Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Kontroversi Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis di Makassar

Oleh : Muhammad Sirul Haq

{Advokat/Pengacara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Anggota DPD KAI Sul-Sel dan Barat}


Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis (PBHG) khususnya di kota Makassar melalui draft Rancangan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Pelayanan Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat yang Tidak Mampu dalam Kota Makassar, menjadi hal yang gamang. Ini ditandai dengan tidak adanya keseragaman sistem dan struktur yang terbangun dalam pelaksanaannya, apalagi pemerintah kota terlihat setengah hati dalam pelaksanaan PBHG, padahal merupakan hak dasar warga yang harus dimiliki. Ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Article 7/Pasal 7 :
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”
(Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini)

Setiap orang, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa memandang status. Dan perlindungan hukum yang dimaksud di sini, salah satunya adalah pemberian bantuan hukum bagi setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Mulai dari penyuluhan hukum, pendampingan kasus di pengadilan hingga pada penanganan biaya perkara. Sehingga sangat dibutuhkan suatu sistem kerja yang dibangun secara sistematis dan terencana dengan baik, mulai dari pembentukan kebijakan hingga pelaksanaan dilapangan.

Hal yang paling mendasar dan secara terinci yang perlu dimasukkan dalam Perwali tersebut, diantaranya perbedaan pengistilahanan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP) disebutkan sebagai Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, namun dalam Perwali diistilahkan sebagai Pelayanan Bantuan Hukum Gratis. Juga dalam Mengingat pada Rancangan Perwali tidak dicantumkan aturan PP, padahal merupakan struktur atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan langsung.

Begitu pula mengenai pengajuan bantuan oleh masyarakat bila bersandar pada UU No. 18 Tahun 2003 dan PP, penekanannya ada pada advokat ataupun organisasi advokat sebagai tempat pengajuan langsung, sementara pemerintah hanya sebagai pelaksana administrasi berupa pemberian surat keterangan tidak mampu bagi masyarakat miskin. Sementara Perwali lebih penekanan sebagai pelaksana dalam pengajuan PBHG dan pemberi anggaran, padahal dalam PP No. 83 Tahun 2008 ditekankan dalam Pasal 1 Point 3 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Namun dalam Rancangan Perwali pada Bab IV Pembiayaan Pasal 9 disebutkan advokat yang mendampingi klien dalam pelayanan bantuan hukum berhak mendapatkan uang jasa pendampingan dan biaya perkara yang dikeluarkan dari Pemerintah Kota yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Artinya, dalam persoalan anggaran saja ada ketimpangan antara PP dan Perwali yang akan dikeluarkan Walikota Makassar.
Agar tak terjadi ketimpangan itu, sangat dituntut adanya kerja sistematis yang harus dilakukan, tak terlepas dari peran pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan berupa penerbitan peraturan hingga turut melakukan kerja teknis dalam pelaksanaan, mulai dari pembiayaan perkara, penyuluhan hukum, dan terpenting pembuatan unit kerja khusus yang mengurusi persoalan bantuan hukum. Melalui PP, secara jelas menguraikan hal itu, mulai dari Pasal 4 yang menitik beratkan pada pengajuan permohonan PBHG hingga pada pengembangan program PBHG dan pembentukan unit kerja tersendiri di Pasal 15 dalam PP tersebut.

Peran pemerintah kota Makassar yang memiliki itikad baik dengan membuat peraturan terkait yang kini masih berupa draft memang perlu mendapat respon secara positif. Hal tersebut perlu didorong dan diawasi dengan baik, karena masih banyak hal yang perlu dibenahi. Semisal dalam draft tersebut, pada Pasal 1 bagian 4 disebutkan Bantuan Hukum Gratis adalah pemberian pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu baik berupa penyuluhan maupun pendampingan secara gratis oleh Pengacara yang ditunjuk oleh Walikota yang meliputi perkara perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian maupun sengketa perburuhan.

