Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Kontroversi Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis di Makassar

Oleh : Muhammad Sirul Haq
{Advokat/Pengacara pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM) dan Anggota DPD KAI Sul-Sel dan Barat}


Penerapan Pelayanan Bantuan Hukum Gratis (PBHG) khususnya di kota Makassar melalui draft Rancangan Peraturan Walikota (Perwali) tentang Pelayanan Bantuan Hukum Gratis Kepada Masyarakat yang Tidak Mampu dalam Kota Makassar, menjadi hal yang gamang. Ini ditandai dengan tidak adanya keseragaman sistem dan struktur yang terbangun dalam pelaksanaannya, apalagi pemerintah kota terlihat setengah hati dalam pelaksanaan PBHG, padahal merupakan hak dasar warga yang harus dimiliki. Ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Article 7/Pasal 7 :
“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”

(Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini)

Setiap orang, baik secara sendiri-sendiri ataupun berkelompok berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa memandang status. Dan perlindungan hukum yang dimaksud di sini, salah satunya adalah pemberian bantuan hukum bagi setiap warga masyarakat yang membutuhkannya. Mulai dari penyuluhan hukum, pendampingan kasus di pengadilan hingga pada penanganan biaya perkara. Sehingga sangat dibutuhkan suatu sistem kerja yang dibangun secara sistematis dan terencana dengan baik, mulai dari pembentukan kebijakan hingga pelaksanaan dilapangan.

Hal yang paling mendasar dan secara terinci yang perlu dimasukkan dalam Perwali tersebut, diantaranya perbedaan pengistilahanan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (selanjutnya dalam tulisan ini disingkat PP) disebutkan sebagai Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, namun dalam Perwali diistilahkan sebagai Pelayanan Bantuan Hukum Gratis. Juga dalam Mengingat pada Rancangan Perwali tidak dicantumkan aturan PP, padahal merupakan struktur atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sangat berkaitan langsung.

Begitu pula mengenai pengajuan bantuan oleh masyarakat bila bersandar pada UU No. 18 Tahun 2003 dan PP, penekanannya ada pada advokat ataupun organisasi advokat sebagai tempat pengajuan langsung, sementara pemerintah hanya sebagai pelaksana administrasi berupa pemberian surat keterangan tidak mampu bagi masyarakat miskin. Sementara Perwali lebih penekanan sebagai pelaksana dalam pengajuan PBHG dan pemberi anggaran, padahal dalam PP No. 83 Tahun 2008 ditekankan dalam Pasal 1 Point 3 bahwa Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Namun dalam Rancangan Perwali pada Bab IV Pembiayaan Pasal 9 disebutkan advokat yang mendampingi klien dalam pelayanan bantuan hukum berhak mendapatkan uang jasa pendampingan dan biaya perkara yang dikeluarkan dari Pemerintah Kota yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Artinya, dalam persoalan anggaran saja ada ketimpangan antara PP dan Perwali yang akan dikeluarkan Walikota Makassar.
Agar tak terjadi ketimpangan itu, sangat dituntut adanya kerja sistematis yang harus dilakukan, tak terlepas dari peran pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Peran pemerintah dalam hal kebijakan berupa penerbitan peraturan hingga turut melakukan kerja teknis dalam pelaksanaan, mulai dari pembiayaan perkara, penyuluhan hukum, dan terpenting pembuatan unit kerja khusus yang mengurusi persoalan bantuan hukum. Melalui PP, secara jelas menguraikan hal itu, mulai dari Pasal 4 yang menitik beratkan pada pengajuan permohonan PBHG hingga pada pengembangan program PBHG dan pembentukan unit kerja tersendiri di Pasal 15 dalam PP tersebut.

Peran pemerintah kota Makassar yang memiliki itikad baik dengan membuat peraturan terkait yang kini masih berupa draft memang perlu mendapat respon secara positif. Hal tersebut perlu didorong dan diawasi dengan baik, karena masih banyak hal yang perlu dibenahi. Semisal dalam draft tersebut, pada Pasal 1 bagian 4 disebutkan Bantuan Hukum Gratis adalah pemberian pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu baik berupa penyuluhan maupun pendampingan secara gratis oleh Pengacara yang ditunjuk oleh Walikota yang meliputi perkara perdata, tata usaha negara, pidana, perceraian maupun sengketa perburuhan.

