Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

SBY Anti Kebebasan Informasi, Berekspresi dan Berpendapat

Kebebasan atas informasi, berekspresi dan berpendapat bukan hanya persoalan hak tapi juga kewajiban. Selama ini, perjuangan atas hak warga negara terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat telah tersalurkan dengan adanya peraturan yang terbilang cukup mewadahi, mulai dari Pasal 28 UUD 1945, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Perlindungan akan kebebasan itu telah terpenuhi oleh negara kepada warga negaranya.

Walaupun dalam catatan perjalanan, keberadaan kebebasan atas informasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat itu memenuhi berbagai rintangan. Diantaranya, tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik; mulai dari pelarangan akses terhadap informasi, perusakan alat peliputan, kekerasan saat meliput, hingga pada pembunuhan yang dilakukan terhadap wartawan.

Begitupun terhadap warga negara biasa, diantaranya mahasiswa, buruh, petani dan masyarakat adat. Sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi terutama dari aparat pengaman dalam melakukan aksinya. Tindakan aparat keamanan, mulai dari pelarangan melakukan demonstrasi, tindakan kekerasan terhadap pendemo, melakukan pembubaran paksa, pemukulan hingga penembakan yang berujung pada kematian.

Kebebasan juga terbatasi terhadap individu ketika menyampaikan pendapat melalui media. Individu sebagai narasumber, sering mengalami kekerasan mulai dari ancaman, pemukulan bahkan pembunuhan. Apa yang diungkapkan individu melalui media, termasuk jejaring sosial sering mendapati dirinya sebagai korban dari tindakan anti terhadap kebebasan menyebarkan informasi, berekspresi dan berpendapat.

Kewajiban Negara

Jika hak adalah kepemilikan dari warga negara untuk memperoleh informasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat, maka negara (baca : Pemerintahan SBY), juga memiliki kewajiban. Mungkin negara menganggap dengan memberikan kebebasan memperoleh informasi, berekspresi dan berpendapat maka pekerjaan negara telah tuntas. Padahal, negara memiliki kewajiban lebih besar dalam menerima, menyalurkan dan melaksanakan dari tindakan ekspresi dan pendapat warga negara.

Negara selalu abai dalam mewujudkan keinginan atau keresahan masyarakat. Dianggapnya, ketika memberikan kebebasan menyampaikan pendapat baik secara individu melalui media atau disampaikan langsung, ataupun melalui aksi demontrasi maka itu dianggap cukup dan sekedar ditampung saja. Kealpaan negara, adalah ketidak hadiran dalam mewujudkan apa yang telah disampaikan itu, yang berakibat pada terjadinya kerugian ataupun penderitaan berlarut-larut yang diderita masyarakat.

Apa yang terjadi di Sidoarjo (Jawa Timur), Timika (Papua), Mesuji (Lampung), Bima (NTB) dan masih banyak tempat lain di negeri ini adalah bentuk kealpaan negara dari ketidak mampuan ataupun sebenarnya karena kesengajaan yang dibuat-buat, untuk tidak melaksanakan kewajiban atas apa yang disuarakan rakyat tersebut. Kasus Sidoarjo, Timika, Mesuji dan Bima bukanlah kejadian yang langsung terjadi begitu saja pada waktu yang tertentu. Tapi, merupakan kejadian yang telah berlangsung lama, berlarut-larut dan tidak menemukan penyelesaian akibat tindakan acuh dari negara dalam memenuhi apa yang seharusnya menjadi hak dari warga negara. Hal ini berdampak pada, kehilangan rakyat atas hak mereka terhadap tanah, kehidupan, dan terenggutnya nyawa dari badan mereka. Sebuah harga yang sangat mahal, dari kelalaian negara mewujudkan kewajibannya!

Tidak hanya sampai disitu saja, kekerasan horisontal pun terjadi. Mulai dari Ambon, kasus Ahmadiyah, persoalan Geraja, tindakan Front Pembela Islam (FPI), kasus Poso dan kasus lainnya. Adalah sebuah ekspresi yang tidak segera diselesaikan secara cerdas, tapi dibiarkan berlarut-larut hingga mengakibatkan korban diantara masyarakat itu sendiri. Ini terjadi akibat ketidak pekaan negara untuk hadir sebagai penyelamat bagi rakyatnya sendiri.

Maka tak heran, bila Pong Harjatmo, artis senior Indonesia melakukan aksi coret di atap gedung DPR RI. Atau yang lebih ganas lagi, aksi bakar diri yang dilakukan Sondang Hutagalung dengan membakar dirinya di depan Istana Negara. Aksi-aksi ini dan beribu aksi mahasiswa, buruh, petani dan aktivis Hak Asasi manusia (HAM) di depan Istana Negara dan seluruh wilayah Indonesia, tak mendapat perhatian serius dari Negara.

SBY Pelanggar HAM

SBY sebagai perwujudan negara dan rakyat, yang hadir beserta bawaan kekuasaan Presiden Indonesia. Memiliki kewenangan luar biasa ditangannya untuk memenuhi kewajiban warga negaranya yang telah menyalurkan informasi dari bawah, melakukan aksi dan menyampaikan pendapat ternyata tidak digubris.

SBY tidak menjalankan kewajibannya, artinya melakukan pembiaran terhadap keresahan rakyat yang berujung pada kematian. Sungguh aneh memang, SBY seakan tak mau pusing akan derita rakyatnya padahal ia hadir atas keinginannya menjadi presiden itu untuk mengatasi segala persoalan kebangsaan ini, dengan kampanye politiknya “Pro Rakyat”.

Defenisi pembiaran atau pengabaian ini, termuat dalam point (a) Menimbang, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berbunyi, “bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun”.

Pengabaian itu dapat diganjar dengan Tindak Pelanggaran HAM mengenai Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 9 point (e) yang berbunyi, “perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional.”

Dan juga pada Pasal 9 point (h), berbunyi,
“penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional”.

Sehingga untuk membuktikan tindakan mengabaikan itu, Komnas HAM selaku penyelidik dapat melakukan penyelidikan atas fakta-fakta hukum yang terjadi yang satu dengan lainnya saling terkait. Karena, dilakukan secara masif, sistematis dan terstruktur untuk kemudian melimpahkannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku penyidik HAM untuk meneruskannya di Pengadilan HAM.

Komnas HAM bisa menjerat dengan ancaman hukuman, seperti diatur dalam Pasal 37, berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, dan j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”

Dan dalam Pasal 40, berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.”

Jadi, sebenarnya tinggal menunggu langkah inisiatif dari Komnas HAM untuk memproses hal ini ataukah memang Komnas HAM tidak punya nyali dan hanya berani berkoar-koar dan hanya beraksi sebatas penerbitan rekomendasi saja. Sebuah hal yang aneh!

Diberdayakan oleh Blogger.