Pasal diatas menekankan perlunya Walikota Makassar bekerjasama dengan advokat/pengacara dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan hukum. Namun, mekanisme penunjukan advokat yang akan ditunjuk oleh Walikota sangat tidak jelas. Padahal dicantumkan dalam PP No. 82 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-Cuma”

Hal ini mengharuskan Walikota Makassar untuk bekerjasama dengan organisasi advokat ataupun dengan lembaga bantuan hukum yang ada di kota Makassar. Sehingga sangat diperlukan kerjasama yang bersinergi, berupa adanya kebijakan yang jelas, perjanjian kerjasama, dan perumusan kerja agar terencana dengan baik. Apalagi sebenarnya, advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 berbunyi, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Advokat memang memiliki kewajiban melakukan atau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun persoalanya bantuan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sebab organisasi advokat sendiri kebanyakan belum memberikan layanan bantuan cuma-cuma, padahal itu merupakan kewajiban dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik organisasi advokat tempat mereka bernaung bila menolak ataupun meminta bayaran diluar dari kemampuan masyarakat yang kurang mampu tersebut. Persoalan lebih lanjut, advokat belum bekerja secara terorganisir untuk melakukan bantuan cuma-cuma. Hanya melalui lembaga bantuan hukum hal tersebut berjalan walaupun hal itu juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran dengan jumlah perkara yang terbilang banyak.

Rancangan Perwali sendiri tidak menyebutkan besaran anggaran yang akan dikeluarkan setiap perkara, padahal dalam perkara yang berbeda memiliki anggaran yang berbeda pula. Seharusnya, ada mekanisme kerjasama dengan pengadilan terutama dalam penetapan anggaran biaya perkara selain koordinasi yang harus dibangun dalam penanganan perkara. Ada tiga pengadilan yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah kota, diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA), dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perkara yang berbeda dan memiliki aturan khusus tersendiri walaupun tak berbeda jauh.

Apalagi bila menyangkut persoalan pidana, pihak pemerintah kota harus pula bekerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi ini sebagai penyidik dan penyelidik memainkan peran penting dalam proses penanganan perkara yang berkaitan dengan masyarakat, karena setiap orang yang berperkara pidana seharusnya telah mendapat pendampingan sejak proses di kepolisian mulai dari pemanggilan menjadi saksi ataupun penangkapan karena tertangkap tangan.

Tidak adanya model kerjasama yang jelas dengan aparat hukum lainnya selain advokat/pengacara, membuat rancangan Perwali Kota Makassar menjadi pincang. Selayaknya dalam rancangan Perwali ini, pihak Pemerintah Kota melakukan dengar pendapat ataupun memasukkan setiap elemen penegak hukum dalam tim rancangan Perwali tersebut. Dan tidak sampai disitu, beberapa unsur masyarakat yang berkepentingan turut pula dilibatkan secara aktif bukan sekedar pendengar setia saja.

Perlunya melibatkan berbagai sektor yang berkepentingan langsung, tak lain guna membuat Rancangan Perwali tidak hanya sekedar kejar tayang saja. Pelibatan tersebut lebih diarahkan pada pembuatan mekanisme sistem dan struktur berjalan sistematis, karena melihat persoalan PBHG yang tertuang dalam Rancangan Perwali hanya terfokus pada persoalan anggaran, masyarakat yang berhak mendapat pelayanan, tata cara pada tingkatan administrasi dan birokrasi pengurusan untuk mendapatkan bantuan, dan pelaporan/pengawasan. Padahal struktur pelaksana sangat membantu lancarnya kegiatan PBHG di masyarakat, apalagi bila melihat cakupan wilayah kota dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa terbilang kota besar.

Diharapkan kedepan, Walikota Makassar tidak terburu-buru dalam pembuatan, pembahasan dan penetapan Perwali tersebut. Berbagai hal yang sangat berhubungan dan terkait satu sama lainnya perlu dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga tak ada lagi ketimpangan ketika Perwali itu diterapkan di tengah masyarakat.