Pasal diatas menekankan perlunya Walikota Makassar bekerjasama dengan advokat/pengacara dalam melakukan penyuluhan dan pendampingan hukum. Namun, mekanisme penunjukan advokat yang akan ditunjuk oleh Walikota sangat tidak jelas. Padahal dicantumkan dalam PP No. 82 Tahun 2008 Pasal 8 Ayat 1 yang berbunyi :
“Dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-Cuma”

Hal ini mengharuskan Walikota Makassar untuk bekerjasama dengan organisasi advokat ataupun dengan lembaga bantuan hukum yang ada di kota Makassar. Sehingga sangat diperlukan kerjasama yang bersinergi, berupa adanya kebijakan yang jelas, perjanjian kerjasama, dan perumusan kerja agar terencana dengan baik. Apalagi sebenarnya, advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat 1 berbunyi, Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Advokat memang memiliki kewajiban melakukan atau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, namun persoalanya bantuan itu tidak berjalan sebagai mana mestinya. Sebab organisasi advokat sendiri kebanyakan belum memberikan layanan bantuan cuma-cuma, padahal itu merupakan kewajiban dan dapat dikenakan sanksi berdasarkan kode etik organisasi advokat tempat mereka bernaung bila menolak ataupun meminta bayaran diluar dari kemampuan masyarakat yang kurang mampu tersebut. Persoalan lebih lanjut, advokat belum bekerja secara terorganisir untuk melakukan bantuan cuma-cuma. Hanya melalui lembaga bantuan hukum hal tersebut berjalan walaupun hal itu juga tidak maksimal karena keterbatasan anggaran dengan jumlah perkara yang terbilang banyak.

Rancangan Perwali sendiri tidak menyebutkan besaran anggaran yang akan dikeluarkan setiap perkara, padahal dalam perkara yang berbeda memiliki anggaran yang berbeda pula. Seharusnya, ada mekanisme kerjasama dengan pengadilan terutama dalam penetapan anggaran biaya perkara selain koordinasi yang harus dibangun dalam penanganan perkara. Ada tiga pengadilan yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah kota, diantaranya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama (PA), dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani perkara yang berbeda dan memiliki aturan khusus tersendiri walaupun tak berbeda jauh.

Apalagi bila menyangkut persoalan pidana, pihak pemerintah kota harus pula bekerjasama dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi ini sebagai penyidik dan penyelidik memainkan peran penting dalam proses penanganan perkara yang berkaitan dengan masyarakat, karena setiap orang yang berperkara pidana seharusnya telah mendapat pendampingan sejak proses di kepolisian mulai dari pemanggilan menjadi saksi ataupun penangkapan karena tertangkap tangan.

Tidak adanya model kerjasama yang jelas dengan aparat hukum lainnya selain advokat/pengacara, membuat rancangan Perwali Kota Makassar menjadi pincang. Selayaknya dalam rancangan Perwali ini, pihak Pemerintah Kota melakukan dengar pendapat ataupun memasukkan setiap elemen penegak hukum dalam tim rancangan Perwali tersebut. Dan tidak sampai disitu, beberapa unsur masyarakat yang berkepentingan turut pula dilibatkan secara aktif bukan sekedar pendengar setia saja.

Perlunya melibatkan berbagai sektor yang berkepentingan langsung, tak lain guna membuat Rancangan Perwali tidak hanya sekedar kejar tayang saja. Pelibatan tersebut lebih diarahkan pada pembuatan mekanisme sistem dan struktur berjalan sistematis, karena melihat persoalan PBHG yang tertuang dalam Rancangan Perwali hanya terfokus pada persoalan anggaran, masyarakat yang berhak mendapat pelayanan, tata cara pada tingkatan administrasi dan birokrasi pengurusan untuk mendapatkan bantuan, dan pelaporan/pengawasan. Padahal struktur pelaksana sangat membantu lancarnya kegiatan PBHG di masyarakat, apalagi bila melihat cakupan wilayah kota dengan jumlah penduduk sekitar 2 juta jiwa terbilang kota besar.

Diharapkan kedepan, Walikota Makassar tidak terburu-buru dalam pembuatan, pembahasan dan penetapan Perwali tersebut. Berbagai hal yang sangat berhubungan dan terkait satu sama lainnya perlu dituangkan dalam peraturan tersebut, sehingga tak ada lagi ketimpangan ketika Perwali itu diterapkan di tengah masyarakat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.