Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Tanah Air Indonesia

Muhammad Sirul Haq

Adakalanya perjuangan berhasil dengan tetesan darah, berjuang demi suatu perubahan negara. Kita sama –sama pernah tau dan mungkin lupa akan penindasan yang terjadi di negeri ini yang selalu menyisahkan kepedihan dan kemelaratan yang teramat sangat.

Orang-orang berlalu lalang begitu saja tanpa merasa terbebani, bahkan seiring waktu bermasa bodoh akan keadaan tertindas yang selalu terjadi. Kita pun tak dapat bertahan tanpa ikut kedalam lamunan tersebut, seakan terus menggoda dan membayangi akan takdir bahwa kita tak akan pernah menemukan kebebasan dialam yang tak pernah merdeka ini.

Lahir pertanyaan besar, seberapa banyakkah luapan perhatian negara terhadap rakyatnya yang sampai hari ini tetap dalam kondisi tertindas. Bahkan, penindasan itu ternyata dilakukan oleh negara melalui tangan-tangan pemerintah dan agen-agen kapitalis yang meringsuk ke berbagai sendi tulang sum-sum.

Betulkah masih ada kebebasan akan jaminan kemerdekaan berdaulat, tentu tidak! Sangat lacur bila kemudian menyatakan perlindungan dan pemeliharan rakyat dilakukan oleh negara, toh ternyata pemerkosa rakyat adalah negara itu sendiri.

Dimanakah keadilan itu sekarang? Apakah telah berwujud abu yang siap terbang dihempas kekuatan angin sepoi, ataukah tersembunyi dalam di balik renung hati yang tak mampu berucap lagi akan kondisi kebobrokan negara yang sampai hari ini tidak bisa memberikan apa-apa selain kebodohan.

Kawan, mungkin hari ini adalah kebodohan yang terpelihara dengan menyembunyikan kebenaran.

Pembohongan besar-besaran pun terjadi, pemerintah berkoalisi dengan militer, dan media melakukan propaganda akan kemakmuran yang ternyata kemelaratan. Penindasan yang terjadi diselubungkan dengan ketenteraman akan konser-konser banci pemusik metal, rock n roll, slow pop dan punk. Seakan negara ini aman sentaosa, padahal yang terjadi kebijakan sistematis yang melahirkan keterpenjaraan rakyat dalam ruang bui yang dibuat sendiri yang dirancang pemerintah.

Percayakah kita dengan media hari ini, demi status quo melanggengkan kekuasaan yang ada, menyembunyikan kebenaran, dan demi kepentingan kapital menjual kepala rakyatnya demi gagasan hedonisme dan konsumerisme yang menggejala dan menggrogoti tarikan nafas insan pembangunan Indonesia.

Media telah melakukan pelacuran, menjual idealismenya, independensinya dan parahnya lagi tidur seranjang dengan kekuatan kapital pemodal yang telah menggadaikan rakyatnya sendiri demi sesuap nasi. Media telah melakukan hegemoni kekuasaannya sendiri, demi kelanggengan hidupnya rela melakukan pembelotan propaganda perlawanan rakyat menjadi propaganda rakyat sapi perah.

Media telah menggadaikan dirinya, dengan bermasa bodoh dan mungkin pura-pura lupa dengan keberadaan rakyatnya. Menghilangkan sikap kritis akan berbagai kebijakan negara yang menyengsarakan rakyat, terlebih lagi media menjadi mandul oleh sogokan kekuasaan dan materi untuk tegas menyatakan bahwa sampai hari ini rakyat belum merdeka, penindasan terus berlanjut dan pembodohan yang tanpa henti menggrayangi rakyat.

Dimanakah media berpijak, ketika negara melalui tangan-tangan pemerintah mengeluarkan kebijakan swastanisasi kampus dan berapa kemudian anak-anak bangsa yang tak dapat mengenyam pendidikan yang semakin mahal mencekik. Buta huruf dan kebodohan bangsa tak terelakkan lagi. Parahnya lagi, kebijakan pendidikan yang katanya alokasi 20 persen dari APBN ternyata habis di korupsi tanpa mampu media mengungkapnya.

Media kemudian hanya menampilkan berita-berita ceremonial yang melahirkan wartawan-wartawan ceremonial yang meliput berdasarkan pesanan dan berita yang dibuat hanya pepesan kosong belaka. Tanpa mampu membangkitkan perlawanan rakyat yang selama ini tertindas akan kebijakan negara yang terus menekan tanpa mengenal rasa belas asih.