Wassalam

Kontroversi Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis di Makassar

Oleh : Muhammad Sirul Haq
{Advokat/Pengacara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Anggota DPD KAI Sul-Sel dan Barat}


Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis (PBHG) khususnya di kota Makassar melalui draft Rancangan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Pelayanan Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat yang Tidak Mampu dalam Kota Makassar, menjadi hal yang gamang. Ini ditandai dengan tidak adanya keseragaman sistem dan struktur yang terbangun dalam pelaksanaannya, apalagi pemerintah kota terlihat setengah hati dalam pelaksanaan PBHG, padahal merupakan hak dasar warga yang harus dimiliki. Ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Article 7/Pasal 7 :
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”

(Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini)

Setiap orang, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa memandang status. Dan perlindungan hukum yang dimaksud di sini, salah satunya adalah pemberian bantuan hukum bagi setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Mulai dari penyuluhan hukum, pendampingan kasus di pengadilan hingga pada penanganan biaya perkara. Sehingga sangat dibutuhkan suatu sistem kerja yang dibangun secara sistematis dan terencana dengan baik, mulai dari pembentukan kebijakan hingga pelaksanaan dilapangan.

Hal yang paling mendasar dan secara terinci yang perlu dimasukkan dalam Perwali tersebut, diantaranya perbedaan pengistilahanan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP) disebutkan sebagai Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, namun dalam Perwali diistilahkan sebagai Pelayanan Bantuan Hukum Gratis. Juga dalam Mengingat pada Rancangan Perwali tidak dicantumkan aturan PP, padahal merupakan struktur atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan langsung.

Begitu pula mengenai pengajuan bantuan oleh masyarakat bila bersandar pada UU No. 18 Tahun 2003 dan PP, penekanannya ada pada advokat ataupun organisasi advokat sebagai tempat pengajuan langsung, sementara pemerintah hanya sebagai pelaksana administrasi berupa pemberian surat keterangan tidak mampu bagi masyarakat miskin. Sementara Perwali lebih penekanan sebagai pelaksana dalam pengajuan PBHG dan pemberi anggaran, padahal dalam PP No. 83 Tahun 2008 ditekankan dalam Pasal 1 Point 3 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Namun dalam Rancangan Perwali pada Bab IV Pembiayaan Pasal 9 disebutkan advokat yang mendampingi klien dalam pelayanan bantuan hukum berhak mendapatkan uang jasa pendampingan dan biaya perkara yang dikeluarkan dari Pemerintah Kota yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Artinya, dalam persoalan anggaran saja ada ketimpangan antara PP dan Perwali yang akan dikeluarkan Walikota Makassar.
Agar tak terjadi ketimpangan itu, sangat dituntut adanya kerja sistematis yang harus dilakukan, tak terlepas dari peran pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan berupa penerbitan peraturan hingga turut melakukan kerja teknis dalam pelaksanaan, mulai dari pembiayaan perkara, penyuluhan hukum, dan terpenting pembuatan unit kerja khusus yang mengurusi persoalan bantuan hukum. Melalui PP, secara jelas menguraikan hal itu, mulai dari Pasal 4 yang menitik beratkan pada pengajuan permohonan PBHG hingga pada pengembangan program PBHG dan pembentukan unit kerja tersendiri di Pasal 15 dalam PP tersebut.

Peran pemerintah kota Makassar yang memiliki itikad baik dengan membuat peraturan terkait yang kini masih berupa draft memang perlu mendapat respon secara positif. Hal tersebut perlu didorong dan diawasi dengan baik, karena masih banyak hal yang perlu dibenahi. Semisal dalam draft tersebut, pada Pasal 1 bagian 4 disebutkan Bantuan Hukum Gratis adalah pemberian pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu baik berupa penyuluhan maupun pendampingan secara gratis oleh Pengacara yang ditunjuk oleh Walikota yang meliputi perkara perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian maupun sengketa perburuhan.

