Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

UKPM Unhas dan Hilangnya AD/ART

Sejarah tak selalu berkata benar, ada saja kepentingan yang menyelimutinya membuat suatu peristiwa yang pernah terjadi akan dipelintir ataupun sama sekali dihilangkan.




Siapapun dia, akan selalu hidup pada lingkup sejarah. Baik yang telah berlalu dan yang sementara terjadi, dan tidak dipungkiri sejarah akan hilang ketika dia hanya menjadi pembicaraan bibir saja dan hanya terdengar oleh telinga. Sejarah yang baik, ketika ia dituliskan dimanapun itu medianya dan seberapa getirpun peristiwa itu walaupun ternyata menceritakan kejadian yang sama-sama kita tidak inginkan atau pada akhirnya kita membencinya. Tapi itulah sejarah, sepahit apapun ketika berbicara tentang kebenaran haruslah dituliskan dan disampaikan kepada generasi selanjutnya agar tidak hilang oleh waktu.

Kebenaran sejarah memang tak selamanya menyenangkan, tapi apakah kebenaran akan sirna seiring dengan kebohongan-kebohongan yang selalu diceritakan dan menutupi kebenaran. Itu tak sepantasnya terjadi, sebab kebenaran selayaknya disuarakan sepedih apapun itu. Begitu pula yang terjadi pada Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UNHAS), ada kebenaran yang menurut penulis hilang begitu saja dan tergantikan dengan cerita-cerita yang tidak masuk diakal hanya untuk menutupi kebenaran yang ada.

Layaknya sebuah organisasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ADRT) adalah tiang utama sebuah rumah. Ketika dia hilang, maka sebenarnya organisasi itu ataupun rumah itu tak selayanknya lagi berdiri. Begitu pula dengan UKPM UNHAS sebagai organisasi pers mahasiswa selayaknya pula memiliki AD/ART, dan memang ini dimiliki UKPM UNHAS semenjak organisasi ini didirikan. Tapi ada peristiwa besar yang pernah terjadi, UKPM UNHAS kehilangan AD/ART-nya dan ia bagaikan rumah yang kehilangan tiang utama. Dan peristiwa tersebut seakan selalu disembunyikan, tidak pernah diceritakan walaupun pernah terjadi. Orang-orang yang selayaknya bertanggung jawab akan hilangnya AD/ART itu tidak mendapat hukuman yang setimpal, bahkan mendapat tempat layak dan selalu menceritakan ketidakbenaran.


Awal Cerita


Sejak berdirinya di tahun 1994, UKPM UNHAS selalu meninggalkan catatan sejarah yang menarik untuk didiskusikan. Catatan itu ada yang tertuang di Catatan Kaki ataupun yang berserakan dan tak dipungut lagi. Dan catatan yang coba dipungut dalam tulisan ini, adalah beban sejarah yang harus diceritakan dengan sebaik-baiknya dengan kejujuran tanpa ada kepentingan buruk didalamnya. Ataupun tidak sama sekali ingin mencuci nama buruk penulis - yang selalu dikonotasikan jelek dan berwatak bejat bagi catatan sejarah UKPM UNHAS yang tersebar sekarang ini – walaupun sebenarnya penulis tak seburuk cerita itu.

Cerita tentang UKPM UNHAS terlalu panjang untuk diceritakan secara keseluruhan dari awal berdirinya – mungkin ini akan mendorong kepada senior lainnya menuliskan sejarahnya di UKPM UNHAS walaupun itu pedih dan kurang menyenangkan, tapi kebenaran tetap harus dikatakan – sehingga penulis akan mencoba menuturkan mulai dari penulis menjadi ketua UKPM UNHAS – lagi-lagi penulis tekankan ini adalah catatan sejarah dan penulis tak mungkin menarik perkataannya kalau pernah mengatakan mengundurkan diri dari keanggotaan dan tidak dicatat dalam sejarah perjalanan UKPM UNHAS – hingga gonjang-ganjing hilangnya AD/ART dan peristiwa setelahnya yang menyelimutinya.

Sejak saya terpilih menjadi ketua UKPM UNHAS banyak persoalan yang telah terjadi di UKPM Unhas. Mulai dari keputusan kepengurusan Faisal Akbaruddin Taqwa di tahun kepengurusannya 2000-2001 menyatakan keluar dari keanggotaan di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), pada pelaksanaan kongres V PPMI yang dilaksanakan di Mataram – mungkin cerita keluarnya UKPM UNHAS dari PPMI ini akan saya ulas dalam tulisan sendiri. Ditambah lagi, Sulviany Suardi selaku ketua UKPM UNHAS pada periode kepengurusan 2001-2002 menyatakan keluar dari keanggotaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Makassar (PPMM) – mungkin mengenai ini akan diulas pada tulisan yang berkenaan pula dengan UKPM UNHAS dan PPMI – di tahun 2001. Padahal di tahun 2000 ketika PPMM dibentuk, UKPM UNHAS adalah salah satu pendiri dan pemain utama selama PPMM berjaya di Makassar.
Ya memang pedih, tapi itulah terjadi. UKPM UNHAS mengalami polemik internal yang sangat keras, mulai dari ketidakcocokan cara berfikir anggotanya hingga pada pilihan kebijakan yang harus dilakukan. Banyak persoalan internal yang harus dibenahi dan disusun ulang, mulai dari persoalan administrasi yang berantakan, Catatan Kaki yang terbit tidak secara berkala dan cenderung angin-anginan, mutu SDM UKPM UNHAS yang kurang, hingga jaringan UKPM UNHAS dengan lembaga pers mahasiswa yang ada di Makassar dan yang tersebar di seantero Indonesia terputus.

Terasa sangat berat namun itulah kenyataan yang terjadi. Tak berselang berapa lama, ketika saya terangkat menjadi ketua UKPM UNHAS di bulan Februari 2002 bertempat di Gedung Pertemuan Ilmiah datang undangan dari PPMI. Undangan itu berisi tentang ajakan untuk turut serta memeriahkan pelaksanaan Kongres VI PPMI yang dilaksanakan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dan saya menanggapi undangan itu secara serius dan berupaya mencari informasi ulang tentang PPMI mulai dari Bang Arkam Asikin selaku presidium pertama PPMI hingga Faisal Akbaruddin Taqwa yang menyatakan keluar dari PPMI.

Atas berbagai pertimbangan, termasuk dukungan dari Fauzan A. Mukrim yang waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UNHAS memberikan restu untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bertepatan pula dengan pelaksanaan kongres tersebut, dengan hanya berselang 1 (satu) minggu dilaksanakan pula Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang digawangi kawan-kawan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) HIMMAH Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Akhirnya saya memutuskan berangkat ke kegiatan tersebut, dengan alasan peningkatan mutu SDM UKPM UNHAS yang hampir 3 tahun tidak ada yang mengikuti kegiatan jurnalistik lanjutan. Selain itu, berupaya meluruskan sejarah dengan mencari cerita yang sebenarnya mengapa UKPM UNHAS keluar dari PPMI dari versi kawan-kawan pers mahasiswa di Jawa, Bali, dan Mataram.

Alhasil, dari mengikuti 2 (dua) rangkaian kegiatan tersebut walaupun dengan dana pribadi tanpa sepeserpun sumbangan dana dari UKPM UNHAS dan senior-senior membuahkan hasil positif. Akhirnya saya mendapat sertifikat Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang dilaksanakan selama 1 minggu dan menyatakan kembali bergabung dengan PPMI dan menjabat sebagai anggota Dewan Etik Nasional PPMI untuk kepengurusan 2002-2004 yang waktu itu Rijal Asep Nugroho sebagai Sekjen PPMI – alasan bergabung akan ditulis dalam tulisan sendiri mengenai UKPM UNHAS, PPMI dan PPMM – dan ketika kembali di Makassar kembali mengurusi UKPM UNHAS yang butuh penanganan serius.

Sebelum bergabung kembali dengan PPMI di bulan April 2002, UKPM UNHAS dibawah kepemimpinanku menyatakan kembali bergabung dengan PPMM di bulan Februari 2002. Tujuan untuk membangun kembali jaringan pers mahasiswa telah dirintis kembali dengan bergabung di PPMI dan PPMM, antusias pers mahasiswa di Makassar waktu itu terbilang sangat besar dan positif. Manfaatnya ternyata sangat banyak, UKPM UNHAS saya benahi dengan Nurdin Amir selaku Sekertaris dan Dewi selaku Bendahara dan kawan-kawan di UKPM UNHAS waktu itu sangat membantu – walaupun pada akhirnya ada juga yang berniat jelek – kami banyak belajar, terutama sharing pengalaman dalam mengelola lembaga pers mahasiswa.
Semangat perubahan tertiup dengan indahnya ke UKPM UNHAS waktu itu, Catatan Kaki yang sulit terbit berkala mulai menggeliat dengan terbitan per minggu. Tak ketinggalan pula Baca-Baca Berdiri yang dulunya tak terurus mulai terbit rutin setiap minggu terpampang di tembok tempat Tius – sang penjual Koran dan majalah mendagangkan dagangannya, yang sekarang dipindahkan di dinding dekat BRI Unhas – menjajakan korannya. Karena antusias anggota baru yang masuk terbilang besar saat itu dan butuh saluran tulisan yang bisa mewadahi mereka – anak baru itu diantarannya Irna, Indah, Mansyur Rahim dan almarhum jangkis, phio, serta kawan-kawan lainnya – maka dibuatlah media Baraya Tamalanrea Post (BT-Post) yang waktu itu merupakan Koran dinding yang terbit per 2 hari. BT Post ini di cetak dalam ukuran kertas A3 landscape dan di tempelkan disetiap fakultas, baik di dinding pengumuman ataupun nampang di dinding manapun walaupun itu ada larang di tempel di tempat itu. BT-Post ini hanya berumur setahun saja, karena pada pengurusan Haeruddin periode 2003-2004 tidak mengurusinya lagi dan mungkin tidak terbit lagi sampai sekarang. Padahal sangat bermanfaat buat mengasah kemampuan jurnalistik anggota baru.

Boleh dikatakan, dibawah kepengurusannku bersama kawan lainnya UKPM UNHAS mulai mengalami perubahan dan warna pers mahasiswa lebih kental dan mewarnai. Catatan Kaki mendapatkan tempatnya yang layak dengan terbit secara rutin, begitu pula dengan BBB dan BT-Post. SDM UKPM UNHAS dalam persoalan menulis mulai mendapat tempat, tidak lagi stagnan dan mulai meninggalkan jaringan organ gerakan yang pernah dibangun bersama AMPD (Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi – klo saya tidak salah begitu kepanjangannya, mungkin juga salah) Administrasi juga mulai dapat penanganan serius dari Nurdin Amir, cuma sedikit bermasalah pada penanganan dana sumbangan PT. Inco Tbk. untuk pembuatan radio Suaka FM – mungkin ini akan diulas tersendiri dalam tulisan “UKPM UNHAS dan terbakarnya radio Suaka FM” – dan buku-buku yang dulunya banyak dijadikan barang pribadi karena rasa memiliki dari senior-senior UKPM UNHAS juga sangat tinggi – tidak semua hanya beberapa yang menjadikannya hobi – mulai dikumpulkan dan tersusun rapi di UKPM UNHAS.

UKPM UNHAS mendapat pembenahan yang berarti, konflik antar senior sudah tidak menggejala lagi walau pengaruhnya masih kelihatan dan terkadang kental. Hingga pada akhirnya tiba pada akhir kepengurusan dan kami pengurus harus membuat laporan pertanggung jawaban untuk kami sodorkan pada forum Musyawarah Besar VIII UKPM UNHAS. Pertanggung jawaban kami diterima dengan syarat memperbaiki kembali laporan pertanggung jawaban itu – kalau tidak salah ingat di terima itu LP tapi bisa jadi waktu itu di Tolak, soalnya kurang di ingat lagi – dan mengantarkan pula Haeruddin menjadi ketua UKPM UNHAS periode 2003-2004.


Babakan Awal Hilangnya AD/ART UKPM UNHAS


UKPM UNHAS kembali kehilangan semangat dan warna pers mahasiswanya dan ini terjadi di kepengurusan Haeruddin – selanjutnya saya pake saja Udin, nama akrabnya bagi kami – dengan tidak terbitnya lagi Catatan Kaki secara rutin, BBB mulai tidak terurus, BT Post hilang bagai ditelan bumi, buku-buku UKPM UNHAS yang terkumpul dari senior-senior UKPM UNHAS yang merumahkannya mulai menghilang satu per satu, administrasi yang terbengkalai, menyatakan keluar dari keanggotaan PPMI dan PPMM, kondisi pengurus yang retak dan tidak sejalan lagi dan yang paling krusial hilangnya AD/ART UKPM UNHAS.

