Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Kemelut Belantara Hukum

Muhammad Sirul Haq

alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Belantara hukum yang telah akrab di telinga seantero masyarakat Makassar, bahkan hingga menasional dengan nama Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin kini dirundung masalah. Mungkin ini hal aneh, karena dari kaca mata orang luar belantara hukum menyimpan kewibawaan penegakan supremasi hukum dengan menelorkan sapu-sapu pemberantas kejahatan sebagai suatu kotoran. Belantara hukum ini pun dulu dan mungkin sampai sekarang dikenal sebagai sumur tempat rakyatnya yang ingin menimbah ilmu dan mempergunakan untuk mencari kekayaan kelak ketika mereka lulus.

Realitas yang terjadi, gonjang-ganjing perebutan ”kekuasaan” sebagai nomor wahid di belantara hukum kini menjadi gunjingan hangat yang serasa hambar tanpa membahasnya ketika menyudut di pinggiran warung kopi di sudut-sudut belantara ini. Apalagi hal ini telah menjadi virus yang menyebar lewat saluran media lokal dan mencekoki pemikiran masyarakat Makassar, Sul-Sel bahkan me-nasional, bahwa ini adalah konflik kepentingan yang sarat dengan muatan konspirasi yang tidak murni lagi secara intelektual.

Penjelajahan kajian empiris harus segera dilakukan untuk segera menuntaskan perjalanan perebutan mahkota untuk menahkodai belantara hukum, demi mengarungi lautan kehidupan hukum yang kini dirundung dengan berbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, hingga pemerkosaan cucu terhadap neneknya sendiri yang harus dituntaskan demi penegakan hukum di Indonesia. Tapi hal ini serasa menjadi buaian nina bobo pengantar mimpi untuk mencapai dunia hayalan yang kita idamkan bersama yang kini telah menjadi nyata dalam masyarakat.

Masyarakat pun harus dilibatkan, karena konflik yang terjadi di belantara hukum kini bukan lagi pertarungan yang sehat. Upaya saling menjegal dan menjatuhkan sudah menjadi hal lumrah yang berdampak dengan semakin bingungnya masyarakat akan kondisi riil ini. Pertarungan demi menguasai dan menduduki jabatan pada Pabrik pembuat sapu agar tidak menjadi kotor setelah di telorkan nanti, menjadi hal yang semakin rumit saja. Buktinya saja, pertarungan ini ternyata sangat berdampak terhadap mahasiswa yang ingin mengurus studinya akan bingung ke mana mereka meminta saran dan meminta kebijakan, bila pengambil kebijakan ada dualisme kepemimpinan yang mempertahankan ego masing-masing.

Tidak sampai disitu saja, institusi itu sekarang menjadi hambar dan absurd dengan nuansa intelektualisme. Pengklaiman pembenaran diri di kedua belah pihak begitu kental hingga merasuki ruang-ruang publik lewat wacana iklan di media, sehingga membuat masyarakat berdecak membego. Ada apa dengan belantara hukum, kok orang paling tau hukum dan gudangnya pakar peraturan itu berdebat akan aturan yang sama. Dampak ini begitu terasa, tak ada lagi proses transformasi ilmu yang sehat antara dosen yang kencing berdiri dan mahasiswa yang kencing berlari. Hanya terlihat, formalitas kehidupan belantara yang semakin membingungkan arah kebijakannya itu sendiri.

Kebijakan inilah, seakan tak pernah dibicarakan secara dewasa oleh ke-dua kubu yang bertikai. Apakah tak ada lagi ruang dan meja-meja bundar serta bangku tempat duduk yang menjadi fasilitas perkuliahan yang bisa dimanfaatkan sejenak untuk sama-sama membicarakan hal ini dengan kepala dingin, ataukah perlu menaruh es balok disetiap kepala agar menjadi dingin. Energi hukum serasa hilang, dan memang kekuatan ekonomi dan menyusul kepentingan politik telah menjadi prioritas utama. Sehingga pertanyaan besar, apa yang membuat perundingan secara damai tidak bisa berjalan dan nuansa keuntungan ekonomi apa yang akan diperoleh , terlebih lagi kepentingan konspirasi politik apa yang begitu kental sehingga pertarungan ini seakan bukan lagi dalam bingkai akademis melainkan kepentingan politik yang entah juntrungnya kemana.

Sudahlah, kami-kami ini yang berada pada barisan tak berdaya dan hanya bisa berharap doa akan penyelesaian yang mengantar pada kondisi belantara hukum yang lebih damai dan tentram dapat tercapai. Bukan pengrusakan yang melalui perebutan kekuasaan semata, tapi lebih pada pencetakan kadera sapu-sapu yang dikemudian hari tidak menjadi kotor dan merusak. Jangan sampai belantara hukum ini akan membawa kita tersesat jauh di tengah belantara hukum tanpa menemukan solusi yang jelas, dan berdampak pula pada penggiringan akan kajian empiris, sosilogis, dan mungkin hingga politis yang tidak berujung pada pengaburan makna dan tujuan.