Pasal diatas menekankan perlunya Walikota Makassar bekerjasama dengan advokat/pengacara dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan hukum. Namun, mekanisme penunjukan advokat yang akan ditunjuk oleh Walikota sangat tidak jelas. Padahal dicantumkan dalam PP No. 82 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-Cuma”

Hal ini mengharuskan Walikota Makassar untuk bekerjasama dengan organisasi advokat ataupun dengan lembaga bantuan hukum yang ada di kota Makassar. Sehingga sangat diperlukan kerjasama yang bersinergi, berupa adanya kebijakan yang jelas, perjanjian kerjasama, dan perumusan kerja agar terencana dengan baik. Apalagi sebenarnya, advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 berbunyi, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Advokat memang memiliki kewajiban melakukan atau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun persoalanya bantuan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sebab organisasi advokat sendiri kebanyakan belum memberikan layanan bantuan cuma-cuma, padahal itu merupakan kewajiban dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik organisasi advokat tempat mereka bernaung bila menolak ataupun meminta bayaran diluar dari kemampuan masyarakat yang kurang mampu tersebut. Persoalan lebih lanjut, advokat belum bekerja secara terorganisir untuk melakukan bantuan cuma-cuma. Hanya melalui lembaga bantuan hukum hal tersebut berjalan walaupun hal itu juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran dengan jumlah perkara yang terbilang banyak.

Rancangan Perwali sendiri tidak menyebutkan besaran anggaran yang akan dikeluarkan setiap perkara, padahal dalam perkara yang berbeda memiliki anggaran yang berbeda pula. Seharusnya, ada mekanisme kerjasama dengan pengadilan terutama dalam penetapan anggaran biaya perkara selain koordinasi yang harus dibangun dalam penanganan perkara. Ada tiga pengadilan yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah kota, diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA), dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perkara yang berbeda dan memiliki aturan khusus tersendiri walaupun tak berbeda jauh.

Apalagi bila menyangkut persoalan pidana, pihak pemerintah kota harus pula bekerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi ini sebagai penyidik dan penyelidik memainkan peran penting dalam proses penanganan perkara yang berkaitan dengan masyarakat, karena setiap orang yang berperkara pidana seharusnya telah mendapat pendampingan sejak proses di kepolisian mulai dari pemanggilan menjadi saksi ataupun penangkapan karena tertangkap tangan.

Tidak adanya model kerjasama yang jelas dengan aparat hukum lainnya selain advokat/pengacara, membuat rancangan Perwali Kota Makassar menjadi pincang. Selayaknya dalam rancangan Perwali ini, pihak Pemerintah Kota melakukan dengar pendapat ataupun memasukkan setiap elemen penegak hukum dalam tim rancangan Perwali tersebut. Dan tidak sampai disitu, beberapa unsur masyarakat yang berkepentingan turut pula dilibatkan secara aktif bukan sekedar pendengar setia saja.

Perlunya melibatkan berbagai sektor yang berkepentingan langsung, tak lain guna membuat Rancangan Perwali tidak hanya sekedar kejar tayang saja. Pelibatan tersebut lebih diarahkan pada pembuatan mekanisme sistem dan struktur berjalan sistematis, karena melihat persoalan PBHG yang tertuang dalam Rancangan Perwali hanya terfokus pada persoalan anggaran, masyarakat yang berhak mendapat pelayanan, tata cara pada tingkatan administrasi dan birokrasi pengurusan untuk mendapatkan bantuan, dan pelaporan/pengawasan. Padahal struktur pelaksana sangat membantu lancarnya kegiatan PBHG di masyarakat, apalagi bila melihat cakupan wilayah kota dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa terbilang kota besar.