Yah itulah yang terjadi, dan itu adalah sejarah yang sebenarnya tanpa ada tendensi apapun menceritakannya kembali selain mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi untuk diketahui generasi UKPM UNHAS yang mulai kehilangan sejarah sekarang ini. Udin selaku ketua UKPM UNHAS kurang baik menjalankan kepengurusan dan UKPM UNHAS mulai menemukan titik nadir keretakannya kembali. Hal ini bukan dipengaruhi senior-senior akan konfliknya, tapi lebih pada manajemen dan profesionalisme mengurus lembaga. Tim pengurus di bawah kepemimpinan Udin mulai tidak searah lagi, ini ditandai dengan masuknya kembali anak-anak UKPM UNHAS untuk mengurusi AMPD. Dan ini digawangi Irna yang menjabat sekertaris di periode Udin, mulai kembali menggalang kekuatan AMPD yang pernah hidup di UKPM UNHAS.
Alhasil, sebagian besar anggota baru UKPM UNHAS tergiring masuk ke AMPD dan sedikit banyak mempengaruhi wajah UKPM UNHAS yang awalnya menjalankan profesionalisme pers mahasiswa berubah haluan menjadi organ gerakan. UKPM UNHAS hampir dipastikan penerbitan UKPM UNHAS tidak berjalan dengan terlihat Caka terbit secara berantakan dan akhirnya tidak terbit, administrasi mulai kacau balau dan UKPM UNHAS tinggal menunggu kematiannya saja.

Kondisi UKPM UNHAS yang mulai parah itu, dimana Udin tidak mengurusi UKPM UNHAS dengan baik – kalau penilaian pribadi saya cenderung ogah-ogahan mengurus UKPM UNHAS, karena Udin lebih konsentrasi mengurus Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) tempat dimana dia pernah jadi ketua juga dan aktivitas lainnya. Dan karena tidak memiliki orientasi dan idiologi pers mahasiswa yang matang – dan Irna beserta Indah yang menjabat bendahara kala itu turut pula mengurusi AMPD.

Akhirnya AD/ART UKPM UNHAS hilang, revisi AD/ART pada Mubes VIII UKPM UNHAS tidak diketik ulang dan disalin pengurus. Hard copy AD/ART entah dikemanakan pengurus waktu itu, sementara yang soft copy di komputer UKPM UNHAS hilang pula bersamaan hilangnya segala file PPMI yang sengaja saya taruh di komputer UKPM UNHAS untuk dibaca dan didiskusi kawan-kawan – jadi tidak benar kalau PPMI selama saya di UKPM UNHAS tidak pernah saya ceritakan, bahkan file PPMI di Makassar yang paling terlengkap mulai dari sejarah, AD/ART PPMI, GBHK, GBHO, dan Kode Etik PPMI itu berada di UKPM UNHAS dan hilang juga semua file itu. Dan pusat gerakan pers mahasiswa Makassar antara lain PPMI dan PPMM itu, UKPM UNHAS menjadi komandonya dibawah settingan yang saya buat namun karena Udin akhirnya menolak PPMI dan PPMM dengan alasan yang tidak idiologis hanya karena ketidakmauan atapun kemalasan mengurusi organ persma di Makassar dan Nasional. Akhirnya pusat gerakan pers mahasiswa di Makassar saya alihkan ke Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (LPMH-UH). Pendapat ini bisa dikroscek pada saudara dan kawan terbaik saya di UKPM UNHAS, Nurdin Amir.

Hilangnya AD/ART ini tidak pernah dibicarakan kepada pengurus dan Dewan Pers. Kondisi ini didiamkan Udin, Irna dan Indah yang merupakan pengurus inti, dan saya waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UNHAS juga tidak diberitahu akan kehilangan itu. Hal ini diketahui pada pelaksanaan Mubes IX UKPM UNHAS yang dilaksanakan di Ruang Forbes UKM Unhas dan di GPI Unhas. AD/ART yang disodorkan kepada forum Mubes IX UKPM UNHAS kala itu adalah AD/ART UKPM UNHAS perubahan yang dibuat tatkala Sulviany Suardi ketua, yakni pada pelaksanaan MUBES VII UKPM UNHAS. Jadi yang diajukan di forum MUBES itu adalah AD/ART yang tidak berlaku lagi. Atas desakan forum – waktu itu yang mempertanyakan pertama kali tentang keberadaan AD/ART adalah Ka Yoeyoe, moga saja kandaku satu ini selalu dilimpahkan rahmat oleh Allah SWT dan saya sangat rindu ingin bertemu lagi dan bercengkerama mengingat masa bersama di UKPM UNHAS – Udin, Irna dan Indah akhirnya mengaku kalau AD/ART itu raib entah kemana dan itu tidak dipaparkan secara terus terang di MUBES IX UKPM UNHAS.


Awal Pengunduran Diriku dari UKPM UNHAS



Kondisi MUBES IX UKPM UNHAS kala itu menjadi gaduh dan memanas. Hilangnya AD/ART UKPM UNHAS ini menandakan bahwa selama 1 tahun kepengurusan Udin turut pula menghilangkan kebaradaan organisasi. UKPM UNHAS tak mungkin ada kalau AD/ART juga tidak ada, dan kondisi itulah yang terjadi. Jadi apakah UKPM UNHAS masih dianggap ada kala itu kalau AD/ART hilang?.

Pada sesi pertanggung jawaban pengurus, Udin, Irna dan Indah selaku pengurus inti membacakan laporang pertanggung jawabannya. Pada sesi inilah AD/ART UKPM UNHAS dipertanyakan, dan hasil penuturan Irna hilangnya AD/ART bersamaan dengan rusaknya komputer UKPM UNHAS. Artinya ada upaya pengalihan kesalahan dengan melimpahkan pada komputer UKPM UNHAS yang kala itu memang selalu ngadat, tapi forum tidak mau terima akan hal itu. Jadi kekacauan MUBES kala itu tentang hilangnya AD/ART bukan pada sesi pembahasan AD/ART, tapi pada sesi Laporan Pertanggung Jawaban pengurus UKPM UNHAS periode 2003-2004.

AD/ART sebagai inventaris berharga di UKPM UNHAS telah hilang, dan sempat membuat MUBES IX UKPM UNHAS ditunda selama 1 X 24 jam untuk mencari keberadaan AD/ART. Waktu itu MUBES dilaksanakan di ruang Forbes UKM UH, tapi atas permintaan forum dipindahkan ke GPI Unhas. Tapi sampai waktu yang diberikan pengurus tidak menemukan AD/ART itu, dan pengurus tetap bersikukuh bahwa hilangnya AD/ART bukan atas kesalahan mereka.

Kala itu, saya sendiri seorang yang tetap bertahan kalau persoalan ini harus dipertanggungjawabkan pengurus. Hilangnya AD/ART berarti hilangnya UKPM UNHAS dan mulai sejak hilang UKPM UNHAS tak layak lagi disebut organisasi. Tapi di forum MUBES itu akhirnya cuma saya sendiri saja yang berpendapat seperti itu. Saya tetap meminta sidang untuk mengubah MUBES IX UKPM UNHAS menjadi MUBES Istimewa UKPM UNHAS karena ketiadaan AD/ART. Saya juga meminta pengurus inti untuk diberikan ganjaran hukuman atas kelalaian menghilangkan AD/ART itu, dan kalau bisa mereka bertiga (Udin, Irna dan Indah) dipecat dari keanggotaan di UKPM UNHAS.

Tapi karena saya saja sendiri kala itu yang tetap berpendapat seperti hal tersebut diatas dan kurang diindahkan oleh forum MUBES IX UKPM UNHAS, dan forum mengalami kebuntuan karena perdebatan yang tidak ada akhirnya. Forum tidak ingin mengubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UNHAS atas hilangnya AD/ART dan forum tetap bersikukuh melanjutkan sesi Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus saja.

Atas kondisi itulah, saya pada akhirnya memutuskan secara pribadi keluar dari forum MUBES IX UKPM UNHAS. Dan meminta pada forum untuk meninggalkan forum, dan sebagai catatan penting saya meminta pula pengunduran diri dari keanggotaan UKPM UNHAS dan tidak ingin dicatat dalam lembaran sejarah bahwa pernah menjadi Anggota, ketua UKPM UNHAS dan Koord. DP UKPM UNHAS serta segala embel-embel lainnya. Alasan saya tetap bertahan pada usulan hilangnya AD/ART UKPM UNHAS membuat MUBES IX UKPM UNHAS diubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UNHAS, tapi tidak diindahkan forum. Alasan ke dua, pengurus inti harus diadili seadil-adilnya atas kesalahan menghilangkan AD/ART dengan menghentikannya secara tidak hormat dari kepengurusan, dan kalau bisa dipecat dari UKPM UNHAS.

Begitu saya keluar dari forum MUBES IX UKPM UNHAS itu, bersamaan dengan kedatangan Ka Anwar SH yang mengusulkan harus diubah menjadi forum istemewa karena kondisi hilangnya AD/ART. Akhirnya MUBES IX UKPM UNHAS diubah menjadi MUBES Istimewa, tapi saya sudah tidak lagi di forum dan sudah menyatakan keluar dari keanggotaan UKPM UNHAS.
Pengurus inti itupun, pada pelaksanaan MUBES Istimewa hanya diberi ganjaran ditolak laporan pertanggung jawabannya. Tapi atas kesalahannya menghilangkan AD/ART tidak pernah diberikan hukuman, bahkan dengan bebasnya berkeliaran di UKPM UNHAS dan berupaya menutupi kesalahannya itu.

Makanya, jangan berharap akan menemukan AD/ART yang pernah hilang itu. Dan semenjak hilangnya AD/ART, saya berpendapat UKPM UNHAS juga telah hilang. Saya baru akan menganggap UKPM UNHAS itu ada kalau AD/ART yang dihilangkan Udin, Irna dan Indah itu ditemukan. Kekecewaan saya lebih memuncak lagi, ketika mendengar kalau dalam pelaksanaan MUBES Istimewa UKPM UNHAS kala itu, pengurus inti tidak digancar dengan hokum yang setimpal bahkan diberi tempat istimewa di UKPM UNHAS sebagai Dewan Pers UKPM UNHAS di masa kepengurusan Dedi, selaku ketua UKPM UNHAS di periode 2004-2005. Apakah pantas memberikan jabatan kepada orang yang memiliki kesalahan besar di UKPM UNHAS dengan menghilangkan AD/ART, dengan menjadi DP UKPM UNHAS yang nota bene memiliki kewenangan mengawasi dan mengontrol kepengurusan dan yang menjadi panutan dalam etika di UKPM UNHAS.


Tidak Ada Persoalan Pribadi



Isu santer yang terdengar di UKPM UNHAS pasca pengunduran diri saya dan kayaknya yang beredar sampai sekarang ini, bahwa saya keluar dari UKPM UNHAS karena persoalan pribadi yang sifatnya sangat emosional adanya adalah tidak betul. Itu hanya ditebarkan oleh orang-orang di UKPM UNHAS yang tidak bertanggung jawab dan hanya untuk mencoba menutupi kesalahan yang pernah dilakukanya.

Alasan yang mendasar mengapa saya keluar adalah karena pengurus menghilangkan AD/ART dan tidak diadili/diberi ganjaran atas kesalahan itu, AD/ART hilang berarti UKPM UNHAS juga hilang, dan kehilangan itu membuat saya tidak perlu lagi bertahan di UKPM UNHAS karena ternyata anggota UKPM UNHAS tidak menyikapi hilangnya AD/ART secara serius. Jadi kalau ada isu/gossip yang menyatakan saya punya masalah dengan beberapa orang di UKPM UNHAS secara personal dan emosional itu tidak betul adanya, yang ada adalah perasaan kesal dan marah kepada orang-orang yang telah menghilangkan AD/ART. Perasaan kesal dan marah itu bukan dalam kapasitas personal, tapi dalam kapasitas sebagai bagian dari UKPM UNHAS. Sebagai anggota, dengan kapasitas jabatan yang saya pegang saat itu sebagai KOordinator DP UKPM UNHAS. Salahkan saya kemudian ketika marah dan kesal berdasarkan kapasitas jabatan saya terhadap pengurus yang menghilangkan AD/ART.

Rasa marah dan kesal itu memang sangat memuncak sekali kala itu, dan bagi orang yang tidak mengerti dan tidak memahami cara berfikirku kala itu. Melihatnya kemarahanku itu cenderung personal menyerang pribadi seseorang, padahal tidak. Saya menyerang pengurus dalam kapasitas sebagai orang yang memiliki tanggung jawab mengurusi UKPM UNHAS dengan baik. Dan tidak ada masalah pribadi didalamnya, apalagi membenci mereka secara personal tapi lebih membenci mereka dalam kapasitas tidak mampu menjalankan tanggung jawab sebagai pengurus UKPM UNHAS yang harus menjaga baik-baik AD/ART.

