Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Menulis

Kiat Menulis Buku

Alternatif lain adalah pergi ke rental komputer. Murah..meriah. . paling cuma Rp. 2.000 /jam. Ga usah punya komputer atau mesin tik sendiri juga ga apa-2.
Yang paling penting punya impian untuk menjadi penulis dan berani mewujudkannya!

(Sharing pengalaman)
Seperti yg saya alami baru-2 ini, sekitar 4 bulan yang lalu tiba-2 terbersit keinginan untuk jadi penulis buku walau pun belum pernah punya pengalaman menulis sebelumnya.

Saya mencoba menulis sendiri naskah bukunya..... . Eh, ternyata 4 bulan kemudian atau satu hari lagi (8-8-2008 jam 08.08 malam) buku tulisan perdana saya (8 Langkah Ajaib menuju ke Langit) sudah launching di toko buku Gramedia Paris Van Java Bandung dan rencananya akan diliput oleh beberapa media massa sekaligus.
Bukunya belum terbit, tetapi pemesanan untuk buku tersebut sudah banyak dan dapat dipastikan akan menjadi bestseller. Diterbitkan oleh penerbit Andi, Jogja dan dicetak limited edition 8.888 exemplar.
Hal yang sepertinya saya pribadi masih sulit percaya, "seperti mimpi".

Di dalam buku itu memang saya tuangkan kiat-2 bagaimana menjadi penulis bestseller walau pun memiliki berbagai keterbatasan, termasuk tidak punya pengalaman menulis sama sekali.
Saya yakin buku itu akan banyak manfaat yang bisa didapat bila anda baca. Seperti komentar para endorsernya : Ginandjar Karta Sasmita (Ketua DPD RI), Djoko Santoso (Rektor ITB), Paulus Bambang WS (Vice President Director United Tractors) dan para motivator/penulis buku bestseller seperti Andrias Harefa, Andrew Ho, Ponijan Liaw, Bambang Trim, Her Suharyanto, Edy Zaqeus, Timotius Adi Tan, dll.

Salam

Victor Asih.

Menulis

Menulis Naskah Buku

Banyak teman saya juga menulis naskah buku tidak pernah selesai, sampai bertahun-tahun. ..
Problemnya sama...tidak bisa konsisten menulis...
Saya sarankan kepada mereka agar membaca buku "8 Langkah Ajaib Menuju ke Langit" terutama pada bagian "Behind the writing of this book" yang menceritakan perjalanan menulis buku tersebut dan menjadikannya bestseller. Bagian yang paling menarik dari buku ini menurut beberapa editor penerbitan.

Salam,

Victor.

--- Pada Rab, 6/8/08, Adi Respati <adihrespati@ yahoo.com> menulis:

Dari: Adi Respati <adihrespati@ yahoo.com>
Topik: Re: [penulislepas] Menjaga Api Semangat Menulis
Kepada: penulislepas@ yahoogroups. com
Tanggal: Rabu, 6 Agustus, 2008, 8:21 AM

Halo Mas (atau Pak?) Anwar

Ada, paling tidak, satu buku yang pernah saya baca yang saya pikir dapat memberikan penjelasan tentang dinamika mood seseorang yang menulis. Judulnya The Midnight Disease; penulisnya adalah Alice W. Flaherty. Flaherty menguraikan dinamika kreativitas dan writer's block secara umum terjadi, terutama pada penulis.

Yang menarik, buat saya, tentang The Midnight Disease adalah latar belakang penulisan buku tersebut. Flaherty adalah seorang neuroscientist. Setelah keguguran anak kembarnya, ia mengalami depresi akut dan mederita hypergraphia (gangguan saraf di mana seseorang sama sekali tidak bisa menghentikan dorongan menulisnya --Flaherty menulis di mana saja: di kertas kecil, dinding toilet, jas laboratorium yang sedang dipakinya, bahkan lengannya). Ironis bahwa, seorang ahli neuroscientist, akhirnya mengalami gangguan saraf, dan justru mendapatkan insight yang sangat kontributif terhadap keilmuannya.

Sebagai neuroscientist, tulisan Flaherty sangat biologis. Menurut saya, dengan juga mendapatkan gambaran proses biologis tingkahlaku kreativitas --termasuk, berarti, menulis-- kita dapat lebih maklum (bisa memahami tanpa perlu menyesali) kesulitan seseorang mempertahankan mood menulisnya. Terlebih lagi, kita bisa lebih memegang kontrol dalam, meminjam istilah Mas, menjaga api semangat menulis.

