggaran, tapi tidak pernah diselesaikan hingga ke ranah hukum. Pengadilan Ad Hoc HAM harus dibentuk, dan biarkan pengadilan nanti yang menentukan apakah ini sebuah pelanggaran HAM dan berapa tahun ganjaran yang pas buat polisi penembak rakyat.

Jumlah 3 orang tewas, versi Komnas HAM dan 2 orang tewas versi Kepolisian harus pula disikapi secara hukum karena telah terjadi pembohongan publik. Bukti rekaman media elektronik telah membuktikan terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian, mulai dari pemukulan, menyeret hingga penembakan telah membuktikan adanya pelanggaran HAM.

Jika demikian kita hanya tinggal gigit jari saja, karena Komnas HAM hanya bersikap pemanis bibir saja. Tidak ada tindakan nyata yang harus dilakukan terkait insiden ini selain rekomendasi lompat ke rekomendasi lain di kasus yang mungkin akan terjadi lagi. Terobosan hukum harus dilakukan Komnas HAM selain secara jangka panjang melakukan upaya revisi terhadap UU HAM dan UU Pengadilan HAM, dengan memasukkan pelanggaran sipol dan ekosob yang dapat diadili pula dalam pengadilan HAM.
Diberdayakan oleh Blogger.