Kemandulan media pun terjadi pada persoalan kenaikan BBM, media hanya secara hambar memberitakan kenaikan tersebut tanpa mengkritisi lebih dalam demi munculnya kesadaran bahwa naiknya BBM lebih disebabkan penjajahan global yang dilakukan Amerika melalui tangan-tangan IMF, Bank Dunia dan CGI menekan demi menghilangkan subsidi untuk rakyat miskin.

Anehnya lagi, media mendukung kebijakan pemerintah dengan penayangan propaganda kenaikan BBM yang sangat tidak irrasional. Media mementingkan kapital perusahaan akan keuntungan dari penayangan itu, tanpa berfikir lebih jauh pada persoalan seberapa parah dampaknya terhadap rakyat yang harus dibayar dengan harga mahal.

Media pun tak mampu mengkritisi kebijakan negara yang melakukan deal-deal politik dan kekuasaan dengan pihak Amerika. Demi kekuasaan pemerintah rela menggadaikan tanah rakyat untuk dijadikan lahan tambang, dan ternyata kemudian rakyat sekitar yang menjadi korban contoh kasus Teluk Buyat di minahasa, masyarakat Timika oleh pertambangan PT. Freeport, Exxon Mobil terhadap persoalan blok Cepu, PT. Arun di Aceh yang telah merampok gas alam milik rakyat Indonesia. Wajarlah bila kemudian masyarkata Aceh memilih memberontak akan kebijakan negara tersebut.

Menolak Ampao dan Gerakan Banci

Kemelut Belantara Hukum

Muhammad Sirul Haq

alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Belantara hukum yang telah akrab di telinga seantero masyarakat Makassar, bahkan hingga menasional dengan nama Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kini dirundung masalah. Mungkin ini hal aneh, karena dari kaca mata orang luar belantara hukum menyimpan kewibawaan penegakan supremasi hukum dengan menelorkan sapu-sapu pemberantas kejahatan sebagai suatu kotoran. Belantara hukum ini pun dulu dan mungkin sampai sekarang dikenal sebagai sumur tempat rakyatnya yang ingin menimbah ilmu dan mempergunakan untuk mencari kekayaan kelak ketika mereka lulus.

Realitas yang terjadi, gonjang-ganjing perebutan ”kekuasaan” sebagai nomor wahid di belantara hukum kini menjadi gunjingan hangat yang serasa hambar tanpa membahasnya ketika menyudut di pinggiran warung kopi di sudut-sudut belantara ini. Apalagi hal ini telah menjadi virus yang menyebar lewat saluran media lokal dan mencekoki pemikiran masyarakat Makassar, Sul-Sel bahkan me-nasional, bahwa ini adalah konflik kepentingan yang sarat dengan muatan konspirasi yang tidak murni lagi secara intelektual.

Penjelajahan kajian empiris harus segera dilakukan untuk segera menuntaskan perjalanan perebutan mahkota untuk menahkodai belantara hukum, demi mengarungi lautan kehidupan hukum yang kini dirundung dengan berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, hingga pemerkosaan cucu terhadap neneknya sendiri yang harus dituntaskan demi penegakan hukum di Indonesia. Tapi hal ini serasa menjadi buaian nina bobo pengantar mimpi untuk mencapai dunia hayalan yang kita idamkan bersama yang kini telah menjadi nyata dalam masyarakat.

Masyarakat pun harus dilibatkan, karena konflik yang terjadi di belantara hukum kini bukan lagi pertarungan yang sehat. Upaya saling menjegal dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah yang berdampak dengan semakin bingungnya masyarakat akan kondisi riil ini. Pertarungan demi menguasai dan menduduki jabatan pada Pabrik pembuat sapu agar tidak menjadi kotor setelah di telorkan nanti, menjadi hal yang semakin rumit saja. Buktinya saja, pertarungan ini ternyata sangat berdampak terhadap mahasiswa yang ingin mengurus studinya akan bingung ke mana mereka meminta saran dan meminta kebijakan, bila pengambil kebijakan ada dualisme kepemimpinan yang mempertahankan ego masing-masing.