Selamat membaca,
Hormat saya

Adi Respati

----- Original Message ----
From: Anwar Holid
To: pegiatpendulum@ yahoogroups. com
Cc: buku-islam@yahoogro ups.com; cyberaki@yahoogroup s.com; diskusinovel@ yahoogroups. com; ruangbaca@yahoogrou ps.com; forum-studi- kebudayaan@ yahoogroups. com; indokarlmay@ yahoogroups. com; kontak_selasar@ yahoogroups. com; koran-sastra@ yahoogroups. com; panggung@yahoogroup s.com; pasarbuku@yahoogrou ps.com; penulisankreatif@ yahoogroups. com; penyair@yahoogroups .com; peradaban@yahoogrou ps.com; resensibuku@ yahoogroups. com; rumahbuku@yahoogrou ps.com; sastra-pembebasan@ yahoogroups. com; Tiziana@yahoogroups .com; mnemonic@yahoogroup s.com; urangsunda@yahoogro ups.com; klub-sastra@ yahoogroups. com; ultimus_bandung@ yahoogroups. com; penulislepas@ yahoogroups. com; Kampus_PR@yahoogrou ps.com; psikologi_transform atif@yahoogroups .com; rumahdunia@yahoogro ups.com; mediacare@yahoogrou ps.com; workshopbuku@ yahoogroups. com; Apresiasi-Sastra@ yahoogroups. com; jurnalisme@yahoogro ups.com; qanita@yahoogroups. com; artculture-indonesi a@yahoogroups.
com; Bibliophile_ GPU@yahoogroups. com;
Forum-Pembaca- Kompas@yahoogrou ps.com; crayoners@yahoogrou ps.com
Sent: Monday, July 28, 2008 6:33:18 AM
Subject: [penulislepas] Menjaga Api Semangat Menulis

Republika, Minggu, 27 Juli 2008

[Selisik]

Menjaga Api Semangat Menulis
------------ --------- -------
--Anwar Holid

FAKTA ini mungkin agak mengagetkan: beberapa blog teman saya ternyata tak di-up date sampai dua tahun. Ini membuat saya bertanya: ke mana semangat menulis mereka? Apa mereka ganti blog atau punya kesibukan luar biasa sampai lupa menulis? Salah seorang menjawab enteng: "Saya sudah malas mengisi blog lagi, mas." Wah, padahal tulisan dia jadi favorit sejumlah orang lho, termasuk di antaranya seorang kritikus yang menurut saya paling nyelekit senusantara. Posting kawan saya itu merupakan paduan antara kejujuran, humor, dan sinisme menyiasati kesulitan pilihan hidup. Jelas, orang yang malas menulis biasanya (sedang) kehilangan motif menulis.

Seminggu lalu saya menerima email dari kawan. Dia jujur bilang bahwa belakangan ini gairah menulisnya hilang, sulit konsentrasi menuntaskan draft novel yang sudah agak lama terlunta-lunta, gelisah tak punya "pekerjaan tetap," dan agak kehilangan orientasi karena mendadak kekasihnya dipanggil Tuhan. Dengan merasa ikut sedih, saya berusaha menghibur, kemungkinan besar dia sulit menemukan alasan kuat yang bisa bikin dirinya semangat, penuh motivasi. Saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan tetap penulis itu ya duduk menulis; bukan ngantor atau lainnya. Waktu ngobrol dengan Bagus Takwin, kami mendapati bahwa beberapa di antara kelemahan kita sebagai penulis ialah kita kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri, sulit mengelola kesempatan atau bikin skala prioritas. Akibatnya target tulisan gagal tercapai, dan dia frustrasi."

Bila blog lama terbengkalai, draft kisah tak kunjung selesai, bingung mau berbuat apa, itu merupakan tanda bahwa seorang penulis tengah kehilangan dorongan (motivasi) ataupun writer's block (halangan menulis.) Dia kehilangan api yang bisa memanaskan semangat berkarya. Sebagian penulis terhalang oleh kebingungan, lainnya bayang-bayang kesuksesan. Apa yang bisa diperbuat dalam keadaan seperti itu?

