Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

2012, Ketua KPK Abraham Samad Bakal Pulang Kampung

Abraham Samad (AS), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diprediksi akan pulang kampung di tahun 2012. Ramalan ini berangkat dari pernyataan AS sewaktu menjalani uji kelayakan di DPR RI yang menyatakan akan pulang kampung jika tidak dapat membongkar kasus Bank Century (BC). Artinya ada peluang 50% bagi AS untuk berhasil menjalankan misinya, dan tentunya ada peluang 50% bagi AS pula untuk pulang kampung ke Makassar.

AS menghadapi pertarungan yang sangat sulit, karena di tahun 2011 KPK jilid 2 melalui pimpinannya di depan anggota dewan DPR RI menyatakan tidak ada dugaan penyelewengan dana atau korupsi terhadap kasus BC. Apa yang diungkapkan KPK itu sendiri sebagai penanda awal pulang kampungnya AS, karena kasus BC sudah hampir setahun menjadi garapan serius KPK namun tidak membuahkan hasil sama sekali.

2011, dalam Pledoi Antasari Azhar (AA), Mantan Ketua KPK jilid 2 menyatakan ada "bos besar" yang bermain di kasus BC yang kuat dugaan juga merekayasa dirinya agar masuk ke hotel prodeo. Terbunuhnya Nazaruddin Syamsuddin, pengusaha asal Makassar diduga sebuah rekayasa besar untuk menumbangkan AA yang kala itu juga sementara membongkar kasus mega skandal BC.

Bos besar itu, juga berhasil menggolkan ataupun meloloskan Sri Mulyani (SM), mantan Menteri Keuangan dan Boediono, yang kini Wakil Presiden RI mendampingi SBY. Kegagalan KPK, karena tak dapat menjerat  SM yang kini telah diamankan Bank Dunia. Padahal, sudah ada indikasi SM bermain dalam penggelontoran dana sebanyak Rp. 6,7 Triliun itu. Bahkan kini, kasus BC telah menjadi perkara Internasional karena Bank Dunia meminta kepada Pemerintah Indonesia, dibawah rezim SBY untuk membayar kekurangan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun itu, yakni sebesar Rp. 4 Triliun.

2012, KPK belum memiliki titik terang memulai darimana, mungkin hanya menemukan alamat palsu. Bahkan KPK meminta bantuan DPR untuk turut menjabarkan kasus BC, sangat tidak mungkinlah karena jaringan bos besar pastinya sangat banyak di senayan. Masyarakat yang belum dibayarkan dana tabungannya di BC, juga KPK tidak dapat menindaklanjuti sebagai bentuk tindak pidana korupsi tersendiri.

Menghadapi kasus BC, KPK sangat ditunggu mengeluarkan pernyataan strategis maupun aksi-aksi nyata akhir tahun 2011 untuk menghadapi 2012, tapi sampai akhir tahun ini belum ada pernyataan resmi juga. Ini menandakan, tembok hitam yang terjal bakal sulit dilalui 5 pimpinan KPK. Sebab diyakini, bos besar dibelakang mafia korupsi BC tidak akan tinggal diam terhadap upaya KPK membongkar kasus tersebut.

Diyakini, apa yang pernah terjadi dan masih dijalani oleh AA adalah bagian rekayasa yang akan terjadi lagi bila KPK jilid 3 ini akan bermain-main lagi di kasus BC. Tinggal tuhan saja tempat KPK hari ini dan melewati hari-hari di tahun 2012 menghadapi bos besar yang sebentar lagi akan turun gunung bila diusik ketenangannya.

AS pun dari berbagai pernyataannya tidak mau sesumbar, setelah sesumbar yang dilontarkan di senayan. Hanya mengatakan, sekarang saatnya KPK bekerja, mengurangi bicara dan memperbanyak kerja. Bahkan, ketika diwawancarai Karni Ilyas di TVOne, AS beralasan tidak akan membeberkan strategi yang akan dilakukan dalam membongkar kasus BC. Bisa jadi demikian, tapi bisa jadi juga AS sebenarnya kebingungan karena belum memiki strategi dalam membongkar BC yang diduga akan menyeret pemain kelas satu negeri ini.

Perjuangan yang memang akan mempertaruhkan nyawa, dan pimpinan KPK juga telah menyatakan siap mati. Semoga saja itu terlaksana, jangan sampai hanya menjadi boyband KPK. Semoga saja tak ada pulang kampung, amien. 