Diharapkan kedepan, Walikota Makassar tidak terburu-buru dalam pembuatan, pembahasan dan penetapan Perwali tersebut. Berbagai hal yang sangat berhubungan dan terkait satu sama lainnya perlu dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga tak ada lagi ketimpangan ketika Perwali itu diterapkan di tengah masyarakat.

Gerakan Anti Pelemahan KPK dan Deklarasi Cicak Sul-Sel

Oleh :
Muhammad Sirul Haq
{Anggota Tim Deklarasi CICAK SUl-SEl dan Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)}


Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sedang hangat bergulir, bahkan upaya itu terlihat hingga pada pemotongan kewenangan KPK hanya sebagai lembaga pencegahan korupsi saja. Ada 11 upaya melemahkan KPK, diantaranya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berupa mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan pasal 53 UU KPK tidak sah. Perlu dibentuk dengan UU tersendiri yakni UU Pengadilan Tipikor. MK memberikan batas waktu sampai tahun 2009 sejak diputuskan 19 Desember 2006. (Rilis Media Gerakan Cintai Indonesia Cintai KPK – dan tulisan ini merupakan intisari dari rilis tersebut).
Artinya bila sampai pelantikan baru anggota DPR, ini mengindikasikan perlunya pembenahan ulang dari awal. Karena dapat dipastikan sebagian anggota dewan yang mengurusi persoalan RUU Tipikor adalah wajah baru yang mungkin tidak mengetahui sama sekali mengenai isu dan substansi isi dari RUU Tipikor tersebut.
Alasan lain, muncul upaya “pembajakan KPK” melalui proses seleksi fit and propert test pimpinan KPK jilid III. Track record calon tidak menjadi pertimbangan dalam memilih, ini mengindikasikan para anggota dewan yang pro pelemahan KPK akan bertindak aneh, dengan menghapuskan beberapa calon terutama pengganti Antasasri Azhar (AA) yang terpilih menjadi Ketua KPK 10 Desember 2007. Apalagi penyudutan AA dalam keterkaitan dengan kasus dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, dan indikasi penyeretan keterlibatan beberapa anggota KPK lainnya.
Chandra Hamzah, wakil Ketua KPK diperiksa sebagai saksi oleh Mabes Polri. Para petinggi Polri memberi sinyal Chandra diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, yang menyeret Ketua KPK nonaktif AA pada bulan Juni 2009. Tolak ukur kasus pidana yang menimpa AA dan penggiringan beberapa unsure KPK terkait, mengindikasikan adanya penekanan secara langsung dan mengaduk-aduk keberadaan institusi pemberantas korupsi ini. Sehingga dengan muda bagi para pihak yang tidak menyukai keberhasilan KPK, sangat kuat diindikasikan akan bertindak dengan memilih ketua KPK yang tidak memiliki kredibilitas yang bagus dan bisa diandalkan menggantikan AA dikemudian hari.
Selain itu, ada pula isu ancaman pemboman Gedung KPK. Namun setelah ditelusuri tidak ditemukan ancaman itu yang terjadi pada 6 Februari 2008, dan diindikasi hanya berupa penyudutan terhadap tindakan riil yang dilakukan oleh KPK terhadap pengejaran para koruptor kakap di Indonesia. Secara beruntun pula, ada wacana pembubaran KPK yang dilakukan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR Ahmad Fauzi. Hal ini terkait dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR. Ahmad menilai, KPK menjadi lembaga yang super dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bagi Ahmad Fauzi yang mengeluarkan pernyataan pada April 2008, mengatakan UU KPK perlu direvisi dengan alasan yang tidak logis.