Tidak sampai disitu saja, institusi itu sekarang menjadi hambar dan absurd dengan nuansa intelektualisme. Pengklaiman pembenaran diri di kedua belah pihak begitu kental hingga merasuki ruang-ruang publik lewat wacana iklan di media, sehingga membuat masyarakat berdecak membego. Ada apa dengan belantara hukum, kok orang paling tau hukum dan gudangnya pakar peraturan itu berdebat akan aturan yang sama. Dampak ini begitu terasa, tak ada lagi proses transformasi ilmu yang sehat antara dosen yang kencing berdiri dan mahasiswa yang kencing berlari. Hanya terlihat, formalitas kehidupan belantara yang semakin membingungkan arah kebijakannya itu sendiri.

Kebijakan inilah, seakan tak pernah dibicarakan secara dewasa oleh ke-dua kubu yang bertikai. Apakah tak ada lagi ruang dan meja-meja bundar serta bangku tempat duduk yang menjadi fasilitas perkuliahan yang bisa dimanfaatkan sejenak untuk sama-sama membicarakan hal ini dengan kepala dingin, ataukah perlu menaruh es balok disetiap kepala agar menjadi dingin. Energi hukum serasa hilang, dan memang kekuatan ekonomi dan menyusul kepentingan politik telah menjadi prioritas utama. Sehingga pertanyaan besar, apa yang membuat perundingan secara damai tidak bisa berjalan dan nuansa keuntungan ekonomi apa yang akan diperoleh , terlebih lagi kepentingan konspirasi politik apa yang begitu kental sehingga pertarungan ini seakan bukan lagi dalam bingkai akademis melainkan kepentingan politik yang entah juntrungnya kemana.

Sudahlah, kami-kami ini yang berada pada barisan tak berdaya dan hanya bisa berharap doa akan penyelesaian yang mengantar pada kondisi belantara hukum yang lebih damai dan tentram dapat tercapai. Bukan pengrusakan yang melalui perebutan kekuasaan semata, tapi lebih pada pencetakan kadera sapu-sapu yang dikemudian hari tidak menjadi kotor dan merusak. Jangan sampai belantara hukum ini akan membawa kita tersesat jauh di tengah belantara hukum tanpa menemukan solusi yang jelas, dan berdampak pula pada penggiringan akan kajian empiris, sosilogis, dan mungkin hingga politis yang tidak berujung pada pengaburan makna dan tujuan.

Ruang-ruang kuliah kini kosong dengan kajian intelektual yang segar, saban hari hanya berbicara kepentingan kekuasaan yang menggrogoti ruang-ruang kuliah yang selayaknya mengajarkan moralitas dan etika hukum. Bukan pertarungan di halaman parkir yang terkadang memalukan diri sendiri, dan terkadang menghilangkan rasa malu yang sudah menggrogoti hingga di setiap aliran darah. Perkuliahan kini teramat kental dengan kajian yang terlalu teoritis open book, dan menggiring pada penanaman dogma-dogma kepentingan sesaat.

Tak ada pihak yang akan menang dalam pertarungan kekuasaan ini, sebab yang ada cuma kemenangan yang meraih arang dan kekalahan mengecewakan berbuah abu semata. Bukan lagi sewajarnya, melihat pertarungan ini pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tapi perlu melihat imbasnya, berdampak besar pada pengaruh buruk dan citra institusi yang telah dibangun setengah abad yang lalu demi perbaikan mutu anak-anak bangsa.

Dimana sebenarnya kebanggaan kita, akan semangat merah yang membara membakar gejolak dan perasaan demi memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di negara ini. Lupakah kita, akan kebersamaan untuk memberantas sapu-sapu kotor yang sampai hari ini mewarnai dengan kasus suap di Mahkamah Agung, korupsi di KPU, penyelesaian kasus pembunuhan Pahlawan HAM Munir dan banyak lainnya yang belum terselesaikan.

Memang, orang hukum sangat dipengaruhi oleh sarapan paginya. Sarapan itulah yang mempengaruhi pencernaan kebijakan akan konflik dan pertarungan kekuasaan ini. Begitu terasa kepentingan mendasar dan menggugah rasa ingin tau yang berlebihan, bahwa sebenarnya ini adalah fenomena gunung es yang menguak berbagai kejanggalan dan kebobrokan yang selama ini dengan lihainya disembunyikan dari kacamata umum.