NB :
- saya tidak akan menjilat ludah sendiri. Apa yang pernah saya katakan di Mubes IX UKPM UNHAS dengan mengatakan keluar dari keanggotaan dan jabatan selama saya menjadi pengurus dianggap tidak pernah dan tidak perlu dicatat dalam lembaran sejarah UKPM UNHAS.
- Dan saya meminta kepada pengurus yang membaca tulisan ini, harap segera menghapus nama saya dalam UKPM UNHAS
- Adapun tulisan ini hanya sekedar menceritakan kebenaran dengan apa adanya tanpa kepentingan apapun juga. Selain meluruskan persoalan yang pernah terjadi dan akan mempengaruhi UKPM UNHAS ke depan.

UKPM UH dan Hilangnya AD/ART

Sejarah tak selalu berkata benar, ada saja kepentingan yang menyelimutinya membuat suatu peristiwa yang pernah terjadi akan dipelintir ataupun sama sekali dihilangkan.

Siapapun dia, akan selalu hidup pada lingkup sejarah. Baik yang telah berlalu dan yang sementara terjadi, dan tidak dipungkiri sejarah akan hilang ketika dia hanya menjadi pembicaraan bibir saja dan hanya terdengar oleh telinga. Sejarah yang baik, ketika ia dituliskan dimanapun itu medianya dan seberapa getirpun peristiwa itu walaupun ternyata menceritakan kejadian yang sama-sama kita tidak inginkan atau pada akhirnya kita membencinya. Tapi itulah sejarah, sepahit apapun ketika berbicara tentang kebenaran haruslah dituliskan dan disampaikan kepada generasi selanjutnya agar tidak hilang oleh waktu.

Kebenaran sejarah memang tak selamanya menyenangkan, tapi apakah kebenaran akan sirna seiring dengan kebohongan-kebohongan yang selalu diceritakan dan menutupi kebenaran. Itu tak sepantasnya terjadi, sebab kebenaran selayaknya disuarakan sepedih apapun itu. Begitu pula yang terjadi pada Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UH), ada kebenaran yang menurut penulis hilang begitu saja dan tergantikan dengan cerita-cerita yang tidak masuk diakal hanya untuk menutupi kebenaran yang ada.

Layaknya sebuah organisasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ADRT) adalah tiang utama sebuah rumah. Ketika dia hilang, maka sebenarnya organisasi itu ataupun rumah itu tak selayanknya lagi berdiri. Begitu pula dengan UKPM UH sebagai organisasi pers mahasiswa selayaknya pula memiliki AD/ART, dan memang ini dimiliki UKPM UH semenjak organisasi ini didirikan. Tapi ada peristiwa besar yang pernah terjadi, UKPM UH kehilangan AD/ART-nya dan ia bagaikan rumah yang kehilangan tiang utama. Dan peristiwa tersebut seakan selalu disembunyikan, tidak pernah diceritakan walaupun pernah terjadi. Orang-orang yang selayaknya bertanggung jawab akan hilangnya AD/ART itu tidak mendapat hukuman yang setimpal, bahkan mendapat tempat layak dan selalu menceritakan ketidakbenaran.

Awal Cerita

Sejak berdirinya di tahun 1994, UKPM UH selalu meninggalkan catatan sejarah yang menarik untuk didiskusikan. Catatan itu ada yang tertuang di Catatan Kaki ataupun yang berserakan dan tak dipungut lagi. Dan catatan yang coba dipungut dalam tulisan ini, adalah beban sejarah yang harus diceritakan dengan sebaik-baiknya dengan kejujuran tanpa ada kepentingan buruk didalamnya. Ataupun tidak sama sekali ingin mencuci nama buruk penulis - yang selalu dikonotasikan jelek dan berwatak bejat bagi catatan sejarah UKPM UH yang tersebar sekarang ini – walaupun sebenarnya penulis tak seburuk cerita itu.

Cerita tentang UKPM UH terlalu panjang untuk diceritakan secara keseluruhan dari awal berdirinya – mungkin ini akan mendorong kepada senior lainnya menuliskan sejarahnya di UKPM UH walaupun itu pedih dan kurang menyenangkan, tapi kebenaran tetap harus dikatakan – sehingga penulis akan mencoba menuturkan mulai dari penulis menjadi ketua UKPM UH – lagi-lagi penulis tekankan ini adalah catatan sejarah dan penulis tak mungkin menarik perkataannya kalau pernah mengatakan mengundurkan diri dari keanggotaan dan tidak dicatat dalam sejarah perjalanan UKPM UH – hingga gonjang-ganjing hilangnya AD/ART dan peristiwa setelahnya yang menyelimutinya.

Sejak saya terpilih menjadi ketua UKPM UH banyak persoalan yang telah terjadi di UKPM UH. Mulai dari keputusan kepengurusan Faisal Akbaruddin Taqwa di tahun kepengurusannya 2000-2001 menyatakan keluar dari keanggotaan di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), pada pelaksanaan kongres V PPMI yang dilaksanakan di Mataram – mungkin cerita keluarnya UKPM UH dari PPMI ini akan saya ulas dalam tulisan sendiri. Ditambah lagi, Sulviany Suardi selaku ketua UKPM UH pada periode kepengurusan 2001-2002 menyatakan keluar dari keanggotaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Makassar (PPMM) – mungkin mengenai ini akan diulas pada tulisan yang berkenaan pula dengan UKPM UH dan PPMI – di tahun 2001. Padahal di tahun 2000 ketika PPMM dibentuk, UKPM UH adalah salah satu pendiri dan pemain utama selama PPMM berjaya di Makassar.

Ya memang pedih, tapi itulah terjadi. UKPM UH mengalami polemik internal yang sangat keras, mulai dari ketidakcocokan cara berfikir anggotanya hingga pada pilihan kebijakan yang harus dilakukan. Banyak persoalan internal yang harus dibenahi dan disusun ulang, mulai dari persoalan administrasi yang berantakan, Catatan Kaki yang terbit tidak secara berkala dan cenderung angin-anginan, mutu SDM UKPM UH yang kurang, hingga jaringan UKPM UH dengan lembaga pers mahasiswa yang ada di Makassar dan yang tersebar di seantero Indonesia terputus.

Terasa sangat berat namun itulah kenyataan yang terjadi. Tak berselang berapa lama, ketika saya terangkat menjadi ketua UKPM UH di bulan Februari 2002 bertempat di Gedung Pertemuan Ilmiah datang undangan dari PPMI. Undangan itu berisi tentang ajakan untuk turut serta memeriahkan pelaksanaan Kongres VI PPMI yang dilaksanakan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dan saya menanggapi undangan itu secara serius dan berupaya mencari informasi ulang tentang PPMI mulai dari Bang Arkam Asikin selaku presidium pertama PPMI hingga Faisal Akbaruddin Taqwa yang menyatakan keluar dari PPMI.

Atas berbagai pertimbangan, termasuk dukungan dari Fauzan A. Mukrim yang waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UH memberikan restu untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bertepatan pula dengan pelaksanaan kongres tersebut, dengan hanya berselang 1 (satu) minggu dilaksanakan pula Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang digawangi kawan-kawan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) HIMMAH Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Akhirnya saya memutuskan berangkat ke kegiatan tersebut, dengan alasan peningkatan mutu SDM UKPM UH yang hampir 3 tahun tidak ada yang mengikuti kegiatan jurnalistik lanjutan. Selain itu, berupaya meluruskan sejarah dengan mencari cerita yang sebenarnya mengapa UKPM UH keluar dari PPMI dari versi kawan-kawan pers mahasiswa di Jawa, Bali, dan Mataram.

Alhasil, dari mengikuti 2 (dua) rangkaian kegiatan tersebut walaupun dengan dana pribadi tanpa sepeserpun sumbangan dana dari UKPM UH dan senior-senior membuahkan hasil positif. Akhirnya saya mendapat sertifikat Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang dilaksanakan selama 1 minggu dan menyatakan kembali bergabung dengan PPMI dan menjabat sebagai anggota Dewan Etik Nasional PPMI untuk kepengurusan 2002-2004 yang waktu itu Rijal Asep Nugroho sebagai Sekjen PPMI – alasan bergabung akan ditulis dalam tulisan sendiri mengenai UKPM UH, PPMI dan PPMM – dan ketika kembali di Makassar kembali mengurusi UKPM UH yang butuh penanganan serius.

Sebelum bergabung kembali dengan PPMI di bulan April 2002, UKPM UH dibawah kepemimpinanku menyatakan kembali bergabung dengan PPMM di bulan Februari 2002. Tujuan untuk membangun kembali jaringan pers mahasiswa telah dirintis kembali dengan bergabung di PPMI dan PPMM, antusias pers mahasiswa di Makassar waktu itu terbilang sangat besar dan positif. Manfaatnya ternyata sangat banyak, UKPM UH saya benahi dengan Nurdin Amir selaku Sekertaris dan Dewi selaku Bendahara dan kawan-kawan di UKPM UH waktu itu sangat membantu – walaupun pada akhirnya ada juga yang berniat jelek – kami banyak belajar, terutama sharing pengalaman dalam mengelola lembaga pers mahasiswa.

Semangat perubahan tertiup dengan indahnya ke UKPM UH waktu itu, Catatan Kaki yang sulit terbit berkala mulai menggeliat dengan terbitan per minggu. Tak ketinggalan pula Baca-Baca Berdiri yang dulunya tak terurus mulai terbit rutin setiap minggu terpampang di tembok tempat Tius – sang penjual Koran dan majalah mendagangkan dagangannya, yang sekarang dipindahkan di dinding dekat BRI Unhas – menjajakan korannya. Karena antusias anggota baru yang masuk terbilang besar saat itu dan butuh saluran tulisan yang bisa mewadahi mereka – anak baru itu diantarannya Irna, Indah, Mansyur Rahim dan almarhum jangkis, phio, serta kawan-kawan lainnya – maka dibuatlah media Baraya Tamalanrea Post (BT-Post) yang waktu itu merupakan Koran dinding yang terbit per 2 hari. BT Post ini di cetak dalam ukuran kertas A3 landscape dan di tempelkan disetiap fakultas, baik di dinding pengumuman ataupun nampang di dinding manapun walaupun itu ada larang di tempel di tempat itu. BT-Post ini hanya berumur setahun saja, karena pada pengurusan Haeruddin periode 2003-2004 tidak mengurusinya lagi dan mungkin tidak terbit lagi sampai sekarang. Padahal sangat bermanfaat buat mengasah kemampuan jurnalistik anggota baru.

Boleh dikatakan, dibawah kepengurusannku bersama kawan lainnya UKPM UH mulai mengalami perubahan dan warna pers mahasiswa lebih kental dan mewarnai. Catatan Kaki mendapatkan tempatnya yang layak dengan terbit secara rutin, begitu pula dengan BBB dan BT-Post. SDM UKPM UH dalam persoalan menulis mulai mendapat tempat, tidak lagi stagnan dan mulai meninggalkan jaringan organ gerakan yang pernah dibangun bersama AMPD (Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi – klo saya tidak salah begitu kepanjangannya, mungkin juga salah) Administrasi juga mulai dapat penanganan serius dari Nurdin Amir, cuma sedikit bermasalah pada penanganan dana sumbangan PT. Inco Tbk. untuk pembuatan radio Suaka FM – mungkin ini akan diulas tersendiri dalam tulisan “UKPM UH dan terbakarnya radio Suaka FM” – dan buku-buku yang dulunya banyak dijadikan barang pribadi karena rasa memiliki dari senior-senior UKPM UH juga sangat tinggi – tidak semua hanya beberapa yang menjadikannya hobi – mulai dikumpulkan dan tersusun rapi di UKPM UH.

UKPM UH mendapat pembenahan yang berarti, konflik antar senior sudah tidak menggejala lagi walau pengaruhnya masih kelihatan dan terkadang kental. Hingga pada akhirnya tiba pada akhir kepengurusan dan kami pengurus harus membuat laporan pertanggung jawaban untuk kami sodorkan pada forum Musyawarah Besar VIII UKPM UH. Pertanggung jawaban kami diterima dengan syarat memperbaiki kembali laporan pertanggung jawaban itu – kalau tidak salah ingat di terima itu LP tapi bisa jadi waktu itu di Tolak, soalnya kurang di ingat lagi – dan mengantarkan pula Haeruddin menjadi ketua UKPM UH periode 2003-2004.