Ketidak logisan itu terlihat pula pada penolakan anggaran KPK terutama dalam operasional pemberantasan korupsi menemukan jalan buntu, indikasi ini terlihat pada permintaan tambahan dana dalam rekening 069 pada RAPBN 2009 untuk KPK sebesar Rp90 miliar ditolak DPR dengan alasan belum pernah dibicarakan dalam rapat Komisi III DPR pada November 2008. Dan sangat berimbas pada proses legislasi UU antikorupsi, terkhusus mengenai RUU KPK. Pemerintah dan DPR memasukkan Revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2004-2009. Jika UU KPK dibahas, potensial justru akan melemahkan KPK. Namun proses pembahasan batal dilakukan, apalagi banyaknya anggota DPR yang lengser dan digantikan wajah baru yang tidak mengikuti alur jelas mengenai peraturan tersebut.
RUU Tipikor pun memiliki isu krusial, diantaranya kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan yang pernah dilimpakan ke DPR Mei 2009. RUU Pengadilan Tipikor yang juga terdapat isu krusial, berupa komposisi hakim ad hoc mulai diperkecil, Ketua Pengadilan diberikan kewenangan penuh memilih hakim, pembentukan pengadilan tipikor disetiap kabupaten yang telah dilimpakan ke DPR September 2008. Proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di Pansus DPR masih macet, jika tidak disahkan hingga 19 Desember 2009, maka semua kasus yang ditangani oleh KPK akan diadili oleh pengadilan umum.
Lebih mengherankan lagi, ada indikasi tindakan penarikan personel dari KPK yang dilakukan mabes POLRI, dengan berupaya menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK pada November 2008. BPKP berupaya menarik 25 personelnya dari KPK dan akan memberikan sanksi jika menolak. Namun rencana urung dilaksanakan pada Mei 2009, berkat adanya desakan dari elemen masyarakat yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi agar tak melemahkan KPK.
Tidak hanya sampai disitu saja, tindakan pembatasan kewenangan penyadapan bagi KPK pun menjadi isu hangat, ini muncul dari sejumlah anggota Komisi III DPR. Muncul ide pembatasan penyadapan KPK melalui Revisi UU KPK yang dilaksanakan pada Agustus 2008. Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah terkait, bagi upaya pembatasan dan mungkin berupa tindakan pengubahan beberapa pasal dalam revisi UU KPK.
Ada dorongan dari sebagian anggota Komisi III DPR untuk meminta KPK tidak melakukan penyidikan atau penuntutan selama komposisi pimpinan tidak lengkap 5 orang yang dilakukan pada Mei 2009. BPKP berupaya melakukan audit terhadap KPK atas perintah Presiden, namun SBY membantah adanya tindakan itu pada Juni 2009. Padahal secara terang-terangan semua media baik cetak maupun elektronik memberitakan hal tersebut, sehingga tak ada upaya mengelak yang sepantasnya dilakukan SBY. Apalagi dalam setiap kampanyenya, SBY selalu menekankan upaya pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan sepatutnya ditagih hingga 5 tahun ke depan.