Dorongan (motif) menulis setiap orang lain-lain, dan itu harus sejak awal ditetapkan dengan jujur oleh dirinya sendiri. Ada orang menulis karena uang, ingin melampiaskan perasaan, mengungkapkan pikiran, bersaksi (membeberkan kejujuran), mengungkap informasi, bersenang-senang, menghibur, dan 101 motif lain. Tanpa motivasi seseorang bisa segera bosan menulis atau kehilangan alasan untuk melanjutkan keinginan menulis, apalagi jika suatu ketika dia bertemu masa sulit saat menulis---misalnya mengalami writer's block, kekecewaan hidup, atau karena subjek tulisannya sulit.

Dalam kasus blog, saya berprasangka, boleh jadi si blogger bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awal dia punya blog ialah ada media publikasi tulisan-tulisannya.

Dalam suatu wawancara, Jilly Cooper, seorang penulis novel populer & bestseller Inggris, berkata: "Saya hanya sedikit melakukan kerja rumah tangga, karena saya mengupah orang lain untuk melakukannya. Itulah salah satu alasan utama saya ingin menulis banyak buku." Dari sana terungkap bahwa maksud dia menulis ialah mendapat uang cukup biar dia tidak melakukan sesuatu yang kurang disukainya, yaitu pekerjaan rumah tangga. Menulis membuat dia superior karena bisa meminta orang memenuhi keinginannya.

Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang. Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."

Tapi sebagian orang menulis tanpa motif uang sama sekali. Anne Frank, Franz Kafka, Emily Dickinson, tidak menulis karena uang. Baru-baru ini Y.F. Nata, seorang suster, menerbitkan kumpulan puisi Cinta Itu Tidak Dosa sehabis mengalami kecelakaan lalu lintas parah, menyisakan tangan kanan sebagai anggota tubuh yang masih terbilang utuh. Dengan itu dia menulis, kadang-kadang bahkan lewat sms di HP. Dia menulis sebagai terapi mental. Orang-orang itu menulis murni untuk melampiaskan perasaan, menenangkan tekanan, menemukan pelepasan. Begitu juga dengan sejumlah blogger. Mereka menulis saja, baik untuk melatih menulis, mengungkapkan perasaan, memberi informasi, termasuk berbagi cerita.

MENJAGA api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.

Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong. Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat.

Satu hal, Horace Walpole mengingatkan bila seseorang menulis semata-mata karena uang. "Begitu orang menulis demi keuntungan, mereka biasanya jadi kurang peka." Uang memang bisa jadi motif yang besar, sebagaimana kata Mike Price. Dia bilang: "Lebih banyak orang punya bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi." Tapi di lain pihak, Maria Yudkin pernah bilang, dia menolak "menzinahi otak" agar bisa menulis. Apa itu "menzinahi otak"? Yakni memforsir sedemikian rupa agar otak (keinginan) sampai rela berbohong agar seseorang bisa menulis.

Bila sudah tahu motif menulis dan tahu cara menjaga api semangat terus menggerakkan tangan, mungkin orang bisa tetap antusias meski tulisannya diabaikan orang, atau bisa puas meski dibaca sendiri. Yang paling utama ialah berusaha sebaik mungkin menulis, bereksperimen, terus meningkatkan pencapaian. Dengan begitu dia kehabisan alasan untuk tidak meng-up date blog maupun berusaha lebih keras mencari cara menyelesaikan draft naskahnya.[]

ANWAR HOLID, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.
Blogger @ http://halamanganji l.blogspot. com

KONTAK: wartax@yahoo. com | (022) 2037348 - 08156140621 | Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: wartax@yahoo. com | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Puisi

hari hari tua

hari hari kian menua
mentari tua membakar ladang ladang dan tanah rengkah
mahoni dan angsana gundul mencium tanah
daun mengering dijilat terik jadi santapan ulat ulat serakah

pagi ini rerumputan pun menangis pasrah
butir butir embun enggan turun basahi kerontang segala penjuru
akankah airmata petani pun kian mengering menjemput asa

hari hari yang kian menua
sisakan jejak jejak tertatih petani tua
merindu tetes tetes bening basahi kerongkongan yang lekang
dan mata sayu menyisir gundukan tanah di ladang gersang
sisakan asa dan tanya yang semakin panjang
:
kapankah Sang Maha Pemurah kembali menyiram tanah leluhur ini
membiarkan kupu kupu menari diantara kelopak dan bunga sawi
memupus cerita gersang hari hari tua dalam sunyinya mati



jonggol, medio jun'03

Tips

Hindari 6 Pembunuh Karir Anda

6 hal itu tidak hanya akan menjadi perintang melainkan bahkan juga akan
membunuh karir Anda.