SBY Kembangkan Budaya Suka Ngeluh


link foto : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=140803726031335&set=o.118974331509520&type=1&theater

"SBY jangan Cengeng" itulah judul foto upload yang diunggah oleh teman akrab saya di FB walaupun belum pernah berjumpa mata secara langusng, KH Avie KotakHumor ke group FB Forum Diskusi Budaya Nusantara memuat tentang komentar sebagai berikut :

"Seharusnya Presiden tidak perlu cengeng, tapi harus melakukan tindakan nyata melakukan reformasi birokrasi," kritik Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar,

Dalam rapat kabinet di Istana Bogor pada Jumat, (23/12), Presiden SBY mengeluhkan adanya tiga persoalan yang menjadi penghambat pembangunan. Selain birokrasi, Presiden menyebut persoalan infrastruktur dan korupsi yang menjadi biang permasalahan pembangunan di Indonesia.

Kalau Presiden berkomitmen menyelesaikan hambatan di internal birokrasi, pasti rakyat mendukungnya. Masalahnya adalah Presiden tidak melakukan kebijakan nyata untuk mencari pokok persoalan birokrasi dan memilih menyampaikan persoalan itu kepada kabinetnya. "Apakah masalah bisa selesai hanya dengan mengeluh?" cetus Akil.

dari http://www.republika.co.id/​berita/nasional/umum/11/12/27/​lwucl3-jubir-mk-sby-tidak-perlu​-cengeng

> Duh, Bung Akil ini kayak gak ngerti yang dikerjakan Presiden SBY sehari-hari, ya, sebagaimana sering dia nyatakan sendiri : "Saya sudah sering kirim SMS dan koreksi."

Kerja kok sms-an en koreksi ajah. wedew.

(unggahan di group FB itu terjadi diskusi yang sangat sengit diantara anggota)

Jujur saja, memang kita hampir setiap hari kalau SBY tampil di Media selalu ada saja keluhan yang disampaikan, padahal dengan kekuasaan dan kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, SBY punya kewenangan tak terkalahkan - hanya tuhan yang mampu mengalahkannya di Indonesia.

Tapi anehnya, keluhan itu selalu datang bertubi-tubi. Mulai dari mengeluhkan gaji, kritik pedas yang selalu dilontarkan masyarakat padanya, kerbau Si Buya, hingga persoalan sepele microphone di podium tempat dia akan berbicara sebagai presiden juga dipermasalahkan.

Nah, klo SBY saja yang mengeluh, lantas siapa yang harus menerima keluhan itu. Di budaya kita, Indonesia, keluhan biasanya datang dari pihak inferior terhadap superior. Seperti, anak terhadap bapaknya yang tidak mendapat uang jajan. Lantas kalau SBY yang mengeluh, kan seharusnya tuhanlah yang dijadikan tempat mengeluh. Sebab rakyat menganggap, beban tanggung jawab menjadi presiden sudah dipikirkan sebelum jabatan itu dipegang.


Kenapa kemudian ini menjadi sebuah Budaya


Ibarat korupsi yang telah menjadi budaya, walaupun budaya yang tidak diinginkan bersama tapi dilakukan mungkin bersama-sama bagi yang menginginkannya. Budaya dalam konteks paling sederhananya adalah lahir dari hasil oleh pikiran dan tingkah laku masyarakat yang kemudian disepakati bersama untuk dijalankan sebagai budi pekerti, moral dan etika.


Jadi, begitupun mengeluh (atau ngeluh) karena ia lahir dari sebuah pikiran dan tingkah laku seorang presdien, maka baik diterima masyarakat maupun tidak, tapi karena ada pola pembiasaan maka ia menjadi budi pekerti yang tanpa sadar ditularkan kepada anak bangsa. Bahayanya, ini mirip budaya korupsi. Walaupun tidak diinginkan bersama, tapi korupsi banyak dilakukan secara bersama-sama dan dilakukan pula oleh pejabat yang pintar, punya kedudukan dan pastinya kaya, karena tidak mungkin orang miskin pemulung.

Siapa yang tidak sepakat dengan korupsi yang telah jadi budaya? begitupun ngeluh atau mengeluh akan menjadi budaya, dilihat, dipikirkan, ditiru dan dilakukan. Akhirnya, setiap orang melakukan itu, karena ada pengesahan secara langsung dan tidak langsung dari kepala negara, SBY.

Jadi, hati-hatilah dalam menonton pidato di televisi atau membaca koran di media manapun. Karena jika ada kata keluhan yang keluar dari SBY, mungkin bisa jadi anda tertular dan menjadikan itu sebagai sebuah budaya.

