Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

I La Galigo dan Pencurian Folklor

Muh. Sirul haq

Dahaga kesejarahan suku bugis seakan terobati dengan tampilnya I La Galigo dalam pentas dunia, dengan iringan dalang Robert Wilson naskah I La Galigo yang dianggap seonggok buku tuah dirubahnya menjadi pementasan kontemporer terbesar yang pernah hadir di pentas tanah air Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Kentalnya nuansa kultural, legenda dan mitos yang tak terlepaskan dari tradisi bugis kuno yang ditulis pada abad ke-XV sampai XVII yang menghadirkan 37 episode Sureq Galigo. Ini tak terlepas dari keterlibatan sang sutradara kawakan terkenal asal Amerika, siapa lagi kalau bukan Robert Wilson yang memberikan intrepretasi dan adaptasi yang mengalami proses panjang sehingga melahirkan karya yang dapat ditonton sebagai pengisi kalbu dan pencerahan tradisi yang mungkin selama ini agak sedikit luntur dalam kenyataanya di tanah bugis sekarang ini.
Penonton teater pun dibuat terkesima dengan siraman cahaya yang gemilang dengan taburan warna-warni membuat hati yang menonton seakan berdecak kagum. Pementasan yang memberikan jawaban dan sedikit gelitik di hati kita, akan nilai-nilai budaya yang selama ini terpendam jauh dan mungkin kita sendiri yang merasa memiliki warisan budaya itu, tentu tidak lagi sepenuhnya karena dianggap telah menjadi warisan dunia.
Gagasan lahirnya pemaknaan sebagai warisan dunia tidak terlepas dari keberhasilan Robert Wilson mementaskanya keliling dunia, menembus relung waktu dan ruang yang selama ini membatasinya. Lewat ruang yang tersedia di Singapura, Barcelona dan New York memberikan pemaknaan besar akan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Pementasan yang kental dengan simbol, identitas, jati diri, semangat dan perjuangan suku bugis yang telah lahir sekitar abad ke-VII, yang diperkirakan sama dengan keberadaan Sawerigading yang dianggap bukan sekedar mitos tapi lahir dan berada dalam dunia nyata.
Tapi, apakah betul kebanggaan masyarakat akan keberadaan Sureq Galigo itu betul-betul nyata dinikmati masyarakat Sulawesi Selatan. Buktinya saja, pementasan itu hanya menjadi buah bibir bagi suku bugis kebanyakan. Pertunjukan dengan durasi 3 jam itu, yang kental dengan kekuatan mitosnya hanya dinikmati segelintir masyarakat Sul-Sel. Respon yang katanya besar dengan adanya kehadiran Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono yang menonton langsung, yang turut didampingi Wapres Yusuf Kalla, dan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Saksi pementasan itu, kabarnya turut pula dihadiri kalangan pejabat propinsi Sul-Sel serta seniman dan budayawan Sul-Sel. Namun apakah, itu hanya sebagai kenikmatan bagi segelintir orang di TMII saja, dan bagaimana dengan Pancana, Luwu, Bone, Gowa dan daerah lainnya yang katanya akrab dengan kisah yang terdapat didalam naskah tersebut, namun tak dapat dinikmati luas.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.