1. Bangga

Keberhasilan demi keberhasilan di tempat kerja membuat Anda merasa luar
biasa sehingga cenderung mengecilkan fakta bahwa itu semua tak lepas dari
dukungan atau pun asistensi orang-orang di sekitar Anda, dan khususnya
mereka yang berada di bawah Anda. Anda pun menjadi seorang yang egosentris,
dam lambat-laun --mungkin tanpa Anda sadari- mulai meremehkan dukungan orang
lain. Kebanggaan pada diri yang berlebihan akan mematikan semangat tim yang
hakikatnya dibangun dari bawah dan bisa mempercepat laju karir seseorang.
Merasa diri adalah bagian dari kesatuan sebuah tim, akan memberi sukses yang
berjangka panjang.

2. Iri Hati

Penghargaan kepada individu diberikan oleh perusahaan berdasarkan prestasi
yang dicapai oleh yang bersangkutan. Tapi, Anda selalu mempertanyakan, "Apa
dia pantas mendapatkannya? " dan lalu merasa, "Saya lebih pantas." Perasaan
seperti itu bisa merusak dan menjauhkan Anda dari kemampuan untuk fokus pada
tugas dan tanggung jawab yang ada di tangan Anda sendiri. Menjadi orang yang
selalu mencemburui orang lain di tempat kerja bisa menyabotase harga diri
Anda. Dan, harga diri adalah karakteristik penting dari setiap pekerja atau
pun eksekutif yang sukses. Daripada iri hati, lebih baik saling bergandeng
tangan bahu-membahu, dan itu bisa memotivasi kerja menuju sukses.

3. Marah

Kemarahan perlu dikontrol. Marah tidak memberi keuntungan apapun di tempat
kerja. Tak seorang pun akan terbantu kalau Anda marah. Sebaliknya, marah
hanya akan merusak reputasi dan citra Anda di mata teman, atasan maupun
bawahan. Boleh saja Anda tidak setuju dengan orang lain, dan berusaha untuk
melindungi kepentingan Anda akan sebuah pekerjaan atau proyek yang sedang
Anda tangani. Dan bagus kalau Anda merasa *passionate* pada tugas Anda.
Namun pelajarilah bagaimana menyalurkan emosi-emosi itu dalam aksi-aksi yang
akan menguntungkan Anda di mata orang lain, khususnya tentu di mata atasan.
Seorang yang mudah marah jarang sekali mendapatkan promosi kenaikan jabatan
karena dinilai akan sulit menginspirasi atau memotivasi orang lain.

4. Berpikir pendek

Selalu ingin "lebih" dan "segera" adalah hasrat yang mendasari setiap usaha
untuk mencapai tujuan-tujuan karir. Namun, menyalurkan hasrat itu secara
ekstrim, misalnya dengan "menghalalkan segala cara" akan merugikan diri
sendiri. Anda jadi kehilangan arah dan kehidupan Anda menjadi tidak
seimbang. Jalan menuju sukses menghendaki pendekatan jangka panjang dalam
semua aspek pekerjaan. Fokus pada kecepatan dan capaian-capaian jangka
pendek hanya baik untuk sesaat, dan ketika dihadapkan pada hal-hal di tahap
berikutnya, Anda tidak siap.

5. Mudah puas

Pada sisi lain, mudah puas dan kemalasan tidak memiliki tempat di dunia
kerja. Setelah berhasil mencapai satu tahap lalu berhenti dan berharap
capaian itu bisa mengantarkan ke sukses berikutnya dalam perjalanan karir
adalah mustahil. Lebih-lebih dalam iklim kompetitif dewasa ini, hanya mereka
yang terus berproses dan menindaklanjuti pertumbuhannya, dan senantiasai
memperbarui kontribusinya yang akan sukses.