Selamat Mencoba...

SBY Tidak Pro Terhadap Masyarakat Adat

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak pro terhadap terhadap masyarakat adat, sikap anti (baca : tidak pro) itu memang tidak seperti yang dilakukan polisi dengan menembaki warga hingga mati tapi melalui kebijakan dan tindakan sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersama kekuasaannya, SBY telah memberikan keleluasaan kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan untuk mengelolah lahan yang tak lain adalah milik masyarakat adat.

Keleluasaan itu, salah satunya berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) diantaranya PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Tambang. Dengan memberikan keleluasaan pengelolaan dan perizinan kepada perusahaan tambang untuk menduduki wilayah masyarakat adat, yakni tanah adat. Begitupun dengan perusahaan perkebunan diberikan keleluasaan yang sama, melalui izin yang kemudian diterbitkan kementerian terkait.

Dampak akan pemberian izin itu, tercatat berbagai tindakan kekerasan, penggusuran, pembakaran rumah hingga matinya warga masyarakat adat. Jika kita melihat lebih lanjut data yang dipaparkan Harian Kompas, Senin 29/Des/2011 pada halaman 1 (satu) kolom 6 dan 7, disebutkan berbagai rangkaian pembunuhan yang terjadi kepada masyarakat yang sebagian besar berada pada wilayah adat.

Ada 20 warga yang tewas kena tembak aparat yang tersebar dalam 7 tempat dan waktu kejadian yang berbeda. Diantaranya; Desa Alas Tlogo, Jawa Timur, 4 warga tewas tertembak (30 Mei 2007), Desa Koto Cengar, Kuantan Singingi, Riau, 2 warga tewas (8 Juni 2010), Desa Pelita Jaya, Mesuji, Lampung, 1 Warga tewas (6 Nov 2010), Tiak, Morowali, Sul-Teng, 2 warga tewas (22 agustus 2011), Desa Sei Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sum-Sel, 7 orang tewas (21 April 2011), Kecamatan Tanjung Raya, Mesuji, Lampung, 1 orang tewas (10 November 2011), dan Bima, NTB, 3 orang tewas (24 Desember 2011). Belum lagi, yang terjadi di Kajang, Bulukumba, Sul-Sel, juga di Sulawesei Tenggara dan paling mengenaskan pula di Papua.

Semua korban tewas itu, dan korban luka serta kekerasan yang diakibatkan oleh aparatus negara di lapangan, semua dengan dalil melindungi perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai aset vital. Namun, perlindungan itu merupakan keputusan dari pusat yakni Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, semua kendali kejadian di lapangan itu ada ditangannya. Ingat, TNI dan Kepolisian ada dibawah kendali dan perintah SBY selaku presiden.

Akibat perlindungan dan backing yang dilakukan pemerintah dan polisi sebagai penjaga lapangan (baca : anjing penjaga), tidak saja mengakibatkan kematian warga tapi juga segala yang berkenaan dengan kehidupan warga yang sebagian besar berada pada kawasan adat pada awalnya. Hitung saja, di setiap lokasi itu tidak ada yang dibawah 1.000 (seribu) Hektar pengelolaan kawasannya. Sangat tidak logis, bila kemudian tanah seluas itu tidak akan menggusur bahkan membantai habis warga yang secara turun temurun dan adat menempati dan mengembangkan budaya serta kehidupannya di daerah itu.

Perilaku bejat itu, mematikan pula kekayaan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, diantara rumah adat mereka, aksesoris kebudayaan mereka, lingkungan kebudayaan mereka dan secara paksa mereka harus meninggalkan kebudayaan mereka karena harus tergusur dan berlawanan langsung dengan polisi yang bersenjatakan api-senjata hasil dari uang rakyat yang dipajaki negara.


Kerja Sistematis, Terstruktur dan Masif

SBY dengan kampanye dan program politiknya yang pro rakyat, pada kenyataannya dilapangan tidak seperti itu justru berbalik arah 180 derajat. Apa yang terjadi pada masyarakat adat berupa pembunuhan massal itu, yang terjadi dalam sebaran wilayah dihampir seluruh kawasan di Indonesia, melibatkan aparat, dan dikerjakan melalui kebijakan terpusat dari SBY yang kemudian diturunkan hingga di pemerintahan daerah.

Ini membuktikan bahwa kerja-kerja pembunuhan masyarakat adat bukanlah sekedar pekerjaan sambil lalu, tapi memang telah digarap secara sistematis, terstruktur dan masif-yang dalam perkara pilkada di MK ini sudah tergolong pelanggaran yang berakhir pada pilkada ulang.

