Baru-baru
ini masyarakat dikagetkan dengan berita “Kajari Takalar Peras Pengusaha Rp 500
Juta” termuat di berita Headline Tribun Timur, Jumat, 23 Desember 2011. Sangat
tidak disangka, seorang Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Takalar yakni
Rahmat bersama Kasi Pidsus, yakni Tuwo (Kepala Seksi Pidana Khusus) diduga
melakukan pemerasan. Sungguh sangat menghinakannya lagi, pihak Kejari bersama
Kasipidsus lah yang sangat proaktif untuk bertemu dan meminta dana senilai Rp
500 juta yang sangat tak sedikit jumlahnya itu. Ironis memang, jaksa sebagai
penegak hukum melakukan pemerasan terhadap seorang saksi, Rommy Hartono atas perkara
korupsi pengadaan dua unit kapal penyeberangan dan bus pada Dinas Perhubungan
Kabupaten Takalar tahun 2010 bernilai Rp 1,5 Milyar.
Terungkapnya
kasus ini karena tindakan proaktif dan mungkin dengan rasa teramat kesal akan
tindakan pemerasan yang dilakukan Kajari bersama konco-konconya (baca: anak
buahnya), Rommy melakukan tindakan berilian dengan mereka percakapan pemerasan
itu dengan menggunakan telepon genggamnya yang kemudian rekaman itu dijadikan
bukti permulaan untuk melaporkan ke Kejati (Kejaksaan Tinggi) Sul-Sel, yang
kemudian dibentuk pula tim khusus langsung dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung
Republik Indonesia, Basrief Arief. Dari hasil pemeriksaan Kasipidum (Kepala
Seksi Pidana Umum), Kasiintel (Kepala Seksi Intelejen), Kasipidsus (Kepala Seksi
Pidana Khusus) dan dua jaksa penyidik Kejari Takalar. Rahmat Harianto, mengakui
itu suaranya dan diamini oleh Asisten Pengawas (Aswas) Kejati Sul-Sel Chaerul
Amir yang dikonfirmasi disela-sela pemeriksaan jaksa madya tersebut (Tribun
Timur, Sabtu, 24 Desember 2011).
Jaksa, Aparat atau Keparat
Jaksa berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 1 Ayat 1
menegaskan, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan undang-undang.”
Berdasarkan kewenangan atas UU yang
diberikan kepada Jaksa, sepatutnya jaksa sebagai aparat negara yang menjalankan
fungsi penegakan hukum khususnya sebagai penuntut umum dan pelaksana vonis
majelis hakim pengadilan. Namun memang bukan hal yang aneh, bahwa jaksa tidak
menjalankan amanah sebagaimana yang diembankan kepadanya.
Begitu mulianya tugas diemban seorang Jaksa sebagai
wakil negara yang tentunya juga wakil masyarakat dalam penegakan hukum yang
digaji negara, namun sebagai manusia biasa jaksa dapat pula melakukan perbuatan
tercela dan melanggar sendiri tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 Ayat 4, “Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan
hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta
wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam
masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
Artinya seorang Jaksa, dalam bertindak selalu mawas
diri menjaga kehormatan dan martabat, namun tindakan yang ditunjukkan oleh
Kejari Takalar dengan melakukan pemaksaan sangat bertentangan dengan moralitas
jaksa yang harus dijaga dengan baik. Sehingga, menjadikan Jaksa dinegeri yang
lagi krisis moral dan identitas ini memang sangat sulit apalagi tindakan tak
terpuji itu sebagai cambuk bukan saja kepada pihak kejaksaan tapi masyarakat
Indonesia secara keseluruhan yang telah kehilangan rasa kepercayaan terhadap
penegak hukum.
Budaya
malu seorang Jaksa mungkin telah hilang, ataukah karena ke-malu-annya telah
dikebiri oleh perilaku kebinatangan sendiri yang haus akan harta benda. Padahal
seorang Jaksa, apalagi setingkat Kejari memiliki gaji yang boleh dikata sangat
lumayan bila mengukur kebanyakan rakyat Indonesia yang masih dalam garis
kemiskinan. Pantaslah kemudian, Jaksa yang melakukan tindakan amoral untuk
ditindak tegas dengan diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya dan
tugasnya sebagai Jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Kejaksaan.
Pemberhentian tidak hormat itu, dikarenakan Jaksa
melanggar sumpah dan janjinya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Kejaksaan,
dipidana karena melakukan tindakan pidana pemerasan dan penyalagunaan tugas dan
wewenang, serta melakukan perbuatan tercela. Jaksa yang seharusnya berdasarkan
sumpah dan janjinya mengemban amat penegakan hukum, dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Jadi sudah
sepatutnyalah seorang Jaksa yang telah melanggar pertanggung jawaban dirinya
dengan Tuhan seharusnya diadili dengan diberhentikan secara tidak hormat, karena
bukan lagi sebagai aparat negara melainkan keparat negara yang harus diadili
secara hukum didepan pengadilan. Dituntut secara pidana melanggar tindak pidana
pemerasan Pasal 368 dengan ancaman telah melakukan pemerasan untuk
menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum, dipidana penjara paling
lama sembilan tahun.
Pengawasan Masyarakat
Pengungkapan
perilaku Jaksa bejat yang dilakukan masyarakat, khususnya Rommy perlu menjadi
contoh menarik yang harus dilakukan masyarakat umum. Setiap orang, siapa saja
harus bertindak proaktif untuk mengungkapkan tindakan tercela yang tidak patut
dicontoh yang dilakukan penegak hukum, khususnya jaksa nakal walaupun tak
menutup kemungkinan untuk melaporkan pula Polisi dan Hakim yang berbuat nakal.
Masyarakat
yang menjadi korban pemerasan selayaknya memang melakukan tindakan pelaporan
sebelum tindakan jaksa kotor itu berkembang biak. Sebagai bagian dari
pemberantasan korupsi, upaya pencegahan, pengawasan hingga penindakan juga
dapat dilakukan masyarakat berdasarkan prosedur legal atau sah yang dapat
dilakukan jika menemukan kasus serupa.
Masyarakat
dapat membentuk komunitas ataupun lembaga swadaya masyarakat, atupun secara
sendiri-sendiri, beserta elemen masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam
gerakan anti korupsi untuk bertindak secara sadar memerangi kebejatan aparat
penegak hukum yang telah menjadi keparat hukum. Karena semakin banyak ditemukan
keparat hukum yang sepantasnya diberantas dan penjaralah tempat mereka.
Berjamurnya
jaksa kotor, sebagaimana pernah terjadi Jaksa Urip yang menerima suap, Jaksa
Sirus Sinaga yang melakukan perubahan dakwaan karena telah mendapat sogokan
dari Gayus Tambunan, harus mendapat perhatian serius agar tak menjamurnya
aparat negara penegak hukum yang menjadi keparat hukum, karena telah merusak
dan menodai rasa keadilan dan harapan penegakan hukum oleh masyarakat.