Babakan Awal Hilangnya AD/ART UKPM UH

UKPM UH kembali kehilangan semangat dan warna pers mahasiswanya dan ini terjadi di kepengurusan Haeruddin – selanjutnya saya pake saja Udin, nama akrabnya bagi kami – dengan tidak terbitnya lagi Catatan Kaki secara rutin, BBB mulai tidak terurus, BT Post hilang bagai ditelan bumi, buku-buku UKPM UH yang terkumpul dari senior-senior UKPM UH yang merumahkannya mulai menghilang satu per satu, administrasi yang terbengkalai, menyatakan keluar dari keanggotaan PPMI dan PPMM, kondisi pengurus yang retak dan tidak sejalan lagi dan yang paling krusial hilangnya AD/ART UKPM UH.

Yah itulah yang terjadi, dan itu adalah sejarah yang sebenarnya tanpa ada tendensi apapun menceritakannya kembali selain mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi untuk diketahui generasi UKPM UH yang mulai kehilangan sejarah sekarang ini. Udin selaku ketua UKPM UH kurang baik menjalankan kepengurusan dan UKPM UH mulai menemukan titik nadir keretakannya kembali. Hal ini bukan dipengaruhi senior-senior akan konfliknya, tapi lebih pada manajemen dan profesionalisme mengurus lembaga. Tim pengurus di bawah kepemimpinan Udin mulai tidak searah lagi, ini ditandai dengan masuknya kembali anak-anak UKPM UH untuk mengurusi AMPD. Dan ini digawangi Irna yang menjabat sekertaris di periode Udin, mulai kembali menggalang kekuatan AMPD yang pernah hidup di UKPM UH.

Alhasil, sebagian besar anggota baru UKPM UH tergiring masuk ke AMPD dan sedikit banyak mempengaruhi wajah UKPM UH yang awalnya menjalankan profesionalisme pers mahasiswa berubah haluan menjadi organ gerakan. UKPM UH hampir dipastikan penerbitan UKPM UH tidak berjalan dengan terlihat Caka terbit secara berantakan dan akhirnya tidak terbit, administrasi mulai kacau balau dan UKPM UH tinggal menunggu kematiannya saja.

Kondisi UKPM UH yang mulai parah itu, dimana Udin tidak mengurusi UKPM UH dengan baik – kalau penilaian pribadi saya cenderung ogah-ogahan mengurus UKPM UH, karena Udin lebih konsentrasi mengurus Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) tempat dimana dia pernah jadi ketua juga dan aktivitas lainnya. Dan karena tidak memiliki orientasi dan idiologi pers mahasiswa yang matang – dan Irna beserta Indah yang menjabat bendahara kala itu turut pula mengurusi AMPD.

Akhirnya AD/ART UKPM UH hilang, revisi AD/ART pada Mubes VIII UKPM UH tidak diketik ulang dan disalin pengurus. Hard copy AD/ART entah dikemanakan pengurus waktu itu, sementara yang soft copy di komputer UKPM UH hilang pula bersamaan hilangnya segala file PPMI yang sengaja saya taruh di komputer UKPM UH untuk dibaca dan didiskusi kawan-kawan – jadi tidak benar kalau PPMI selama saya di UKPM UH tidak pernah saya ceritakan, bahkan file PPMI di Makassar yang paling terlengkap mulai dari sejarah, AD/ART PPMI, GBHK, GBHO, dan Kode Etik PPMI itu berada di UKPM UH dan hilang juga semua file itu. Dan pusat gerakan pers mahasiswa Makassar antara lain PPMI dan PPMM itu, UKPM UH menjadi komandonya dibawah settingan yang saya buat namun karena Udin akhirnya menolak PPMI dan PPMM dengan alasan yang tidak idiologis hanya karena ketidakmauan atapun kemalasan mengurusi organ persma di Makassar dan Nasional. Akhirnya pusat gerakan pers mahasiswa di Makassar saya alihkan ke Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (LPMH-UH). Pendapat ini bisa dikroscek pada saudara dan kawan terbaik saya di UKPM UH, Nurdin Amir.

Hilangnya AD/ART ini tidak pernah dibicarakan kepada pengurus dan Dewan Pers. Kondisi ini didiamkan Udin, Irna dan Indah yang merupakan pengurus inti, dan saya waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UH juga tidak diberitahu akan kehilangan itu. Hal ini diketahui pada pelaksanaan Mubes IX UKPM UH yang dilaksanakan di Ruang Forbes UKM Unhas dan di GPI Unhas. AD/ART yang disodorkan kepada forum Mubes IX UKPM UH kala itu adalah AD/ART UKPM UH perubahan yang dibuat tatkala Sulviany Suardi ketua, yakni pada pelaksanaan MUBES VII UKPM UH. Jadi yang diajukan di forum MUBES itu adalah AD/ART yang tidak berlaku lagi. Atas desakan forum – waktu itu yang mempertanyakan pertama kali tentang keberadaan AD/ART adalah Ka Yoeyoe, moga saja kandaku satu ini selalu dilimpahkan rahmat oleh Allah SWT dan saya sangat rindu ingin bertemu lagi dan bercengkerama mengingat masa bersama di UKPM UH – Udin, Irna dan Indah akhirnya mengaku kalau AD/ART itu raib entah kemana dan itu tidak dipaparkan secara terus terang di MUBES IX UKPM UH.

Awal Pengunduran Diriku dari UKPM UH

Kondisi MUBES IX UKPM UH kala itu menjadi gaduh dan memanas. Hilangnya AD/ART UKPM UH ini menandakan bahwa selama 1 tahun kepengurusan Udin turut pula menghilangkan kebaradaan organisasi. UKPM UH tak mungkin ada kalau AD/ART juga tidak ada, dan kondisi itulah yang terjadi. Jadi apakah UKPM UH masih dianggap ada kala itu kalau AD/ART hilang?.

Pada sesi pertanggung jawaban pengurus, Udin, Irna dan Indah selaku pengurus inti membacakan laporang pertanggung jawabannya. Pada sesi inilah AD/ART UKPM UH dipertanyakan, dan hasil penuturan Irna hilangnya AD/ART bersamaan dengan rusaknya komputer UKPM UH. Artinya ada upaya pengalihan kesalahan dengan melimpahkan pada komputer UKPM UH yang kala itu memang selalu ngadat, tapi forum tidak mau terima akan hal itu. Jadi kekacauan MUBES kala itu tentang hilangnya AD/ART bukan pada sesi pembahasan AD/ART, tapi pada sesi Laporan Pertanggung Jawaban pengurus UKPM UH periode 2003-2004.

AD/ART sebagai inventaris berharga di UKPM UH telah hilang, dan sempat membuat MUBES IX UKPM UH ditunda selama 1 X 24 jam untuk mencari keberadaan AD/ART. Waktu itu MUBES dilaksanakan di ruang Forbes UKM UH, tapi atas permintaan forum dipindahkan ke GPI Unhas. Tapi sampai waktu yang diberikan pengurus tidak menemukan AD/ART itu, dan pengurus tetap bersikukuh bahwa hilangnya AD/ART bukan atas kesalahan mereka.

Kala itu, saya sendiri seorang yang tetap bertahan kalau persoalan ini harus dipertanggungjawabkan pengurus. Hilangnya AD/ART berarti hilangnya UKPM UH dan mulai sejak hilang UKPM UH tak layak lagi disebut organisasi. Tapi di forum MUBES itu akhirnya cuma saya sendiri saja yang berpendapat seperti itu. Saya tetap meminta sidang untuk mengubah MUBES IX UKPM UH menjadi MUBES Istimewa UKPM UH karena ketiadaan AD/ART. Saya juga meminta pengurus inti untuk diberikan ganjaran hukuman atas kelalaian menghilangkan AD/ART itu, dan kalau bisa mereka bertiga (Udin, Irna dan Indah) dipecat dari keanggotaan di UKPM UH.

Tapi karena saya saja sendiri kala itu yang tetap berpendapat seperti hal tersebut diatas dan kurang diindahkan oleh forum MUBES IX UKPM UH, dan forum mengalami kebuntuan karena perdebatan yang tidak ada akhirnya. Forum tidak ingin mengubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UH atas hilangnya AD/ART dan forum tetap bersikukuh melanjutkan sesi Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus saja.

Atas kondisi itulah, saya pada akhirnya memutuskan secara pribadi keluar dari forum MUBES IX UKPM UH. Dan meminta pada forum untuk meninggalkan forum, dan sebagai catatan penting saya meminta pula pengunduran diri dari keanggotaan UKPM UH dan tidak ingin dicatat dalam lembaran sejarah bahwa pernah menjadi Anggota, ketua UKPM UH dan Koord. DP UKPM UH serta segala embel-embel lainnya. Alasan saya tetap bertahan pada usulan hilangnya AD/ART UKPM UH membuat MUBES IX UKPM UH diubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UH, tapi tidak diindahkan forum. Alasan ke dua, pengurus inti harus diadili seadil-adilnya atas kesalahan menghilangkan AD/ART dengan menghentikannya secara tidak hormat dari kepengurusan, dan kalau bisa dipecat dari UKPM UH.

Begitu saya keluar dari forum MUBES IX UKPM UH itu, bersamaan dengan kedatangan Ka Anwar SH yang mengusulkan harus diubah menjadi forum istemewa karena kondisi hilangnya AD/ART. Akhirnya MUBES IX UKPM UH diubah menjadi MUBES Istimewa, tapi saya sudah tidak lagi di forum dan sudah menyatakan keluar dari keanggotaan UKPM UH.

Pengurus inti itupun, pada pelaksanaan MUBES Istimewa hanya diberi ganjaran ditolak laporan pertanggung jawabannya. Tapi atas kesalahannya menghilangkan AD/ART tidak pernah diberikan hukuman, bahkan dengan bebasnya berkeliaran di UKPM UH dan berupaya menutupi kesalahannya itu.

Makanya, jangan berharap akan menemukan AD/ART yang pernah hilang itu. Dan semenjak hilangnya AD/ART, saya berpendapat UKPM UH juga telah hilang. Saya baru akan menganggap UKPM UH itu ada kalau AD/ART yang dihilangkan Udin, Irna dan Indah itu ditemukan. Kekecewaan saya lebih memuncak lagi, ketika mendengar kalau dalam pelaksanaan MUBES Istimewa UKPM UH kala itu, pengurus inti tidak digancar dengan hokum yang setimpal bahkan diberi tempat istimewa di UKPM UH sebagai Dewan Pers UKPM UH di masa kepengurusan Dedi, selaku ketua UKPM UH di periode 2004-2005. Apakah pantas memberikan jabatan kepada orang yang memiliki kesalahan besar di UKPM UH dengan menghilangkan AD/ART, dengan menjadi DP UKPM UH yang nota bene memiliki kewenangan mengawasi dan mengontrol kepengurusan dan yang menjadi panutan dalam etika di UKPM UH.

Tidak Ada Persoalan Pribadi

Isu santer yang terdengar di UKPM UH pasca pengunduran diri saya dan kayaknya yang beredar sampai sekarang ini, bahwa saya keluar dari UKPM UH karena persoalan pribadi yang sifatnya sangat emosional adanya adalah tidak betul. Itu hanya ditebarkan oleh orang-orang di UKPM UH yang tidak bertanggung jawab dan hanya untuk mencoba menutupi kesalahan yang pernah dilakukanya.

Alasan yang mendasar mengapa saya keluar adalah karena pengurus menghilangkan AD/ART dan tidak diadili/diberi ganjaran atas kesalahan itu, AD/ART hilang berarti UKPM UH juga hilang, dan kehilangan itu membuat saya tidak perlu lagi bertahan di UKPM UH karena ternyata anggota UKPM UH tidak menyikapi hilangnya AD/ART secara serius. Jadi kalau ada isu/gossip yang menyatakan saya punya masalah dengan beberapa orang di UKPM UH secara personal dan emosional itu tidak betul adanya, yang ada adalah perasaan kesal dan marah kepada orang-orang yang telah menghilangkan AD/ART. Perasaan kesal dan marah itu bukan dalam kapasitas personal, tapi dalam kapasitas sebagai bagian dari UKPM UH. Sebagai anggota, dengan kapasitas jabatan yang saya pegang saat itu sebagai KOordinator DP UKPM UH. Salahkan saya kemudian ketika marah dan kesal berdasarkan kapasitas jabatan saya terhadap pengurus yang menghilangkan AD/ART.

Rasa marah dan kesal itu memang sangat memuncak sekali kala itu, dan bagi orang yang tidak mengerti dan tidak memahami cara berfikirku kala itu. Melihatnya kemarahanku itu cenderung personal menyerang pribadi seseorang, padahal tidak. Saya menyerang pengurus dalam kapasitas sebagai orang yang memiliki tanggung jawab mengurusi UKPM UH dengan baik. Dan tidak ada masalah pribadi didalamnya, apalagi membenci mereka secara personal tapi lebih membenci mereka dalam kapasitas tidak mampu menjalankan tanggung jawab sebagai pengurus UKPM UH yang harus menjaga baik-baik AD/ART.