6. Ketidakseimbangan

Sejumlah orang bergerak naik terlalu cepat dalam jenjang jabatan perusahaan
tapi kemudian berakhir dengan kegagalan. Segala yang berlebihan dan tidak
wajar tidaklah bagus --khususnya jika Anda tidak siap dengan tantangannya.
Penting untuk memastikan bahwa Anda tidak hanya siap secara profesional
untuk mengambil tantangan yang lebih besar, tapi juga kehidupan personal
juga mesti disiapkan untuk tuntutan-tuntutan baru tersebut. Mencapai sukses
karir sebaiknya tidak mengesampingkan keseimbangan hidup, dan hasrat
profesional yang "salah tempat" bisa menciptakan masalah di kemudian hari.
Sumber: www.portalhr. com

--
warm regards,
Made Teddy Artiana
photographer || graphic designer
mobile. 0815 740 900 80 - 0813 178 227 20
email. teddyartiana_ photography@ yahoo.com

# Wedding Photography #
http://prewedding3. multiply. com
http://prewedding2. multiply. com
http://prewedding. multiply. com
http://candidweddin g.multiply. com
http://weddingcandi d.multiply. com
http://weddingcerem ony.multiply. com

Photo Galery
# Commercial Photography #
http://companyprofi le.multiply. com
http://withbobsadin o.multiply. com

# Jurnalism Photography #
http://fotojalanan. multiply. com

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Musafir dan Mubazir

“Langkahkan kakimu untuk menjadi ulil albab”
~ Hartati Nurwijaya

Musafir berasal dari bahasa Arab artinya orang yang sedang melakukan perjalanan. Di wikipedia artinya traveler. Saya lebih senang memakai istilah pengelana. Musafir dalam basasa sehari-hari lebih identik dengan seorang pengelana miskin. Identik dengan seseorang yang sedang belajar dan menuntut ilmu. Itulah sebabnya dalam Islam dianjurkan membantu musafir.

Terkadang istilah musafir digunakan sebagai cara agar dapat bantuan dari orang lain. Musafir memang harus dibantu sebab dia melakukan perjalanan dalam rangka ibadah. Dia menjadi musafir bisa jadi karena ingin menuntut ilmu, mencari jawaban arti sesuatu, mencari obat untuk penyembuh, atu juga perjalanan dalam rangka menolong orang lain yang memerlukannya.

Itulah sebabnya istilah musafir diberikan pada seseorang secara tidak sembarangan. Jika saya boleh berpendapat musafir opposite dari pelancong (tourist). Karena pelancong mekakukan perjalanan niatnya untuk bersenang-senang. Dia pergi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sesuai teori Abraham Maslow. Pelancong pergi dengan membawa banyak bekal uang, sebab biasanya pelancong senang berbelanja juga.


Di Yunani setiap musim panas di berbagai media massa muncul iklan-iklan dari Bank. Iklan yang menawarkan pinjaman uang khusus untuk liburan. Biasanya setiap bulan Agustus terjadi liburan massal. Banyak kegiatan yang tutup antara lain; toko-toko, kantor swasta, sekolah umum, dan bahkan para pegawai mengambil cuti. Mereka yang senang menjadi pelancong, mengambil kesempatan tawaran Bank meminjam uang hanya sekedar untuk liburan.

Setelah liburan usai mulai lah datang tagihan rekening. Dimana-mana di seluruh dunia pinjaman Bank selalu membebankan bunga, bagi hasil atau istilah lainnya sebagai balas jasa Bank. Liburan yang dinikmati beberapa hari harus dibayar dengan tagihan bank berbulan-bulan, bahkan mungkin hingga bertahun-tahun. Suatu sikap yang mubazir!

Jika Anda ingin melakukan perjalanan sebaiknya jadilah musafir. Berkelana ke kota lain, atau mengunjungi sanak saudara. Katakan saja “Saya musafir!” sehingga sanak famili akan maklum dengan kondisi keuangan Anda.



NB: Tulisan ini hadiah buat Mas Badiyo



Hartati Nurwijaya in Megara - Greece
http://perkawinan-antarbangsa-loveshock.blogspot.com/
http://sumatra-bali-hartatinurwijaya.blogspot.com/

cerpen

Mengarang cerpen itu gampang! Benarkah?

Coba menjawab pertanyaan sederhana ini, aku sering menjadi bingung
dibuatnya. Seperti saat ini, duduk bertopang dahi, aku menghabiskan
waktu terpekur memikirkan jawabannya. Pening, kutatap 5 jari sebelah
tangan yang lain, dan bertanya, "Benarkah?"

Lalu tiba-tiba lima jari itu seperti hidup. Bergerak-gerak di luar
kendaliku seperti ingin bicara. Dan benar, sesaat kemudian Jempol di
tangan itu menegak dan bersuara,

"Sebagai ibu para jari, ijinkan aku bicara." Ia diam sesaat menarik
jeda, lalu menyambung ucapannya.