Kebobrokan itu mulai tampak, seiring dengan bergulirnya perebutan kursi nomor satu ini layaknya bola es yang menggelinding dan semakin lama membesar dan merusak setiap sendi kehidupan akademis yang tidak sehat lagi adanya. Kebobrokan yang mulai tampak itu, terutama tentang bagaimana manajemen akademis yang selama ini dibangun yang lebih mengedepankan hawa premanisme di atas kepentingan intelektualisme yang katanya ilmiah dan terpelajar. Belum lagi, transparansi pengelolaan dana yang mengalir di setiap sendi kegiatan, mulai dari pengelolaan dana SPP, Dana FORMAD, Ekstensi, program kekhususan, KKN Profesi, dana kemahasiswaan dan banyak lainnya yang bergulir tanpa ada kejelasan yang pasti.

Sepelekah persoalan ini, tentu tidak! Akuntabilitas pengeolaan yang sampai hari ini tidak pernah nampak, sementara kita sering berkoar-koar tentang negara dan sosok-sosok kotor di pemerintahan tanpa pernah mengoreksi diri sendiri. Tak ada wujud pertanggung jawaban kepada publik akan setiap pengelolaan manajemen keorganisasian di fakultas yang katanya mengedepankan penegakan hukum ini. Belum lagi peningkatan sarana dan prasarana yang berjalan tak seimbang dengan kemauan kebijakan selama ini yang terus saja mengawinkan perkuliahan reguler di siang hari dengan ekstensi di malam hari. Yang membuat suasana belantara hukum tidak sehat lagi, tetapi jiwa yang setiap saat menyimpan larva panas yang setiap saat bisa menyembur ke permukaan sebagai kasus yang memalukan di depan publik. Serasa jarang dosen yang mengajar dan belajar untuk mentransformasikan ilmunya, yang kebanyakan dosen mengajar dan mengajar hingga melupakan belajar untuk me-refresh ilmunya yang disalurkan ke mahasiswanya, bahkan parahnya lagi masih banyak dosen malas dan tidak bermutu yang masih bercokol dan maaf saja mungkin menerima gaji buta.

Masih adakah kemudian yang tersisa untuk kita banggakan, apakah perlu anak-anakmu di kemahasiswaan yang lebih menunjukkan kejantanan dengan melakukan pemilihan di lembaga kemahasiswaan yang lebih terbuka, demokratis dan berani memaparkan visi misi mereka hingga keberanian untuk menandatangani kontrak sosial bahwa mereka siap mundur dari jabatan presiden Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FH-UH bila di kemudian hari tidak mampu lagi menjalankan roda organisasi dan beban kerja yang merupakan janji politiknya untuk dapat direalisasikan dan tidak hanya bicara saja.

Kemelut Belantara Hukum

Muhammad Sirul Haq

alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Belantara hukum yang telah akrab di telinga seantero masyarakat Makassar, bahkan hingga menasional dengan nama Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kini dirundung masalah. Mungkin ini hal aneh, karena dari kaca mata orang luar belantara hukum menyimpan kewibawaan penegakan supremasi hukum dengan menelorkan sapu-sapu pemberantas kejahatan sebagai suatu kotoran. Belantara hukum ini pun dulu dan mungkin sampai sekarang dikenal sebagai sumur tempat rakyatnya yang ingin menimbah ilmu dan mempergunakan untuk mencari kekayaan kelak ketika mereka lulus.

Realitas yang terjadi, gonjang-ganjing perebutan ”kekuasaan” sebagai nomor wahid di belantara hukum kini menjadi gunjingan hangat yang serasa hambar tanpa membahasnya ketika menyudut di pinggiran warung kopi di sudut-sudut belantara ini. Apalagi hal ini telah menjadi virus yang menyebar lewat saluran media lokal dan mencekoki pemikiran masyarakat Makassar, Sul-Sel bahkan me-nasional, bahwa ini adalah konflik kepentingan yang sarat dengan muatan konspirasi yang tidak murni lagi secara intelektual.

Penjelajahan kajian empiris harus segera dilakukan untuk segera menuntaskan perjalanan perebutan mahkota untuk menahkodai belantara hukum, demi mengarungi lautan kehidupan hukum yang kini dirundung dengan berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, hingga pemerkosaan cucu terhadap neneknya sendiri yang harus dituntaskan demi penegakan hukum di Indonesia. Tapi hal ini serasa menjadi buaian nina bobo pengantar mimpi untuk mencapai dunia hayalan yang kita idamkan bersama yang kini telah menjadi nyata dalam masyarakat.