NB :

- saya tidak akan menjilat ludah sendiri. Apa yang pernah saya katakan di Mubes IX UKPM UH dengan mengatakan keluar dari keanggotaan dan jabatan selama saya menjadi pengurus dianggap tidak pernah dan tidak perlu dicatat dalam lembaran sejarah UKPM UH.

- Dan saya meminta kepada pengurus yang membaca tulisan ini, harap segera menghapus nama saya dalam UKPM UH

- Adapun tulisan ini hanya sekedar menceritakan kebenaran dengan apa adanya tanpa kepentingan apapun juga. Selain meluruskan persoalan yang pernah terjadi dan akan mempengaruhi UKPM UH ke depan.

UKPM UH dan Hilangnya AD/ART

Sejarah tak selalu berkata benar, ada saja kepentingan yang menyelimutinya membuat suatu peristiwa yang pernah terjadi akan dipelintir ataupun sama sekali dihilangkan.

Siapapun dia, akan selalu hidup pada lingkup sejarah. Baik yang telah berlalu dan yang sementara terjadi, dan tidak dipungkiri sejarah akan hilang ketika dia hanya menjadi pembicaraan bibir saja dan hanya terdengar oleh telinga. Sejarah yang baik, ketika ia dituliskan dimanapun itu medianya dan seberapa getirpun peristiwa itu walaupun ternyata menceritakan kejadian yang sama-sama kita tidak inginkan atau pada akhirnya kita membencinya. Tapi itulah sejarah, sepahit apapun ketika berbicara tentang kebenaran haruslah dituliskan dan disampaikan kepada generasi selanjutnya agar tidak hilang oleh waktu.

Kebenaran sejarah memang tak selamanya menyenangkan, tapi apakah kebenaran akan sirna seiring dengan kebohongan-kebohongan yang selalu diceritakan dan menutupi kebenaran. Itu tak sepantasnya terjadi, sebab kebenaran selayaknya disuarakan sepedih apapun itu. Begitu pula yang terjadi pada Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin (UKPM UH), ada kebenaran yang menurut penulis hilang begitu saja dan tergantikan dengan cerita-cerita yang tidak masuk diakal hanya untuk menutupi kebenaran yang ada.

Layaknya sebuah organisasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ADRT) adalah tiang utama sebuah rumah. Ketika dia hilang, maka sebenarnya organisasi itu ataupun rumah itu tak selayanknya lagi berdiri. Begitu pula dengan UKPM UH sebagai organisasi pers mahasiswa selayaknya pula memiliki AD/ART, dan memang ini dimiliki UKPM UH semenjak organisasi ini didirikan. Tapi ada peristiwa besar yang pernah terjadi, UKPM UH kehilangan AD/ART-nya dan ia bagaikan rumah yang kehilangan tiang utama. Dan peristiwa tersebut seakan selalu disembunyikan, tidak pernah diceritakan walaupun pernah terjadi. Orang-orang yang selayaknya bertanggung jawab akan hilangnya AD/ART itu tidak mendapat hukuman yang setimpal, bahkan mendapat tempat layak dan selalu menceritakan ketidakbenaran.

Awal Cerita

Sejak berdirinya di tahun 1994, UKPM UH selalu meninggalkan catatan sejarah yang menarik untuk didiskusikan. Catatan itu ada yang tertuang di Catatan Kaki ataupun yang berserakan dan tak dipungut lagi. Dan catatan yang coba dipungut dalam tulisan ini, adalah beban sejarah yang harus diceritakan dengan sebaik-baiknya dengan kejujuran tanpa ada kepentingan buruk didalamnya. Ataupun tidak sama sekali ingin mencuci nama buruk penulis - yang selalu dikonotasikan jelek dan berwatak bejat bagi catatan sejarah UKPM UH yang tersebar sekarang ini – walaupun sebenarnya penulis tak seburuk cerita itu.

Cerita tentang UKPM UH terlalu panjang untuk diceritakan secara keseluruhan dari awal berdirinya – mungkin ini akan mendorong kepada senior lainnya menuliskan sejarahnya di UKPM UH walaupun itu pedih dan kurang menyenangkan, tapi kebenaran tetap harus dikatakan – sehingga penulis akan mencoba menuturkan mulai dari penulis menjadi ketua UKPM UH – lagi-lagi penulis tekankan ini adalah catatan sejarah dan penulis tak mungkin menarik perkataannya kalau pernah mengatakan mengundurkan diri dari keanggotaan dan tidak dicatat dalam sejarah perjalanan UKPM UH – hingga gonjang-ganjing hilangnya AD/ART dan peristiwa setelahnya yang menyelimutinya.

Sejak saya terpilih menjadi ketua UKPM UH banyak persoalan yang telah terjadi di UKPM UH. Mulai dari keputusan kepengurusan Faisal Akbaruddin Taqwa di tahun kepengurusannya 2000-2001 menyatakan keluar dari keanggotaan di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), pada pelaksanaan kongres V PPMI yang dilaksanakan di Mataram – mungkin cerita keluarnya UKPM UH dari PPMI ini akan saya ulas dalam tulisan sendiri. Ditambah lagi, Sulviany Suardi selaku ketua UKPM UH pada periode kepengurusan 2001-2002 menyatakan keluar dari keanggotaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Makassar (PPMM) – mungkin mengenai ini akan diulas pada tulisan yang berkenaan pula dengan UKPM UH dan PPMI – di tahun 2001. Padahal di tahun 2000 ketika PPMM dibentuk, UKPM UH adalah salah satu pendiri dan pemain utama selama PPMM berjaya di Makassar.

Ya memang pedih, tapi itulah terjadi. UKPM UH mengalami polemik internal yang sangat keras, mulai dari ketidakcocokan cara berfikir anggotanya hingga pada pilihan kebijakan yang harus dilakukan. Banyak persoalan internal yang harus dibenahi dan disusun ulang, mulai dari persoalan administrasi yang berantakan, Catatan Kaki yang terbit tidak secara berkala dan cenderung angin-anginan, mutu SDM UKPM UH yang kurang, hingga jaringan UKPM UH dengan lembaga pers mahasiswa yang ada di Makassar dan yang tersebar di seantero Indonesia terputus.

Terasa sangat berat namun itulah kenyataan yang terjadi. Tak berselang berapa lama, ketika saya terangkat menjadi ketua UKPM UH di bulan Februari 2002 bertempat di Gedung Pertemuan Ilmiah datang undangan dari PPMI. Undangan itu berisi tentang ajakan untuk turut serta memeriahkan pelaksanaan Kongres VI PPMI yang dilaksanakan di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dan saya menanggapi undangan itu secara serius dan berupaya mencari informasi ulang tentang PPMI mulai dari Bang Arkam Asikin selaku presidium pertama PPMI hingga Faisal Akbaruddin Taqwa yang menyatakan keluar dari PPMI.

Atas berbagai pertimbangan, termasuk dukungan dari Fauzan A. Mukrim yang waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UH memberikan restu untuk mengikuti kegiatan tersebut. Bertepatan pula dengan pelaksanaan kongres tersebut, dengan hanya berselang 1 (satu) minggu dilaksanakan pula Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang digawangi kawan-kawan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) HIMMAH Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Akhirnya saya memutuskan berangkat ke kegiatan tersebut, dengan alasan peningkatan mutu SDM UKPM UH yang hampir 3 tahun tidak ada yang mengikuti kegiatan jurnalistik lanjutan. Selain itu, berupaya meluruskan sejarah dengan mencari cerita yang sebenarnya mengapa UKPM UH keluar dari PPMI dari versi kawan-kawan pers mahasiswa di Jawa, Bali, dan Mataram.

Alhasil, dari mengikuti 2 (dua) rangkaian kegiatan tersebut walaupun dengan dana pribadi tanpa sepeserpun sumbangan dana dari UKPM UH dan senior-senior membuahkan hasil positif. Akhirnya saya mendapat sertifikat Workshop Nasional Manajemen Perusahaan Pers Mahasiswa yang dilaksanakan selama 1 minggu dan menyatakan kembali bergabung dengan PPMI dan menjabat sebagai anggota Dewan Etik Nasional PPMI untuk kepengurusan 2002-2004 yang waktu itu Rijal Asep Nugroho sebagai Sekjen PPMI – alasan bergabung akan ditulis dalam tulisan sendiri mengenai UKPM UH, PPMI dan PPMM – dan ketika kembali di Makassar kembali mengurusi UKPM UH yang butuh penanganan serius.

Sebelum bergabung kembali dengan PPMI di bulan April 2002, UKPM UH dibawah kepemimpinanku menyatakan kembali bergabung dengan PPMM di bulan Februari 2002. Tujuan untuk membangun kembali jaringan pers mahasiswa telah dirintis kembali dengan bergabung di PPMI dan PPMM, antusias pers mahasiswa di Makassar waktu itu terbilang sangat besar dan positif. Manfaatnya ternyata sangat banyak, UKPM UH saya benahi dengan Nurdin Amir selaku Sekertaris dan Dewi selaku Bendahara dan kawan-kawan di UKPM UH waktu itu sangat membantu – walaupun pada akhirnya ada juga yang berniat jelek – kami banyak belajar, terutama sharing pengalaman dalam mengelola lembaga pers mahasiswa.

Semangat perubahan tertiup dengan indahnya ke UKPM UH waktu itu, Catatan Kaki yang sulit terbit berkala mulai menggeliat dengan terbitan per minggu. Tak ketinggalan pula Baca-Baca Berdiri yang dulunya tak terurus mulai terbit rutin setiap minggu terpampang di tembok tempat Tius – sang penjual Koran dan majalah mendagangkan dagangannya, yang sekarang dipindahkan di dinding dekat BRI Unhas – menjajakan korannya. Karena antusias anggota baru yang masuk terbilang besar saat itu dan butuh saluran tulisan yang bisa mewadahi mereka – anak baru itu diantarannya Irna, Indah, Mansyur Rahim dan almarhum jangkis, phio, serta kawan-kawan lainnya – maka dibuatlah media Baraya Tamalanrea Post (BT-Post) yang waktu itu merupakan Koran dinding yang terbit per 2 hari. BT Post ini di cetak dalam ukuran kertas A3 landscape dan di tempelkan disetiap fakultas, baik di dinding pengumuman ataupun nampang di dinding manapun walaupun itu ada larang di tempel di tempat itu. BT-Post ini hanya berumur setahun saja, karena pada pengurusan Haeruddin periode 2003-2004 tidak mengurusinya lagi dan mungkin tidak terbit lagi sampai sekarang. Padahal sangat bermanfaat buat mengasah kemampuan jurnalistik anggota baru.

Boleh dikatakan, dibawah kepengurusannku bersama kawan lainnya UKPM UH mulai mengalami perubahan dan warna pers mahasiswa lebih kental dan mewarnai. Catatan Kaki mendapatkan tempatnya yang layak dengan terbit secara rutin, begitu pula dengan BBB dan BT-Post. SDM UKPM UH dalam persoalan menulis mulai mendapat tempat, tidak lagi stagnan dan mulai meninggalkan jaringan organ gerakan yang pernah dibangun bersama AMPD (Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi – klo saya tidak salah begitu kepanjangannya, mungkin juga salah) Administrasi juga mulai dapat penanganan serius dari Nurdin Amir, cuma sedikit bermasalah pada penanganan dana sumbangan PT. Inco Tbk. untuk pembuatan radio Suaka FM – mungkin ini akan diulas tersendiri dalam tulisan “UKPM UH dan terbakarnya radio Suaka FM” – dan buku-buku yang dulunya banyak dijadikan barang pribadi karena rasa memiliki dari senior-senior UKPM UH juga sangat tinggi – tidak semua hanya beberapa yang menjadikannya hobi – mulai dikumpulkan dan tersusun rapi di UKPM UH.

UKPM UH mendapat pembenahan yang berarti, konflik antar senior sudah tidak menggejala lagi walau pengaruhnya masih kelihatan dan terkadang kental. Hingga pada akhirnya tiba pada akhir kepengurusan dan kami pengurus harus membuat laporan pertanggung jawaban untuk kami sodorkan pada forum Musyawarah Besar VIII UKPM UH. Pertanggung jawaban kami diterima dengan syarat memperbaiki kembali laporan pertanggung jawaban itu – kalau tidak salah ingat di terima itu LP tapi bisa jadi waktu itu di Tolak, soalnya kurang di ingat lagi – dan mengantarkan pula Haeruddin menjadi ketua UKPM UH periode 2003-2004.