Deklarasi Cicak
Sejumlah elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu korupsi terutama mengenai tindakan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap proses pelemahan KPK, perlu melakukan tindakan perlawanan bersama. Dan tindakan perlawanan itu muncul dengan menggunakan simbol CICAK sebagai singkatan dari Cinta Indonesia Cinta KPK. Hal ini berkaitan pula dengan kondisi semakin tidak baik, ketika salah seorang perwira POLRI menggunakan istilah “Cicak kok Mau Melawan Buaya”. Penggunaan istilah ini dinilai semakin menunjukkan resitensi pihak tertentu dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Akan tetapi, Deklarasi Gerakan CICAK yang telah dilakukan di Jakarta pada 12 Juli 2009 yang dilakukan elemen masyarakat tersebut tidak ditujukan untuk menyerang salah satu institusi. Karena personifikasi Buaya lebih mengarah pada seluruh kekuatan “corruptor fight back” yang terus menerus menyerang KPK dan melemahkan pemberantasan korupsi. Jika dulu koruptor perseorangan dilambangkan dengan tikus, maka saat ini koruptor yang mengkonsolidasikan diri dan bersarang di instansi negara disimbolkan dengan Buaya (koruptor). Kekuatan itulah yang saat ini mengepung KPK dari berbagai arah.
Makanya, upaya perluasan perlawanan itu kemudian digulirkan pula oleh semua elemen masyarakat di Sulawesi Selatan, terutama kota Makassar. Dengan rencana akan melakukan deklarasi CICAK Sul-Sel pada Kamis, 20 Agustus 2009, untuk menggaungkan tindakan pelemahan KPK secara khusus, dan pemberantasan korupsi secara umum. Sangat diharapkan, secara umum bagi masyarakat dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap upaya pemberantasan korupsi khususnya yang ada di Sul-Sel, dukungan terhadap KPK agar tidak surut dalam pemberantasan korupsi dan upaya pihak bertanggungjawab untuk melemahkan keberadaan KPK melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK.
Sehari berselang setelah Deklarasi Gerakan CICAK, Presiden mengundang sejumlah pimpinan Lembaga Negara yang terkait penegakan hukum di Istana Negara (13/7/09). Seperti diketahui, KPK dan POLRI hadir disana. Selain itu, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK, BPKP dan Kejaksaan pun turut diundang.
Sebenarnya masyarakat berharap, Presiden bisa memperkuat fungsi dan peran KPK untuk memproses kasus korupsi yang terjadi diinsitusi manapun. Akan tetapi, kesan yang muncul ke publik justru sebaliknya. Penggunaan frase seperti: KPK jangan jebak koruptor, sebaiknya prioritas pada pencegahan korupsi, dan jangan sampai ada rivalitas antar penegak hukum menimbulkan kekhawatiran baru. Wajar jika masyarakat menilai, tidak banyak hal krusial dan kabar baik bagi pemberantasan korupsi dari rapat koordinasi tersebut.
Prioritas Pemberantasan Korupsi pada strategi pencegahan termasuk poin yang seringkali dikritik keras oleh publik. Bagaimana mungkin dalam kondisi korupsi menjalar dan tumbuh besar diberbagai institusi negara, yang dilakukan justru “pencegahan”? Kasus-kasus di Bea dan Cukai adalah contoh terbaik yang seharusnya jadi acuan. Meskipun strategi pencegahan telah dimulai sejak lama, namun saat KPK melakukan penggrebekan, suap dan praktik pungutan liar masih tetap tumbuh dan terjadi.
Dalam kondisi korupsi Indonesia yang masih terpusat di Institusi Politik, seperti Legislatif dan Partai Politik serta lembaga penegak hukum, maka penggunaan strategi pencegahan sama halnya dengan tindakan kompromi dengan koruptor. Lagipula, pencegahan korupsi dilakukan untuk kasus korupsi yang belum terjadi, itupun dalam jangka panjang. Jika korupsi sudah terjadi, pilihan strategi yang dilakukan tetap pencegahan, hal itu sama artinya menggunakan isitilah pencegahan sebagai legitimasi melindungi koruptor.
Oleh karena itu, lewat deklarasi CICAK sangat mengharapkan agar KPK tetap kuat melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan memprioritaskan strategi penindakan. KPK memprioritaskan membongkar kasus korupsi di lembaga penegak hukum. Dan Presiden, Kepolisian beserta Kejaksaan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Bila kemudian presiden SBY tidak melakukan tindakan tersebut, ini sangat mengindikasikan kekecewaan yang teramat sangat dengan terpilihnya kembali sebagai presiden 5 tahun kedepan. Padalah keberadaannya sebagai hasil pencitraan sangat terbantukan dengan kampanye anti korupsi dan upaya pemenjaraan koruptor tanpa pandang bulu. Kita lihat saja, apakah SBY mampu melakukan itu ataukah hanya sesumbar janji politik saja.

(tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur, edisi 18 Agustus 2009 pada kolom OPINI)
Diberdayakan oleh Blogger.