Masyarakat pun harus dilibatkan, karena konflik yang terjadi di belantara hukum kini bukan lagi pertarungan yang sehat. Upaya saling menjegal dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah yang berdampak dengan semakin bingungnya masyarakat akan kondisi riil ini. Pertarungan demi menguasai dan menduduki jabatan pada Pabrik pembuat sapu agar tidak menjadi kotor setelah di telorkan nanti, menjadi hal yang semakin rumit saja. Buktinya saja, pertarungan ini ternyata sangat berdampak terhadap mahasiswa yang ingin mengurus studinya akan bingung ke mana mereka meminta saran dan meminta kebijakan, bila pengambil kebijakan ada dualisme kepemimpinan yang mempertahankan ego masing-masing.

Tidak sampai disitu saja, institusi itu sekarang menjadi hambar dan absurd dengan nuansa intelektualisme. Pengklaiman pembenaran diri di kedua belah pihak begitu kental hingga merasuki ruang-ruang publik lewat wacana iklan di media, sehingga membuat masyarakat berdecak membego. Ada apa dengan belantara hukum, kok orang paling tau hukum dan gudangnya pakar peraturan itu berdebat akan aturan yang sama. Dampak ini begitu terasa, tak ada lagi proses transformasi ilmu yang sehat antara dosen yang kencing berdiri dan mahasiswa yang kencing berlari. Hanya terlihat, formalitas kehidupan belantara yang semakin membingungkan arah kebijakannya itu sendiri.

Kebijakan inilah, seakan tak pernah dibicarakan secara dewasa oleh ke-dua kubu yang bertikai. Apakah tak ada lagi ruang dan meja-meja bundar serta bangku tempat duduk yang menjadi fasilitas perkuliahan yang bisa dimanfaatkan sejenak untuk sama-sama membicarakan hal ini dengan kepala dingin, ataukah perlu menaruh es balok disetiap kepala agar menjadi dingin. Energi hukum serasa hilang, dan memang kekuatan ekonomi dan menyusul kepentingan politik telah menjadi prioritas utama. Sehingga pertanyaan besar, apa yang membuat perundingan secara damai tidak bisa berjalan dan nuansa keuntungan ekonomi apa yang akan diperoleh , terlebih lagi kepentingan konspirasi politik apa yang begitu kental sehingga pertarungan ini seakan bukan lagi dalam bingkai akademis melainkan kepentingan politik yang entah juntrungnya kemana.

Sudahlah, kami-kami ini yang berada pada barisan tak berdaya dan hanya bisa berharap doa akan penyelesaian yang mengantar pada kondisi belantara hukum yang lebih damai dan tentram dapat tercapai. Bukan pengrusakan yang melalui perebutan kekuasaan semata, tapi lebih pada pencetakan kadera sapu-sapu yang dikemudian hari tidak menjadi kotor dan merusak. Jangan sampai belantara hukum ini akan membawa kita tersesat jauh di tengah belantara hukum tanpa menemukan solusi yang jelas, dan berdampak pula pada penggiringan akan kajian empiris, sosilogis, dan mungkin hingga politis yang tidak berujung pada pengaburan makna dan tujuan.

Ruang-ruang kuliah kini kosong dengan kajian intelektual yang segar, saban hari hanya berbicara kepentingan kekuasaan yang menggrogoti ruang-ruang kuliah yang selayaknya mengajarkan moralitas dan etika hukum. Bukan pertarungan di halaman parkir yang terkadang memalukan diri sendiri, dan terkadang menghilangkan rasa malu yang sudah menggrogoti hingga di setiap aliran darah. Perkuliahan kini teramat kental dengan kajian yang terlalu teoritis open book, dan menggiring pada penanaman dogma-dogma kepentingan sesaat.

Tak ada pihak yang akan menang dalam pertarungan kekuasaan ini, sebab yang ada cuma kemenangan yang meraih arang dan kekalahan mengecewakan berbuah abu semata. Bukan lagi sewajarnya, melihat pertarungan ini pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tapi perlu melihat imbasnya, berdampak besar pada pengaruh buruk dan citra institusi yang telah dibangun setengah abad yang lalu demi perbaikan mutu anak-anak bangsa.