Babakan Awal Hilangnya AD/ART UKPM UH

UKPM UH kembali kehilangan semangat dan warna pers mahasiswanya dan ini terjadi di kepengurusan Haeruddin – selanjutnya saya pake saja Udin, nama akrabnya bagi kami – dengan tidak terbitnya lagi Catatan Kaki secara rutin, BBB mulai tidak terurus, BT Post hilang bagai ditelan bumi, buku-buku UKPM UH yang terkumpul dari senior-senior UKPM UH yang merumahkannya mulai menghilang satu per satu, administrasi yang terbengkalai, menyatakan keluar dari keanggotaan PPMI dan PPMM, kondisi pengurus yang retak dan tidak sejalan lagi dan yang paling krusial hilangnya AD/ART UKPM UH.

Yah itulah yang terjadi, dan itu adalah sejarah yang sebenarnya tanpa ada tendensi apapun menceritakannya kembali selain mencoba menjelaskan yang sebenarnya terjadi untuk diketahui generasi UKPM UH yang mulai kehilangan sejarah sekarang ini. Udin selaku ketua UKPM UH kurang baik menjalankan kepengurusan dan UKPM UH mulai menemukan titik nadir keretakannya kembali. Hal ini bukan dipengaruhi senior-senior akan konfliknya, tapi lebih pada manajemen dan profesionalisme mengurus lembaga. Tim pengurus di bawah kepemimpinan Udin mulai tidak searah lagi, ini ditandai dengan masuknya kembali anak-anak UKPM UH untuk mengurusi AMPD. Dan ini digawangi Irna yang menjabat sekertaris di periode Udin, mulai kembali menggalang kekuatan AMPD yang pernah hidup di UKPM UH.

Alhasil, sebagian besar anggota baru UKPM UH tergiring masuk ke AMPD dan sedikit banyak mempengaruhi wajah UKPM UH yang awalnya menjalankan profesionalisme pers mahasiswa berubah haluan menjadi organ gerakan. UKPM UH hampir dipastikan penerbitan UKPM UH tidak berjalan dengan terlihat Caka terbit secara berantakan dan akhirnya tidak terbit, administrasi mulai kacau balau dan UKPM UH tinggal menunggu kematiannya saja.

Kondisi UKPM UH yang mulai parah itu, dimana Udin tidak mengurusi UKPM UH dengan baik – kalau penilaian pribadi saya cenderung ogah-ogahan mengurus UKPM UH, karena Udin lebih konsentrasi mengurus Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMAHI) tempat dimana dia pernah jadi ketua juga dan aktivitas lainnya. Dan karena tidak memiliki orientasi dan idiologi pers mahasiswa yang matang – dan Irna beserta Indah yang menjabat bendahara kala itu turut pula mengurusi AMPD.

Akhirnya AD/ART UKPM UH hilang, revisi AD/ART pada Mubes VIII UKPM UH tidak diketik ulang dan disalin pengurus. Hard copy AD/ART entah dikemanakan pengurus waktu itu, sementara yang soft copy di komputer UKPM UH hilang pula bersamaan hilangnya segala file PPMI yang sengaja saya taruh di komputer UKPM UH untuk dibaca dan didiskusi kawan-kawan – jadi tidak benar kalau PPMI selama saya di UKPM UH tidak pernah saya ceritakan, bahkan file PPMI di Makassar yang paling terlengkap mulai dari sejarah, AD/ART PPMI, GBHK, GBHO, dan Kode Etik PPMI itu berada di UKPM UH dan hilang juga semua file itu. Dan pusat gerakan pers mahasiswa Makassar antara lain PPMI dan PPMM itu, UKPM UH menjadi komandonya dibawah settingan yang saya buat namun karena Udin akhirnya menolak PPMI dan PPMM dengan alasan yang tidak idiologis hanya karena ketidakmauan atapun kemalasan mengurusi organ persma di Makassar dan Nasional. Akhirnya pusat gerakan pers mahasiswa di Makassar saya alihkan ke Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin (LPMH-UH). Pendapat ini bisa dikroscek pada saudara dan kawan terbaik saya di UKPM UH, Nurdin Amir.

Hilangnya AD/ART ini tidak pernah dibicarakan kepada pengurus dan Dewan Pers. Kondisi ini didiamkan Udin, Irna dan Indah yang merupakan pengurus inti, dan saya waktu itu menjabat Koordinator Dewan Pers UKPM UH juga tidak diberitahu akan kehilangan itu. Hal ini diketahui pada pelaksanaan Mubes IX UKPM UH yang dilaksanakan di Ruang Forbes UKM Unhas dan di GPI Unhas. AD/ART yang disodorkan kepada forum Mubes IX UKPM UH kala itu adalah AD/ART UKPM UH perubahan yang dibuat tatkala Sulviany Suardi ketua, yakni pada pelaksanaan MUBES VII UKPM UH. Jadi yang diajukan di forum MUBES itu adalah AD/ART yang tidak berlaku lagi. Atas desakan forum – waktu itu yang mempertanyakan pertama kali tentang keberadaan AD/ART adalah Ka Yoeyoe, moga saja kandaku satu ini selalu dilimpahkan rahmat oleh Allah SWT dan saya sangat rindu ingin bertemu lagi dan bercengkerama mengingat masa bersama di UKPM UH – Udin, Irna dan Indah akhirnya mengaku kalau AD/ART itu raib entah kemana dan itu tidak dipaparkan secara terus terang di MUBES IX UKPM UH.

Awal Pengunduran Diriku dari UKPM UH

Kondisi MUBES IX UKPM UH kala itu menjadi gaduh dan memanas. Hilangnya AD/ART UKPM UH ini menandakan bahwa selama 1 tahun kepengurusan Udin turut pula menghilangkan kebaradaan organisasi. UKPM UH tak mungkin ada kalau AD/ART juga tidak ada, dan kondisi itulah yang terjadi. Jadi apakah UKPM UH masih dianggap ada kala itu kalau AD/ART hilang?.

Pada sesi pertanggung jawaban pengurus, Udin, Irna dan Indah selaku pengurus inti membacakan laporang pertanggung jawabannya. Pada sesi inilah AD/ART UKPM UH dipertanyakan, dan hasil penuturan Irna hilangnya AD/ART bersamaan dengan rusaknya komputer UKPM UH. Artinya ada upaya pengalihan kesalahan dengan melimpahkan pada komputer UKPM UH yang kala itu memang selalu ngadat, tapi forum tidak mau terima akan hal itu. Jadi kekacauan MUBES kala itu tentang hilangnya AD/ART bukan pada sesi pembahasan AD/ART, tapi pada sesi Laporan Pertanggung Jawaban pengurus UKPM UH periode 2003-2004.

AD/ART sebagai inventaris berharga di UKPM UH telah hilang, dan sempat membuat MUBES IX UKPM UH ditunda selama 1 X 24 jam untuk mencari keberadaan AD/ART. Waktu itu MUBES dilaksanakan di ruang Forbes UKM UH, tapi atas permintaan forum dipindahkan ke GPI Unhas. Tapi sampai waktu yang diberikan pengurus tidak menemukan AD/ART itu, dan pengurus tetap bersikukuh bahwa hilangnya AD/ART bukan atas kesalahan mereka.

Kala itu, saya sendiri seorang yang tetap bertahan kalau persoalan ini harus dipertanggungjawabkan pengurus. Hilangnya AD/ART berarti hilangnya UKPM UH dan mulai sejak hilang UKPM UH tak layak lagi disebut organisasi. Tapi di forum MUBES itu akhirnya cuma saya sendiri saja yang berpendapat seperti itu. Saya tetap meminta sidang untuk mengubah MUBES IX UKPM UH menjadi MUBES Istimewa UKPM UH karena ketiadaan AD/ART. Saya juga meminta pengurus inti untuk diberikan ganjaran hukuman atas kelalaian menghilangkan AD/ART itu, dan kalau bisa mereka bertiga (Udin, Irna dan Indah) dipecat dari keanggotaan di UKPM UH.

Tapi karena saya saja sendiri kala itu yang tetap berpendapat seperti hal tersebut diatas dan kurang diindahkan oleh forum MUBES IX UKPM UH, dan forum mengalami kebuntuan karena perdebatan yang tidak ada akhirnya. Forum tidak ingin mengubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UH atas hilangnya AD/ART dan forum tetap bersikukuh melanjutkan sesi Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus saja.

Atas kondisi itulah, saya pada akhirnya memutuskan secara pribadi keluar dari forum MUBES IX UKPM UH. Dan meminta pada forum untuk meninggalkan forum, dan sebagai catatan penting saya meminta pula pengunduran diri dari keanggotaan UKPM UH dan tidak ingin dicatat dalam lembaran sejarah bahwa pernah menjadi Anggota, ketua UKPM UH dan Koord. DP UKPM UH serta segala embel-embel lainnya. Alasan saya tetap bertahan pada usulan hilangnya AD/ART UKPM UH membuat MUBES IX UKPM UH diubah menjadi MUBES Istimewa UKPM UH, tapi tidak diindahkan forum. Alasan ke dua, pengurus inti harus diadili seadil-adilnya atas kesalahan menghilangkan AD/ART dengan menghentikannya secara tidak hormat dari kepengurusan, dan kalau bisa dipecat dari UKPM UH.

Begitu saya keluar dari forum MUBES IX UKPM UH itu, bersamaan dengan kedatangan Ka Anwar SH yang mengusulkan harus diubah menjadi forum istemewa karena kondisi hilangnya AD/ART. Akhirnya MUBES IX UKPM UH diubah menjadi MUBES Istimewa, tapi saya sudah tidak lagi di forum dan sudah menyatakan keluar dari keanggotaan UKPM UH.

Pengurus inti itupun, pada pelaksanaan MUBES Istimewa hanya diberi ganjaran ditolak laporan pertanggung jawabannya. Tapi atas kesalahannya menghilangkan AD/ART tidak pernah diberikan hukuman, bahkan dengan bebasnya berkeliaran di UKPM UH dan berupaya menutupi kesalahannya itu.

Makanya, jangan berharap akan menemukan AD/ART yang pernah hilang itu. Dan semenjak hilangnya AD/ART, saya berpendapat UKPM UH juga telah hilang. Saya baru akan menganggap UKPM UH itu ada kalau AD/ART yang dihilangkan Udin, Irna dan Indah itu ditemukan. Kekecewaan saya lebih memuncak lagi, ketika mendengar kalau dalam pelaksanaan MUBES Istimewa UKPM UH kala itu, pengurus inti tidak digancar dengan hokum yang setimpal bahkan diberi tempat istimewa di UKPM UH sebagai Dewan Pers UKPM UH di masa kepengurusan Dedi, selaku ketua UKPM UH di periode 2004-2005. Apakah pantas memberikan jabatan kepada orang yang memiliki kesalahan besar di UKPM UH dengan menghilangkan AD/ART, dengan menjadi DP UKPM UH yang nota bene memiliki kewenangan mengawasi dan mengontrol kepengurusan dan yang menjadi panutan dalam etika di UKPM UH.

Tidak Ada Persoalan Pribadi

Isu santer yang terdengar di UKPM UH pasca pengunduran diri saya dan kayaknya yang beredar sampai sekarang ini, bahwa saya keluar dari UKPM UH karena persoalan pribadi yang sifatnya sangat emosional adanya adalah tidak betul. Itu hanya ditebarkan oleh orang-orang di UKPM UH yang tidak bertanggung jawab dan hanya untuk mencoba menutupi kesalahan yang pernah dilakukanya.

Alasan yang mendasar mengapa saya keluar adalah karena pengurus menghilangkan AD/ART dan tidak diadili/diberi ganjaran atas kesalahan itu, AD/ART hilang berarti UKPM UH juga hilang, dan kehilangan itu membuat saya tidak perlu lagi bertahan di UKPM UH karena ternyata anggota UKPM UH tidak menyikapi hilangnya AD/ART secara serius. Jadi kalau ada isu/gossip yang menyatakan saya punya masalah dengan beberapa orang di UKPM UH secara personal dan emosional itu tidak betul adanya, yang ada adalah perasaan kesal dan marah kepada orang-orang yang telah menghilangkan AD/ART. Perasaan kesal dan marah itu bukan dalam kapasitas personal, tapi dalam kapasitas sebagai bagian dari UKPM UH. Sebagai anggota, dengan kapasitas jabatan yang saya pegang saat itu sebagai KOordinator DP UKPM UH. Salahkan saya kemudian ketika marah dan kesal berdasarkan kapasitas jabatan saya terhadap pengurus yang menghilangkan AD/ART.

Rasa marah dan kesal itu memang sangat memuncak sekali kala itu, dan bagi orang yang tidak mengerti dan tidak memahami cara berfikirku kala itu. Melihatnya kemarahanku itu cenderung personal menyerang pribadi seseorang, padahal tidak. Saya menyerang pengurus dalam kapasitas sebagai orang yang memiliki tanggung jawab mengurusi UKPM UH dengan baik. Dan tidak ada masalah pribadi didalamnya, apalagi membenci mereka secara personal tapi lebih membenci mereka dalam kapasitas tidak mampu menjalankan tanggung jawab sebagai pengurus UKPM UH yang harus menjaga baik-baik AD/ART.