Ruang-ruang kuliah kini kosong dengan kajian intelektual yang segar, saban hari hanya berbicara kepentingan kekuasaan yang menggrogoti ruang-ruang kuliah yang selayaknya mengajarkan moralitas dan etika hukum. Bukan pertarungan di halaman parkir yang terkadang memalukan diri sendiri, dan terkadang menghilangkan rasa malu yang sudah menggrogoti hingga di setiap aliran darah. Perkuliahan kini teramat kental dengan kajian yang terlalu teoritis open book, dan menggiring pada penanaman dogma-dogma kepentingan sesaat.

Tak ada pihak yang akan menang dalam pertarungan kekuasaan ini, sebab yang ada cuma kemenangan yang meraih arang dan kekalahan mengecewakan berbuah abu semata. Bukan lagi sewajarnya, melihat pertarungan ini pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tapi perlu melihat imbasnya, berdampak besar pada pengaruh buruk dan citra institusi yang telah dibangun setengah abad yang lalu demi perbaikan mutu anak-anak bangsa.

Dimana sebenarnya kebanggaan kita, akan semangat merah yang membara membakar gejolak dan perasaan demi memberantas berbagai kejahatan yang terjadi di negara ini. Lupakah kita, akan kebersamaan untuk memberantas sapu-sapu kotor yang sampai hari ini mewarnai dengan kasus suap di Mahkamah Agung, korupsi di KPU, penyelesaian kasus pembunuhan Pahlawan HAM Munir dan banyak lainnya yang belum terselesaikan.

Memang, orang hukum sangat dipengaruhi oleh sarapan paginya. Sarapan itulah yang mempengaruhi pencernaan kebijakan akan konflik dan pertarungan kekuasaan ini. Begitu terasa kepentingan mendasar dan menggugah rasa ingin tau yang berlebihan, bahwa sebenarnya ini adalah fenomena gunung es yang menguak berbagai kejanggalan dan kebobrokan yang selama ini dengan lihainya disembunyikan dari kacamata umum.

Kebobrokan itu mulai tampak, seiring dengan bergulirnya perebutan kursi nomor satu ini layaknya bola es yang menggelinding dan semakin lama membesar dan merusak setiap sendi kehidupan akademis yang tidak sehat lagi adanya. Kebobrokan yang mulai tampak itu, terutama tentang bagaimana manajemen akademis yang selama ini dibangun yang lebih mengedepankan hawa premanisme di atas kepentingan intelektualisme yang katanya ilmiah dan terpelajar. Belum lagi, transparansi pengelolaan dana yang mengalir di setiap sendi kegiatan, mulai dari pengelolaan dana SPP, Dana FORMAD, Ekstensi, program kekhususan, KKN Profesi, dana kemahasiswaan dan banyak lainnya yang bergulir tanpa ada kejelasan yang pasti.

Sepelekah persoalan ini, tentu tidak! Akuntabilitas pengeolaan yang sampai hari ini tidak pernah nampak, sementara kita sering berkoar-koar tentang negara dan sosok-sosok kotor di pemerintahan tanpa pernah mengoreksi diri sendiri. Tak ada wujud pertanggung jawaban kepada publik akan setiap pengelolaan manajemen keorganisasian di fakultas yang katanya mengedepankan penegakan hukum ini. Belum lagi peningkatan sarana dan prasarana yang berjalan tak seimbang dengan kemauan kebijakan selama ini yang terus saja mengawinkan perkuliahan reguler di siang hari dengan ekstensi di malam hari. Yang membuat suasana belantara hukum tidak sehat lagi, tetapi jiwa yang setiap saat menyimpan larva panas yang setiap saat bisa menyembur ke permukaan sebagai kasus yang memalukan di depan publik. Serasa jarang dosen yang mengajar dan belajar untuk mentransformasikan ilmunya, yang kebanyakan dosen mengajar dan mengajar hingga melupakan belajar untuk me-refresh ilmunya yang disalurkan ke mahasiswanya, bahkan parahnya lagi masih banyak dosen malas dan tidak bermutu yang masih bercokol dan maaf saja mungkin menerima gaji buta.

Masih adakah kemudian yang tersisa untuk kita banggakan, apakah perlu anak-anakmu di kemahasiswaan yang lebih menunjukkan kejantanan dengan melakukan pemilihan di lembaga kemahasiswaan yang lebih terbuka, demokratis dan berani memaparkan visi misi mereka hingga keberanian untuk menandatangani kontrak sosial bahwa mereka siap mundur dari jabatan presiden Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) FH-UH bila di kemudian hari tidak mampu lagi menjalankan roda organisasi dan beban kerja yang merupakan janji politiknya untuk dapat direalisasikan dan tidak hanya bicara saja.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.