Dimana sebenarnya kebanggaan kita, akan semangat merah yang membara membakar gejolak dan perasaan demi memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di negara ini. Lupakah kita, akan kebersamaan untuk memberantas sapu-sapu kotor yang sampai hari ini mewarnai dengan kasus suap di Mahkamah Agung, korupsi di KPU, penyelesaian kasus pembunuhan Pahlawan HAM Munir dan banyak lainnya yang belum terselesaikan.

Memang, orang hukum sangat dipengaruhi oleh sarapan paginya. Sarapan itulah yang mempengaruhi pencernaan kebijakan akan konflik dan pertarungan kekuasaan ini. Begitu terasa kepentingan mendasar dan menggugah rasa ingin tau yang berlebihan, bahwa sebenarnya ini adalah fenomena gunung es yang menguak berbagai kejanggalan dan kebobrokan yang selama ini dengan lihainya disembunyikan dari kacamata umum.

Kebobrokan itu mulai tampak, seiring dengan bergulirnya perebutan kursi nomor satu ini layaknya bola es yang menggelinding dan semakin lama membesar dan merusak setiap sendi kehidupan akademis yang tidak sehat lagi adanya. Kebobrokan yang mulai tampak itu, terutama tentang bagaimana manajemen akademis yang selama ini dibangun yang lebih mengedepankan hawa premanisme di atas kepentingan intelektualisme yang katanya ilmiah dan terpelajar. Belum lagi, transparansi pengelolaan dana yang mengalir di setiap sendi kegiatan, mulai dari pengelolaan dana SPP, Dana FORMAD, Ekstensi, program kekhususan, KKN Profesi, dana kemahasiswaan dan banyak lainnya yang bergulir tanpa ada kejelasan yang pasti.

Sepelekah persoalan ini, tentu tidak! Akuntabilitas pengeolaan yang sampai hari ini tidak pernah nampak, sementara kita sering berkoar-koar tentang negara dan sosok-sosok kotor di pemerintahan tanpa pernah mengoreksi diri sendiri. Tak ada wujud pertanggung jawaban kepada publik akan setiap pengelolaan manajemen keorganisasian di fakultas yang katanya mengedepankan penegakan hukum ini. Belum lagi peningkatan sarana dan prasarana yang berjalan tak seimbang dengan kemauan kebijakan selama ini yang terus saja mengawinkan perkuliahan reguler di siang hari dengan ekstensi di malam hari. Yang membuat suasana belantara hukum tidak sehat lagi, tetapi jiwa yang setiap saat menyimpan larva panas yang setiap saat bisa menyembur ke permukaan sebagai kasus yang memalukan di depan publik. Serasa jarang dosen yang mengajar dan belajar untuk mentransformasikan ilmunya, yang kebanyakan dosen mengajar dan mengajar hingga melupakan belajar untuk me-refresh ilmunya yang disalurkan ke mahasiswanya, bahkan parahnya lagi masih banyak dosen malas dan tidak bermutu yang masih bercokol dan maaf saja mungkin menerima gaji buta.

Masih adakah kemudian yang tersisa untuk kita banggakan, apakah perlu anak-anakmu di kemahasiswaan yang lebih menunjukkan kejantanan dengan melakukan pemilihan di lembaga kemahasiswaan yang lebih terbuka, demokratis dan berani memaparkan visi misi mereka hingga keberanian untuk menandatangani kontrak sosial bahwa mereka siap mundur dari jabatan presiden Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FH-UH bila di kemudian hari tidak mampu lagi menjalankan roda organisasi dan beban kerja yang merupakan janji politiknya untuk dapat direalisasikan dan tidak hanya bicara saja.

Razia Software dan Pemenuhan Hak Cipta

Muhammad Sirul Haq

Manager Harian Sentra HKI Unhas

Sejak ditandangani Konvensi Bern mengenai Perlindungan Intelektual yang salah satunya adalah Indonesia sebagai peserta, maka keharusan untuk mematuhi konvensi tersebut menjadi hal mutlak. Sebagai wujud realisasi akan kepatuhan Indonesia terhadap Konvensi Bern itu, maka dibuatlah ratifikasi dari konvensi bern tersebut dengan membuat UU Hak Cipta tahun 19.. kemudian direvisi dalam UU Hak Cipta No .. tahun 19 dan kemudian disempurnakan lagi menjadi UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002.