NB :

- saya tidak akan menjilat ludah sendiri. Apa yang pernah saya katakan di Mubes IX UKPM UH dengan mengatakan keluar dari keanggotaan dan jabatan selama saya menjadi pengurus dianggap tidak pernah dan tidak perlu dicatat dalam lembaran sejarah UKPM UH.

- Dan saya meminta kepada pengurus yang membaca tulisan ini, harap segera menghapus nama saya dalam UKPM UH

- Adapun tulisan ini hanya sekedar menceritakan kebenaran dengan apa adanya tanpa kepentingan apapun juga. Selain meluruskan persoalan yang pernah terjadi dan akan mempengaruhi UKPM UH ke depan.

Tanah Air Indonesia

Muhammad Sirul Haq

Adakalanya perjuangan berhasil dengan tetesan darah, berjuang demi suatu perubahan negara. Kita sama –sama pernah tau dan mungkin lupa akan penindasan yang terjadi di negeri ini yang selalu menyisahkan kepedihan dan kemelaratan yang teramat sangat.

Orang-orang berlalu lalang begitu saja tanpa merasa terbebani, bahkan seiring waktu bermasa bodoh akan keadaan tertindas yang selalu terjadi. Kita pun tak dapat bertahan tanpa ikut kedalam lamunan tersebut, seakan terus menggoda dan membayangi akan takdir bahwa kita tak akan pernah menemukan kebebasan dialam yang tak pernah merdeka ini.

Lahir pertanyaan besar, seberapa banyakkah luapan perhatian negara terhadap rakyatnya yang sampai hari ini tetap dalam kondisi tertindas. Bahkan, penindasan itu ternyata dilakukan oleh negara melalui tangan-tangan pemerintah dan agen-agen kapitalis yang meringsuk ke berbagai sendi tulang sum-sum.

Betulkah masih ada kebebasan akan jaminan kemerdekaan berdaulat, tentu tidak! Sangat lacur bila kemudian menyatakan perlindungan dan pemeliharan rakyat dilakukan oleh negara, toh ternyata pemerkosa rakyat adalah negara itu sendiri.

Dimanakah keadilan itu sekarang? Apakah telah berwujud abu yang siap terbang dihempas kekuatan angin sepoi, ataukah tersembunyi dalam di balik renung hati yang tak mampu berucap lagi akan kondisi kebobrokan negara yang sampai hari ini tidak bisa memberikan apa-apa selain kebodohan.

Kawan, mungkin hari ini adalah kebodohan yang terpelihara dengan menyembunyikan kebenaran.

Pembohongan besar-besaran pun terjadi, pemerintah berkoalisi dengan militer, dan media melakukan propaganda akan kemakmuran yang ternyata kemelaratan. Penindasan yang terjadi diselubungkan dengan ketenteraman akan konser-konser banci pemusik metal, rock n roll, slow pop dan punk. Seakan negara ini aman sentaosa, padahal yang terjadi kebijakan sistematis yang melahirkan keterpenjaraan rakyat dalam ruang bui yang dibuat sendiri yang dirancang pemerintah.

Percayakah kita dengan media hari ini, demi status quo melanggengkan kekuasaan yang ada, menyembunyikan kebenaran, dan demi kepentingan kapital menjual kepala rakyatnya demi gagasan hedonisme dan konsumerisme yang menggejala dan menggrogoti tarikan nafas insan pembangunan Indonesia.

Media telah melakukan pelacuran, menjual idealismenya, independensinya dan parahnya lagi tidur seranjang dengan kekuatan kapital pemodal yang telah menggadaikan rakyatnya sendiri demi sesuap nasi. Media telah melakukan hegemoni kekuasaannya sendiri, demi kelanggengan hidupnya rela melakukan pembelotan propaganda perlawanan rakyat menjadi propaganda rakyat sapi perah.

Media telah menggadaikan dirinya, dengan bermasa bodoh dan mungkin pura-pura lupa dengan keberadaan rakyatnya. Menghilangkan sikap kritis akan berbagai kebijakan negara yang menyengsarakan rakyat, terlebih lagi media menjadi mandul oleh sogokan kekuasaan dan materi untuk tegas menyatakan bahwa sampai hari ini rakyat belum merdeka, penindasan terus berlanjut dan pembodohan yang tanpa henti menggrayangi rakyat.

Dimanakah media berpijak, ketika negara melalui tangan-tangan pemerintah mengeluarkan kebijakan swastanisasi kampus dan berapa kemudian anak-anak bangsa yang tak dapat mengenyam pendidikan yang semakin mahal mencekik. Buta huruf dan kebodohan bangsa tak terelakkan lagi. Parahnya lagi, kebijakan pendidikan yang katanya alokasi 20 persen dari APBN ternyata habis di korupsi tanpa mampu media mengungkapnya.

Media kemudian hanya menampilkan berita-berita ceremonial yang melahirkan wartawan-wartawan ceremonial yang meliput berdasarkan pesanan dan berita yang dibuat hanya pepesan kosong belaka. Tanpa mampu membangkitkan perlawanan rakyat yang selama ini tertindas akan kebijakan negara yang terus menekan tanpa mengenal rasa belas asih.

Kemandulan media pun terjadi pada persoalan kenaikan BBM, media hanya secara hambar memberitakan kenaikan tersebut tanpa mengkritisi lebih dalam demi munculnya kesadaran bahwa naiknya BBM lebih disebabkan penjajahan global yang dilakukan Amerika melalui tangan-tangan IMF, Bank Dunia dan CGI menekan demi menghilangkan subsidi untuk rakyat miskin.

Anehnya lagi, media mendukung kebijakan pemerintah dengan penayangan propaganda kenaikan BBM yang sangat tidak irrasional. Media mementingkan kapital perusahaan akan keuntungan dari penayangan itu, tanpa berfikir lebih jauh pada persoalan seberapa parah dampaknya terhadap rakyat yang harus dibayar dengan harga mahal.

Media pun tak mampu mengkritisi kebijakan negara yang melakukan deal-deal politik dan kekuasaan dengan pihak Amerika. Demi kekuasaan pemerintah rela menggadaikan tanah rakyat untuk dijadikan lahan tambang, dan ternyata kemudian rakyat sekitar yang menjadi korban contoh kasus Teluk Buyat di minahasa, masyarakat Timika oleh pertambangan PT. Freeport, Exxon Mobil terhadap persoalan blok Cepu, PT. Arun di Aceh yang telah merampok gas alam milik rakyat Indonesia. Wajarlah bila kemudian masyarkata Aceh memilih memberontak akan kebijakan negara tersebut.

Menolak Ampao dan Gerakan Banci

Kemelut Belantara Hukum

Muhammad Sirul Haq

alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Belantara hukum yang telah akrab di telinga seantero masyarakat Makassar, bahkan hingga menasional dengan nama Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kini dirundung masalah. Mungkin ini hal aneh, karena dari kaca mata orang luar belantara hukum menyimpan kewibawaan penegakan supremasi hukum dengan menelorkan sapu-sapu pemberantas kejahatan sebagai suatu kotoran. Belantara hukum ini pun dulu dan mungkin sampai sekarang dikenal sebagai sumur tempat rakyatnya yang ingin menimbah ilmu dan mempergunakan untuk mencari kekayaan kelak ketika mereka lulus.

Realitas yang terjadi, gonjang-ganjing perebutan ”kekuasaan” sebagai nomor wahid di belantara hukum kini menjadi gunjingan hangat yang serasa hambar tanpa membahasnya ketika menyudut di pinggiran warung kopi di sudut-sudut belantara ini. Apalagi hal ini telah menjadi virus yang menyebar lewat saluran media lokal dan mencekoki pemikiran masyarakat Makassar, Sul-Sel bahkan me-nasional, bahwa ini adalah konflik kepentingan yang sarat dengan muatan konspirasi yang tidak murni lagi secara intelektual.

Penjelajahan kajian empiris harus segera dilakukan untuk segera menuntaskan perjalanan perebutan mahkota untuk menahkodai belantara hukum, demi mengarungi lautan kehidupan hukum yang kini dirundung dengan berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, hingga pemerkosaan cucu terhadap neneknya sendiri yang harus dituntaskan demi penegakan hukum di Indonesia. Tapi hal ini serasa menjadi buaian nina bobo pengantar mimpi untuk mencapai dunia hayalan yang kita idamkan bersama yang kini telah menjadi nyata dalam masyarakat.

Masyarakat pun harus dilibatkan, karena konflik yang terjadi di belantara hukum kini bukan lagi pertarungan yang sehat. Upaya saling menjegal dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah yang berdampak dengan semakin bingungnya masyarakat akan kondisi riil ini. Pertarungan demi menguasai dan menduduki jabatan pada Pabrik pembuat sapu agar tidak menjadi kotor setelah di telorkan nanti, menjadi hal yang semakin rumit saja. Buktinya saja, pertarungan ini ternyata sangat berdampak terhadap mahasiswa yang ingin mengurus studinya akan bingung ke mana mereka meminta saran dan meminta kebijakan, bila pengambil kebijakan ada dualisme kepemimpinan yang mempertahankan ego masing-masing.

Tidak sampai disitu saja, institusi itu sekarang menjadi hambar dan absurd dengan nuansa intelektualisme. Pengklaiman pembenaran diri di kedua belah pihak begitu kental hingga merasuki ruang-ruang publik lewat wacana iklan di media, sehingga membuat masyarakat berdecak membego. Ada apa dengan belantara hukum, kok orang paling tau hukum dan gudangnya pakar peraturan itu berdebat akan aturan yang sama. Dampak ini begitu terasa, tak ada lagi proses transformasi ilmu yang sehat antara dosen yang kencing berdiri dan mahasiswa yang kencing berlari. Hanya terlihat, formalitas kehidupan belantara yang semakin membingungkan arah kebijakannya itu sendiri.

Kebijakan inilah, seakan tak pernah dibicarakan secara dewasa oleh ke-dua kubu yang bertikai. Apakah tak ada lagi ruang dan meja-meja bundar serta bangku tempat duduk yang menjadi fasilitas perkuliahan yang bisa dimanfaatkan sejenak untuk sama-sama membicarakan hal ini dengan kepala dingin, ataukah perlu menaruh es balok disetiap kepala agar menjadi dingin. Energi hukum serasa hilang, dan memang kekuatan ekonomi dan menyusul kepentingan politik telah menjadi prioritas utama. Sehingga pertanyaan besar, apa yang membuat perundingan secara damai tidak bisa berjalan dan nuansa keuntungan ekonomi apa yang akan diperoleh , terlebih lagi kepentingan konspirasi politik apa yang begitu kental sehingga pertarungan ini seakan bukan lagi dalam bingkai akademis melainkan kepentingan politik yang entah juntrungnya kemana.

Sudahlah, kami-kami ini yang berada pada barisan tak berdaya dan hanya bisa berharap doa akan penyelesaian yang mengantar pada kondisi belantara hukum yang lebih damai dan tentram dapat tercapai. Bukan pengrusakan yang melalui perebutan kekuasaan semata, tapi lebih pada pencetakan kadera sapu-sapu yang dikemudian hari tidak menjadi kotor dan merusak. Jangan sampai belantara hukum ini akan membawa kita tersesat jauh di tengah belantara hukum tanpa menemukan solusi yang jelas, dan berdampak pula pada penggiringan akan kajian empiris, sosilogis, dan mungkin hingga politis yang tidak berujung pada pengaburan makna dan tujuan.

Ruang-ruang kuliah kini kosong dengan kajian intelektual yang segar, saban hari hanya berbicara kepentingan kekuasaan yang menggrogoti ruang-ruang kuliah yang selayaknya mengajarkan moralitas dan etika hukum. Bukan pertarungan di halaman parkir yang terkadang memalukan diri sendiri, dan terkadang menghilangkan rasa malu yang sudah menggrogoti hingga di setiap aliran darah. Perkuliahan kini teramat kental dengan kajian yang terlalu teoritis open book, dan menggiring pada penanaman dogma-dogma kepentingan sesaat.

Tak ada pihak yang akan menang dalam pertarungan kekuasaan ini, sebab yang ada cuma kemenangan yang meraih arang dan kekalahan mengecewakan berbuah abu semata. Bukan lagi sewajarnya, melihat pertarungan ini pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tapi perlu melihat imbasnya, berdampak besar pada pengaruh buruk dan citra institusi yang telah dibangun setengah abad yang lalu demi perbaikan mutu anak-anak bangsa.

Dimana sebenarnya kebanggaan kita, akan semangat merah yang membara membakar gejolak dan perasaan demi memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di negara ini. Lupakah kita, akan kebersamaan untuk memberantas sapu-sapu kotor yang sampai hari ini mewarnai dengan kasus suap di Mahkamah Agung, korupsi di KPU, penyelesaian kasus pembunuhan Pahlawan HAM Munir dan banyak lainnya yang belum terselesaikan.