"Menurutku, benar. Mengarang cerpen itu gampang."

Kutatap sang jermpol dengan setengah rasa tak percaya.
"Gampang? Mengapa?"

"Seperti sosokku yang pendek, pada hakikatnya cerpen itu toh hanya
sebuah cerita yang pendek." Jawabnya santai.

"Tidak seperti novel, cerpen hanya berisi sepenggal peristiwa. Kau
bisa membuat cerpen tentang peristiwa yang hanya berlangsung sehari,
beberapa jam, atau bahkan yang hanya berlangsung beberapa menit.
Meskipun tentu saja, bisa pula satu cerpen berisi cerita yang
terentang dalam waktu lebih panjang."

"Berhari-hari? Setahun?" tanyaku menegaskan.

"Ya." Jawabnya.

"Tidak ada masalah dengan rentang waktu seperti itu. Karena dalam
kenyataannya sebuah konflik bisa berada dalam diri satu orang dalam
waktu yang panjang. Cerita cinta misalnya, bisa saja bercerita tentang
perasaan yang dipendam dan menemukan konklusi dalam sebuah peristiwa
yang terjadi bertahun-tahun kemudian. Yang penting bukan rentang
waktunya tapi peristiwanya yang akan kau ceritakanlah yang akan berupa
kisah yang pendek."

"Karena pendek maka menjadi gampang? Sesederhana itu?"

Aku coba mendebat sang jempol yang bergoyang-goyang, seperti seorang
kakek di kursi ayun.

"Kau kira cerpen itu tidak sederhana? Bangunan cerpen itu sederhana
bung!" Goyangannya mulai berhenti. Tampaknya ia mulai serius.

"Kau hanya butuh dua hal pokok, tokoh dan konflik. Ramu keduanya dalam
satu jalinan cerita dan jadilah sebuah cerpen." Ia berkata dengan nada
begitu yakin.

* * *

Tokoh dan konflik.

Hanya dua? Sesederhana itu? Gila! Lalu mengapa membuat sebuah cerpen
bisa terasa begitu sulit? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Aku
memandang sang Jempol yang seperti menertawakan kebimbanganku.

"Cerpen itu pendek, dan karenanya tidak seperti cerita yang panjang,
kau bisa mengambil tokohmu empat, tiga, dua, atau bahkan satu saja.
Begitu pula tokohmu bisa siapa saja, dan bahkan apa saja. Sebutir
tomat, tongkat kayu atau koteka pun bisa menjadi tokoh dalam
cerpenmu." Kuduga ia tersenyum saat mengatakan itu. Tapi tentu saja
sebuah jempol tak bisa tersenyum.

"Bahkan tokohmu tidak harus pula bernama, tidak harus kau ceritakan
latar belakangnya siapa, berapa umurnya, darimana asalnya,
pendidikannya. Tokoh dalam cerpen bisa tetap kuat tanpa memerlukan
segala tetek bengek seperti yang diperlukan tokoh dalam sebuah novel."

"Masak sih?"

"Lha iya," katanya, "Perlu apa menceritakan tetek bengek tak penting,
kalau konflikmu hanya tentang seorang lelaki yang bangun pagi, dan
pusing dengan sebuah pertanyaan, mengarang cerpen itu gampang atau tidak?"

Aku merengut kecut. Sebal juga jempolku sendiri menyindir begitu kepadaku.

"Aku setuju dengan sang jempol." Tiba-tiba jari telunjukku mulai
angkat bicara. Kulirik si Jempol mulai mengatup seakan memberi giliran
sahabat terdekatnya berurai kata.

"Aku jari yang paling aktif. Dalam pengalamanku, aku tahu begitu
banyak peristiwa sederhana yang bisa diceritakan manusia dalam
aktivitasnya. " Telunjuk itu berkata dengan suara yang tegas.

"Kupikir karena itulah membuat cerpen itu seharusnya menjadi sesuatu
yang gampang. Mengapa memikirkan thema yang berat-berat kalau kau bisa
menceritakan beribu peristiwa yang pernah dilakukan jari telunjukmu?
Kau bisa membuat seribu cerpen dengannya, atau bahkan sepuluh ribu
cerpen karena nyatanya detik-detik yang kau lalui sejatinya selalu
menghadirkan rentetan konflik dan cerita tersendiri."