UU Hak Cipta secara tegas menyebutkan, bahwa perlindungan hak cipta itu secara otomatis melekat kepada penemunya. Artinya setiap ciptaan tanpa perlu didaftar akan menjadi hak setiap penemu serta melekat didalamnya hak ekslusif berupa hak Moral dan hak ekonomi. Adapun mengenai pendaftaran ciptaan itu dapat dilakukan pada kantor Dirjen HKI atau melalui Sentra HKI yang tersebar di perguruan tinggi yang ada di Indonesia, sebagai upaya proteksi agar mendapat perlindungan dari negara dan kekuatan di muka pengadilan lebih kuat.

Hak ekslusif penemu atas ciptannya dilindungi selama penemu hidup ditambah 50 tahun setelah meninggal, adapun mengenai program komputer masa perlindungannya 50 tahun sejak program tersebut diciptakan. Makanya, secara otomatis di setiap ciptaan itu melekat Hak Moral penemu yakni hak untuk dicantumkan namanya disetiap ciptaan yang dipasarkan. Begitupun dengan Hak ekonomi, hak inipun merupakan keistemewaan penemu dimana penemu memiliki hak untuk menikmati segala keuntungan ekonomi atas setiap temuannya itu.

Pelimpahan hak eksklusif dapat pula dilakukan dengan mengadakan perjanjian lisensi dengan perusahaan yang ingin membelinya untuk kemudian di pasarkan atau dikomersilkan. Untuk selanjutnya dikelola dan diperdagangkan oleh pemilik lisensi itu, dan pelimpahan hak dan kewenangan untuk melakukan pengawasan akan penjualan serta segala bentuk kejahatan yang dilakukan pihak ke-tiga. Baik berupa pembajakan, memperbanyak, menyebarkannya, menjualnya akan dikenakan tindak pidana dan perdata.

Jadi setiap orang ataupun badan hukum yang kemudian terbukti melakukan pembajakan dengan niat jahat untuk mendapatkan keuntungan, maka akan dikenakan pidana penjara lima tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta. Selain itu dapat pula dikenakan tuntutan perdata, bila penemu atau pemegang lisensi merasa dirugikan lebih dari yang dikenakan secara pidana. Penemu atau pemegang lisensi menuntut penggantian kerugian atas tindakan pihak ketiga yang telah melakukan kejahatan tersebut, dan denda atau ganti rugi dapat tak terhingga tergantu seberapa besar nilai takaran kerugian yang diderita penemu atau pemegang lisensi.

Perlindungan Hak Cipta yang tercakup didalamnya Arsitektur, lagu, karya seni, sinematografi, …. Dan program komputer, itu merupakan delik aduan artinya setiap tindakan kejahatan pembajakan itu dapat dilakukan razia oleh polisi berdasarkan laporan yang diterima dari penemu atau pemegang hak cipta yang dirugikan.

Tindakan polisi untuk melakukan razia itu, adalah tugas dan kewenangan yang diberikan berdasarkan UU untuk melakukan penggeledahan, pemeriksaan, penyitaan hingga membawanya pada proses di pengadilan. Jadi apa yang dilakukan pihak kepolisian adalah tanggungjawab kerja yang harus dipatuhi sebagai aparat negara yang menjalankan hukum sebagaimana yang tertuang dalam peraturan negara.

Tindakan Pembajakan

Pembajakan yang dilakukan pihak ke tiga yang sekarang lagi diributkan, banyaknya pedagang komputer di mall-mall di Makassar yang telah melakukan tindakan yang dilarang UU Hak Cipta. Berupa memperbanyak, memperjual belikannya merupakan tindakan pidana yang harus ditindak, karena itu merupakan pencurian hak seseorang atau badan hukum atas ciptaan yang mereka temukan.

Tindakan pembajakan memang bagaikan buah simalakama melihat kondisi masyarakat kita yang stándar kehidupannya dibawah garis kemiskinan, dan disisi lain Indonesia harus menjalankan UUHC itu sebagaimana mestinya diterapkan. Memang jika kita betul patuh pada aturan itu, maka akan minim sekali masyarakat Indonesia yang dapat menikmati kecanggihan teknologi komputer yang bisa bernilai puluhan juta.