Sistematis, karena dikerjakan dengan ada sebuah sistem berjalan yang di pandu dari awal melalui kebijakan pemerintah pusat hingga ke daerah tambang ataupun perkebunan. Terstruktur, karena melibatkan aktor-aktor yang berada pada struktur kekuasaan negara hingga daerah. Dan massif, karena terjadi merata disemua wilayah tambang dan perkebunan di wilayah Indonesia.

Pembunuhan yang sangat rapih, penuh intrik, mungkin licik, dan ini bisa digolongkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat (UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM), dimana telah melanggar hak hidup berdasarkan Pasal 18B UUD 45, UU No 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, dan UU No 11 tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

Lantas ini seakan terjadi pembiaran, tak ada langkah hukum terutama dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membawa persoalan ini pada ranah hukum sebagai sebuah pelanggaran HAM yang harus diadili di pengadilan Ad Hoc HAM?.  

Dahlan Iskan, Figur Presiden Rebutan Parpol PKS, Golkar dan Demokrat

Dahlan Iskan (DI), Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini menjadi figur yang paling kuat dicalonkan untuk menjadi Presiden periode 2014-2019. Nyentrik, itulah sosok DI yang suka tampil apa adanya, sederhana dan berbicara tanpa basa basi. Dia pula, satu-satunya menteri yang tak mau menerima gajinya dan lebih suka naik mobil pribadinya dibandingkan naik kendaraan resmi menteri BUMN yang milyaran harganya itu.

Sosok DI memang lagi naik daun, sangat disukai masyarakat. Dijejaring sosial pun sudah ramai perbincangan untuk mencalonkan dirinya menjadi Presiden RI. Maka tak aneh, jika partai sekelas Partai Golkar (PG), Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) curi start untuk menggadangnya menjadi figur yang paling cocok menjadi calon presiden.

PKS Ingin Pasangkan Dahlan dengan Luthfi, Nur Wahid atau Anis (sebuah judul berita di Detik.com). Keinginan PKS itu teramat kuat, kekaguman yang luar biasa ditunjukkan PKS sebagaimana di utarakan Wakil Ketua DPP PKS, Zulkieflimansyah kepada detikcom, Rabu (28/12/2011). Begitupun dengan PG, melalui Juru Bicara PG akan menyandingkan DI dengan Aburizal Bakrie dengan alasan kekuatan jawa dan luar jawa. DI dan Ical dianggap sebagai kekuatan dahyat dan saling melengkapi.

Tak mau ketinggalan, PD yang terseok-seok karena kehilangan figur calon presiden karena dirundung kasus korupsi, turut pula mengidolakan DI. Rencananya DI akan disandingkan dengan Hatta Radjasa dari PAN, sehingga DI akan menjadi usulan dari PD sebagai calon presiden 2014.


Partai Kehilangan Kader


Tidak aneh memang, partai politik mulai mencari calon presiden yang ideal buat mereka. Namun, dengan munculnya nama DI sebagai calon presiden menjadi hal yang sangat meragukan konsolidasi dan pengkaderan partai politik. Dapat dipastikan, partai politik tidak pernah melakukan pengkaderan yang mapan untuk menjaring calon dari kubu partai sendiri. Selain itu, partai tidak punya strategi matang dalam menyiapkan figur yang akan didudukkan menjadi presiden di 2014.


Ini sebuah kegagalan partai politik (parpol), artinya parpol telah mengalami kebuntuan politik dan kemalasan berfikir dan bergerak dalam menyiapkan kadernya sendiri. Selain itu, parpol di DPR terlalu asik menikmati kekuasaan sehingga sebagian besar tidak memfokuskan diri pada pencarian bibit unggul dari dalam partai sendiri.

Memang ini menjadi hal lumrah bagi parpol, tapi ini menjadi catatan penting bahwa parpol tidak bekerja secara politik. Strategi politik tidak terbangun secara baik, budaya politik pun belum dimiliki parpol dalam menciptakan kader yang mumpuni. Maka tak heran, tindakan politik praktis yang tercela selalu menjadi jalan utama parpol dalam mengusung calon dan meraih kemenangan, karena calon yang diusung tidak memiliki kekuatan politik dan kharismatik ketokohan di masyarakat yang pantas untuk menjadi presiden di 2014.

Selamat tinggal partai politik.
Diberdayakan oleh Blogger.