Kupikir ada benarnya telunjukku itu. Tapi kubiarkan dulu ia
melanjutkan kata-katanya.

"Konflikmu pun tidak harus terurai dalam bentuk yang rumit. Perasaan
yang sesaat baik itu senang, gembira, kesal, marah, cinta, bimbang,
atau yang tengah bertanya-tanya sepertimu sudah bisa menjadi sebuah
konflik. Fenomena kecil yang kau jalani sehari-hari, atau yang dialami
orang di sekitarmu, pasti banyak menyimpan kisah yang unik." Telunjuk
itu melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat.

"Kalau bercerita thema besar?" Aku sendiri merasa itu pertanyaan
bodoh, tapi aku tak tahu lagi harus berkata apa untuk mendebatnya.

"Tentu saja tidak ada salahnya. Tapi soal itu tidak menjawab
pertanyaanmu kan?" Sial. Nada suara telunjuk itu terdengar seperti
mencemooh.

"Mengarang cerpen itu gampang. Itu yang harus kau yakini. Seperti kata
si Jempol tadi, yang kau butuhkan hanya dua hal pokok, tokoh dan
cerita. Dan keduanya terbentang begitu banyak di hadapanmu. Hakikat
cerpen juga hanyalah cerita dalam format yang pendek, sehingga itu
akan mempermudahmu saat membuatnya. Format yang pendek membuatmu
leluasa untuk bercerita tentang apa saja, yang sederhana-sederhana ,
yang singkat-singkat, yang kecil-kecil, dan membuatmu terbebas dari
aturan-aturan baku. Lupakan lima W-mu. Who, What, When, Where and Why
itu harusnya lau ganti menjadi 5 W yang baru, Wrong When Wright Won't
Write." Ia mengatakan kalimatnya dengan nada yang begitu yakin.

* * *

Tapi aku masih tidak dapat membimbing hatiku seyakin itu. Mataku
menatap jari jemariku mencari-cari jawaban yang lain. Dan tiba-tiba
kelingkingku bersuit nyaring.

"Sayangnya, membuat cerpen tak semudah itu, honey." Katanya dengan
genit. Kulirik sang telunjuk ingin melihat reaksinya. Ia kini saling
bertaut mengatup dengan sang jempol, seperti tengah berkasak-kusuk
berdua membhasa sanggahan si kelingking mungil..

"Dalam cerpen ada elemen seperti diriku. Kecil, mungil dan terkesan
tak berarti, tapi cobalah kau menggenggam tanpa menggunakan aku.
Genggamanmu tak akan kokoh apabila aku, jari yang terletak paling
dasar saat kau menegakkan telapak tanganmu itu, tidak kau ikut
sertakan." Suara kelingking mungil itu genit. Terkesan seperti nona
muda, kenes, tapi tegas.

"Begitupula dalam cerpen, ada hal-hal dasar yang harus kau sertakan
kalau kau mau cerpenmu menjadi kokoh."

"Hal dasar? Apalagi? Bukankah hal pokok hanya dua, tokoh dan cerita?"

Samar aku menangkap kelingkingku seperti mencibir. Mencibir?
Kugelengkan kepalaku. Tidak mungkin kelingking punya bibir.

"Bahasa." Jawabnya singkat. Tapi kata-kata selanjutnya tidak sesingkat
pada awalnya.

"Cerpen adalah seni yang dituliskan, dan itu menggunakan alat yang kau
sebut sebagai bahasa. Mungkin kau mengira, lalu apa yang sulit dengan
bahasa? Memang tidak sulit. Sehari-haripun kau berbahasa. Tapi menulis
cerpen bukan seperti kau bertukar kabar burung dengan tetangga."

"Menulis cerpen, engkau harus memperhatikan betul hal-hal dasar dalam
berbahasa. Penguasaan kata, kemampuan menyusunnya menjadi kalimat yang
benar secara kaidah, mungkin tak perlu mewah dalam keindahan tapi
paling tidak tepat dalam penyampaian pesan yang kau inginkan dalam
setiap kalimat. Pengarang akan hancur kalau menyusun katapun ia masih
amburadul." Nada suara kelingking itu tak lagi mungil. Ia seperti
wanita tua yang terus memberondongku dengan omelannya.