Tingginya angka penjualan software itu tak lain karena perusahaan penemunya yakni Mikrosof t, menjual dengan harga tinggi dengan nilai dollar US yang sekarang masih melambung disekitaran Rp. 9.000 per dollar US. Bila harga di rupiahkan maka akan bisa menembus angka rupiah yang mencengangkan. Kondisi ini teramat menyedihkan dan menyakitkan masyarkat yang daya belinya masih rendah, dan kesadara hukum yang minim pula.

Diluar dari kondisi ekonomi masyarakat yang menyedihkan, pemerintah melalui kepolisian juga berwenang melakukan tindakan yang dianggap sah menurut aturan perundang-undangan.

Substansi Perlindungan Hak Cipta

Pemahaman masyarakat mengenai hak cipta memang masih mini, bahkan media pun banyak melakukan kesalahan dalam pemberitaanya dengan menyatakan “pemegang paten software”, seharusnya adalah pemegang hak cipta. Istilah Paten itu digunakan untuk suatu temuan yang digunakan untuk industri berupa teknologi penggunaan praktis akan suatu alat. (tulisan bersambung).

I La Galigo dan Pencurian Folklor

Muh. Sirul haq

Dahaga kesejarahan suku bugis seakan terobati dengan tampilnya I La Galigo dalam pentas dunia, dengan iringan dalang Robert Wilson naskah I La Galigo yang dianggap seonggok buku tuah dirubahnya menjadi pementasan kontemporer terbesar yang pernah hadir di pentas tanah air Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Kentalnya nuansa kultural, legenda dan mitos yang tak terlepaskan dari tradisi bugis kuno yang ditulis pada abad ke-XV sampai XVII yang menghadirkan 37 episode Sureq Galigo. Ini tak terlepas dari keterlibatan sang sutradara kawakan terkenal asal Amerika, siapa lagi kalau bukan Robert Wilson yang memberikan intrepretasi dan adaptasi yang mengalami proses panjang sehingga melahirkan karya yang dapat ditonton sebagai pengisi kalbu dan pencerahan tradisi yang mungkin selama ini agak sedikit luntur dalam kenyataanya di tanah bugis sekarang ini.
Penonton teater pun dibuat terkesima dengan siraman cahaya yang gemilang dengan taburan warna-warni membuat hati yang menonton seakan berdecak kagum. Pementasan yang memberikan jawaban dan sedikit gelitik di hati kita, akan nilai-nilai budaya yang selama ini terpendam jauh dan mungkin kita sendiri yang merasa memiliki warisan budaya itu, tentu tidak lagi sepenuhnya karena dianggap telah menjadi warisan dunia.
Gagasan lahirnya pemaknaan sebagai warisan dunia tidak terlepas dari keberhasilan Robert Wilson mementaskanya keliling dunia, menembus relung waktu dan ruang yang selama ini membatasinya. Lewat ruang yang tersedia di Singapura, Barcelona dan New York memberikan pemaknaan besar akan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Pementasan yang kental dengan simbol, identitas, jati diri, semangat dan perjuangan suku bugis yang telah lahir sekitar abad ke-VII, yang diperkirakan sama dengan keberadaan Sawerigading yang dianggap bukan sekedar mitos tapi lahir dan berada dalam dunia nyata.
Tapi, apakah betul kebanggaan masyarakat akan keberadaan Sureq Galigo itu betul-betul nyata dinikmati masyarakat Sulawesi Selatan. Buktinya saja, pementasan itu hanya menjadi buah bibir bagi suku bugis kebanyakan. Pertunjukan dengan durasi 3 jam itu, yang kental dengan kekuatan mitosnya hanya dinikmati segelintir masyarakat Sul-Sel. Respon yang katanya besar dengan adanya kehadiran Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono yang menonton langsung, yang turut didampingi Wapres Yusuf Kalla, dan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Saksi pementasan itu, kabarnya turut pula dihadiri kalangan pejabat propinsi Sul-Sel serta seniman dan budayawan Sul-Sel. Namun apakah, itu hanya sebagai kenikmatan bagi segelintir orang di TMII saja, dan bagaimana dengan Pancana, Luwu, Bone, Gowa dan daerah lainnya yang katanya akrab dengan kisah yang terdapat didalam naskah tersebut, namun tak dapat dinikmati luas.
Diberdayakan oleh Blogger.