Memang, orang hukum sangat dipengaruhi oleh sarapan paginya. Sarapan itulah yang mempengaruhi pencernaan kebijakan akan konflik dan pertarungan kekuasaan ini. Begitu terasa kepentingan mendasar dan menggugah rasa ingin tau yang berlebihan, bahwa sebenarnya ini adalah fenomena gunung es yang menguak berbagai kejanggalan dan kebobrokan yang selama ini dengan lihainya disembunyikan dari kacamata umum.

Kebobrokan itu mulai tampak, seiring dengan bergulirnya perebutan kursi nomor satu ini layaknya bola es yang menggelinding dan semakin lama membesar dan merusak setiap sendi kehidupan akademis yang tidak sehat lagi adanya. Kebobrokan yang mulai tampak itu, terutama tentang bagaimana manajemen akademis yang selama ini dibangun yang lebih mengedepankan hawa premanisme di atas kepentingan intelektualisme yang katanya ilmiah dan terpelajar. Belum lagi, transparansi pengelolaan dana yang mengalir di setiap sendi kegiatan, mulai dari pengelolaan dana SPP, Dana FORMAD, Ekstensi, program kekhususan, KKN Profesi, dana kemahasiswaan dan banyak lainnya yang bergulir tanpa ada kejelasan yang pasti.

Sepelekah persoalan ini, tentu tidak! Akuntabilitas pengeolaan yang sampai hari ini tidak pernah nampak, sementara kita sering berkoar-koar tentang negara dan sosok-sosok kotor di pemerintahan tanpa pernah mengoreksi diri sendiri. Tak ada wujud pertanggung jawaban kepada publik akan setiap pengelolaan manajemen keorganisasian di fakultas yang katanya mengedepankan penegakan hukum ini. Belum lagi peningkatan sarana dan prasarana yang berjalan tak seimbang dengan kemauan kebijakan selama ini yang terus saja mengawinkan perkuliahan reguler di siang hari dengan ekstensi di malam hari. Yang membuat suasana belantara hukum tidak sehat lagi, tetapi jiwa yang setiap saat menyimpan larva panas yang setiap saat bisa menyembur ke permukaan sebagai kasus yang memalukan di depan publik. Serasa jarang dosen yang mengajar dan belajar untuk mentransformasikan ilmunya, yang kebanyakan dosen mengajar dan mengajar hingga melupakan belajar untuk me-refresh ilmunya yang disalurkan ke mahasiswanya, bahkan parahnya lagi masih banyak dosen malas dan tidak bermutu yang masih bercokol dan maaf saja mungkin menerima gaji buta.

Masih adakah kemudian yang tersisa untuk kita banggakan, apakah perlu anak-anakmu di kemahasiswaan yang lebih menunjukkan kejantanan dengan melakukan pemilihan di lembaga kemahasiswaan yang lebih terbuka, demokratis dan berani memaparkan visi misi mereka hingga keberanian untuk menandatangani kontrak sosial bahwa mereka siap mundur dari jabatan presiden Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FH-UH bila di kemudian hari tidak mampu lagi menjalankan roda organisasi dan beban kerja yang merupakan janji politiknya untuk dapat direalisasikan dan tidak hanya bicara saja.

Kemelut Belantara Hukum

Muhammad Sirul Haq

alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Belantara hukum yang telah akrab di telinga seantero masyarakat Makassar, bahkan hingga menasional dengan nama Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kini dirundung masalah. Mungkin ini hal aneh, karena dari kaca mata orang luar belantara hukum menyimpan kewibawaan penegakan supremasi hukum dengan menelorkan sapu-sapu pemberantas kejahatan sebagai suatu kotoran. Belantara hukum ini pun dulu dan mungkin sampai sekarang dikenal sebagai sumur tempat rakyatnya yang ingin menimbah ilmu dan mempergunakan untuk mencari kekayaan kelak ketika mereka lulus.

Realitas yang terjadi, gonjang-ganjing perebutan ”kekuasaan” sebagai nomor wahid di belantara hukum kini menjadi gunjingan hangat yang serasa hambar tanpa membahasnya ketika menyudut di pinggiran warung kopi di sudut-sudut belantara ini. Apalagi hal ini telah menjadi virus yang menyebar lewat saluran media lokal dan mencekoki pemikiran masyarakat Makassar, Sul-Sel bahkan me-nasional, bahwa ini adalah konflik kepentingan yang sarat dengan muatan konspirasi yang tidak murni lagi secara intelektual.

Penjelajahan kajian empiris harus segera dilakukan untuk segera menuntaskan perjalanan perebutan mahkota untuk menahkodai belantara hukum, demi mengarungi lautan kehidupan hukum yang kini dirundung dengan berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, hingga pemerkosaan cucu terhadap neneknya sendiri yang harus dituntaskan demi penegakan hukum di Indonesia. Tapi hal ini serasa menjadi buaian nina bobo pengantar mimpi untuk mencapai dunia hayalan yang kita idamkan bersama yang kini telah menjadi nyata dalam masyarakat.

Masyarakat pun harus dilibatkan, karena konflik yang terjadi di belantara hukum kini bukan lagi pertarungan yang sehat. Upaya saling menjegal dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah yang berdampak dengan semakin bingungnya masyarakat akan kondisi riil ini. Pertarungan demi menguasai dan menduduki jabatan pada Pabrik pembuat sapu agar tidak menjadi kotor setelah di telorkan nanti, menjadi hal yang semakin rumit saja. Buktinya saja, pertarungan ini ternyata sangat berdampak terhadap mahasiswa yang ingin mengurus studinya akan bingung ke mana mereka meminta saran dan meminta kebijakan, bila pengambil kebijakan ada dualisme kepemimpinan yang mempertahankan ego masing-masing.

Tidak sampai disitu saja, institusi itu sekarang menjadi hambar dan absurd dengan nuansa intelektualisme. Pengklaiman pembenaran diri di kedua belah pihak begitu kental hingga merasuki ruang-ruang publik lewat wacana iklan di media, sehingga membuat masyarakat berdecak membego. Ada apa dengan belantara hukum, kok orang paling tau hukum dan gudangnya pakar peraturan itu berdebat akan aturan yang sama. Dampak ini begitu terasa, tak ada lagi proses transformasi ilmu yang sehat antara dosen yang kencing berdiri dan mahasiswa yang kencing berlari. Hanya terlihat, formalitas kehidupan belantara yang semakin membingungkan arah kebijakannya itu sendiri.

Kebijakan inilah, seakan tak pernah dibicarakan secara dewasa oleh ke-dua kubu yang bertikai. Apakah tak ada lagi ruang dan meja-meja bundar serta bangku tempat duduk yang menjadi fasilitas perkuliahan yang bisa dimanfaatkan sejenak untuk sama-sama membicarakan hal ini dengan kepala dingin, ataukah perlu menaruh es balok disetiap kepala agar menjadi dingin. Energi hukum serasa hilang, dan memang kekuatan ekonomi dan menyusul kepentingan politik telah menjadi prioritas utama. Sehingga pertanyaan besar, apa yang membuat perundingan secara damai tidak bisa berjalan dan nuansa keuntungan ekonomi apa yang akan diperoleh , terlebih lagi kepentingan konspirasi politik apa yang begitu kental sehingga pertarungan ini seakan bukan lagi dalam bingkai akademis melainkan kepentingan politik yang entah juntrungnya kemana.

Sudahlah, kami-kami ini yang berada pada barisan tak berdaya dan hanya bisa berharap doa akan penyelesaian yang mengantar pada kondisi belantara hukum yang lebih damai dan tentram dapat tercapai. Bukan pengrusakan yang melalui perebutan kekuasaan semata, tapi lebih pada pencetakan kadera sapu-sapu yang dikemudian hari tidak menjadi kotor dan merusak. Jangan sampai belantara hukum ini akan membawa kita tersesat jauh di tengah belantara hukum tanpa menemukan solusi yang jelas, dan berdampak pula pada penggiringan akan kajian empiris, sosilogis, dan mungkin hingga politis yang tidak berujung pada pengaburan makna dan tujuan.

Ruang-ruang kuliah kini kosong dengan kajian intelektual yang segar, saban hari hanya berbicara kepentingan kekuasaan yang menggrogoti ruang-ruang kuliah yang selayaknya mengajarkan moralitas dan etika hukum. Bukan pertarungan di halaman parkir yang terkadang memalukan diri sendiri, dan terkadang menghilangkan rasa malu yang sudah menggrogoti hingga di setiap aliran darah. Perkuliahan kini teramat kental dengan kajian yang terlalu teoritis open book, dan menggiring pada penanaman dogma-dogma kepentingan sesaat.

Tak ada pihak yang akan menang dalam pertarungan kekuasaan ini, sebab yang ada cuma kemenangan yang meraih arang dan kekalahan mengecewakan berbuah abu semata. Bukan lagi sewajarnya, melihat pertarungan ini pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tapi perlu melihat imbasnya, berdampak besar pada pengaruh buruk dan citra institusi yang telah dibangun setengah abad yang lalu demi perbaikan mutu anak-anak bangsa.

Dimana sebenarnya kebanggaan kita, akan semangat merah yang membara membakar gejolak dan perasaan demi memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di negara ini. Lupakah kita, akan kebersamaan untuk memberantas sapu-sapu kotor yang sampai hari ini mewarnai dengan kasus suap di Mahkamah Agung, korupsi di KPU, penyelesaian kasus pembunuhan Pahlawan HAM Munir dan banyak lainnya yang belum terselesaikan.

Memang, orang hukum sangat dipengaruhi oleh sarapan paginya. Sarapan itulah yang mempengaruhi pencernaan kebijakan akan konflik dan pertarungan kekuasaan ini. Begitu terasa kepentingan mendasar dan menggugah rasa ingin tau yang berlebihan, bahwa sebenarnya ini adalah fenomena gunung es yang menguak berbagai kejanggalan dan kebobrokan yang selama ini dengan lihainya disembunyikan dari kacamata umum.

Kebobrokan itu mulai tampak, seiring dengan bergulirnya perebutan kursi nomor satu ini layaknya bola es yang menggelinding dan semakin lama membesar dan merusak setiap sendi kehidupan akademis yang tidak sehat lagi adanya. Kebobrokan yang mulai tampak itu, terutama tentang bagaimana manajemen akademis yang selama ini dibangun yang lebih mengedepankan hawa premanisme di atas kepentingan intelektualisme yang katanya ilmiah dan terpelajar. Belum lagi, transparansi pengelolaan dana yang mengalir di setiap sendi kegiatan, mulai dari pengelolaan dana SPP, Dana FORMAD, Ekstensi, program kekhususan, KKN Profesi, dana kemahasiswaan dan banyak lainnya yang bergulir tanpa ada kejelasan yang pasti.

Sepelekah persoalan ini, tentu tidak! Akuntabilitas pengeolaan yang sampai hari ini tidak pernah nampak, sementara kita sering berkoar-koar tentang negara dan sosok-sosok kotor di pemerintahan tanpa pernah mengoreksi diri sendiri. Tak ada wujud pertanggung jawaban kepada publik akan setiap pengelolaan manajemen keorganisasian di fakultas yang katanya mengedepankan penegakan hukum ini. Belum lagi peningkatan sarana dan prasarana yang berjalan tak seimbang dengan kemauan kebijakan selama ini yang terus saja mengawinkan perkuliahan reguler di siang hari dengan ekstensi di malam hari. Yang membuat suasana belantara hukum tidak sehat lagi, tetapi jiwa yang setiap saat menyimpan larva panas yang setiap saat bisa menyembur ke permukaan sebagai kasus yang memalukan di depan publik. Serasa jarang dosen yang mengajar dan belajar untuk mentransformasikan ilmunya, yang kebanyakan dosen mengajar dan mengajar hingga melupakan belajar untuk me-refresh ilmunya yang disalurkan ke mahasiswanya, bahkan parahnya lagi masih banyak dosen malas dan tidak bermutu yang masih bercokol dan maaf saja mungkin menerima gaji buta.

Masih adakah kemudian yang tersisa untuk kita banggakan, apakah perlu anak-anakmu di kemahasiswaan yang lebih menunjukkan kejantanan dengan melakukan pemilihan di lembaga kemahasiswaan yang lebih terbuka, demokratis dan berani memaparkan visi misi mereka hingga keberanian untuk menandatangani kontrak sosial bahwa mereka siap mundur dari jabatan presiden Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FH-UH bila di kemudian hari tidak mampu lagi menjalankan roda organisasi dan beban kerja yang merupakan janji politiknya untuk dapat direalisasikan dan tidak hanya bicara saja.

Diberdayakan oleh Blogger.