"Coba lihat Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer milikmu itu. Ada berapa
halaman di dalamnya? Seribu Tujuh Ratus Empat Puluh Sembilan! Tebak
berapa kata ada di dalamnya, kalau satu halaman punya 20 entri saja.
Tiga puluh empat ribu sembilan ratus delapan puluh kata. Berapa kata
yang kau kenal? Berapa yang kau kuasai benar? Yang kau tahu benar
maknanya apa, bagaimana penempatannya yang tepat, atau bagaimana beda
yang spesifik dengan kata-kata lain yang tampak seperti padanannya?
Setengahnyakah? Atau hanya sepersepuluhnya?

Kutekuk tubuh kelingkingku. Curiga, jangan-jangan ada tatto nama Gorys
Keraf di buku punggungnya. Rupanya ia tak suka dengan perlakuanku.
Merajuk ia terus menutup. Dan itu akhirnya memancing si jari manis
angkat bicara. Didahului dengan sebuah dehem, suaranya agak serak
berat saat berkata,

"Ehm... Maaf, aku harus setuju dengan sahabatku yang mungil. Maafkan
kekenesannya, tapi ia benar. Menulis cerpen tidaklah segampang yang
mungkin kau kira."

Aku menatap si jari manis. Mestinya ia bergelang cincin, tapi entah
cincin itu terbang kemana. Pegadaian mungkin. Lucunya ia menyinggung
hal itu dalam kalimatnya.

"Aku jari yang sering menjadi tempat orang meletakkan cincin ikatan."
Katanya perlahan.

"Saat kau memandang sebuah cincin tersemat di jari manis seorang
wanita, cincin itu memberikan sebuah kesan, dan sekaligus sebuah
pesan. Kesan ia sudah terikat, dan pesan kau jangan coba mengganggunya. "

"Begitupula dengan sebuah cerpen, ia harus memberikan kesan dan pesan.
Dan untuk bisa mengungkapkan itu, penulis cerpen mau tak mau harus
menguasai hal dasar yang dikatakan kelingking tadi."

Aku tertegun mendengar nada suara jari manis yang terkesan begitu
dewasa. Lebih enak menerimanya dibanding omelan kelingking mungil tadi.

"Benar apa yang dikatakan telunjuk, cerpenmu bisa bercerita apa saja.
Tapi sungguhpun begitu, tetap kau menulis cerpen bukanlah untuk dirimu
sendiri, tetapi untuk mereka yang di luar sana. Kau harus membuat
mereka terkesan dengan bahasamu, dengan gaya yang kau bentuk saat
merangkai kata demi kata. Tapi sekaligus kau harus mampu mengangkat
pesan yang menggelisahkan dirimu. Mungkin tidak seluruh pesan akan
terungkap, itu akan sangat tergantung dari kemampuan pembaca untuk
mengapresiasi, tapi paling tidak cerpenmu seharusnya mempunyai lapisan
terluar yang memberi satu pesan terbuka."

"Bagaimana kalau aku hanya ingin bersenda gurau?"

"Bahkan sebuah senda gurau." Jawabnya matang.

"Tapi bukankah menyedihkan kalau pesan humor yang kau selipkan hanya
menjadi lelucon basi dan tertangkap sebagai rasa menyebalkan? Merunut
paragraf demi paragraf, pesan demi pesan, dan meletakkan yang kuat
pada psosisinya yang benar akan membuat cerpenmu menjadi cerpen yang
berharga bagi pembaca. Sebaliknya, kekacauan yang kau buat akan
membuat pesanmu tercecer dan tumpang tindih satu dengan yang lainnya.
Dan cerpenmu hanya menjadi satu tulisan di antara jutaan sampah dunia."

"Jadi?"

"Membuat cerpen itu tidak gampang teman." Si jari manis berkata, lalu
mengakhirinya dengan anggukan sopan saat membungkuk menutup dirinya.

Tinggal aku tertegun semakin bingung.

Dua jari bersetuju, mengarang itu gampang, dan dua jari menolaknya.
Rasanya aku harus mencari jawaban aku pada jari yang tersisa. Yang
ganjil sering menawarkan kebenaran bukan?

Tapi jari tengah itu tak bicara apa-apa. Kutunggu lama, ia tetap diam
tak bersuara. Mengacung tegak di antara empat jari yang tertutup,
memberi pesan yang tegas tanpa kata-kata.

Alamak…!

Bogor, Agustus 2008
Sentaby,
DBaonk
Diberdayakan oleh Blogger.