Memperjuangkan Kebenaran dan Keadilan

Razia Software dan Pemenuhan Hak Cipta

Muhammad Sirul Haq

Manager Harian Sentra HKI Unhas

Sejak ditandangani Konvensi Bern mengenai Perlindungan Intelektual yang salah satunya adalah Indonesia sebagai peserta, maka keharusan untuk mematuhi konvensi tersebut menjadi hal mutlak. Sebagai wujud realisasi akan kepatuhan Indonesia terhadap Konvensi Bern itu, maka dibuatlah ratifikasi dari konvensi bern tersebut dengan membuat UU Hak Cipta tahun 19.. kemudian direvisi dalam UU Hak Cipta No .. tahun 19 dan kemudian disempurnakan lagi menjadi UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002.

UU Hak Cipta secara tegas menyebutkan, bahwa perlindungan hak cipta itu secara otomatis melekat kepada penemunya. Artinya setiap ciptaan tanpa perlu didaftar akan menjadi hak setiap penemu serta melekat didalamnya hak ekslusif berupa hak Moral dan hak ekonomi. Adapun mengenai pendaftaran ciptaan itu dapat dilakukan pada kantor Dirjen HKI atau melalui Sentra HKI yang tersebar di perguruan tinggi yang ada di Indonesia, sebagai upaya proteksi agar mendapat perlindungan dari negara dan kekuatan di muka pengadilan lebih kuat.

Hak ekslusif penemu atas ciptannya dilindungi selama penemu hidup ditambah 50 tahun setelah meninggal, adapun mengenai program komputer masa perlindungannya 50 tahun sejak program tersebut diciptakan. Makanya, secara otomatis di setiap ciptaan itu melekat Hak Moral penemu yakni hak untuk dicantumkan namanya disetiap ciptaan yang dipasarkan. Begitupun dengan Hak ekonomi, hak inipun merupakan keistemewaan penemu dimana penemu memiliki hak untuk menikmati segala keuntungan ekonomi atas setiap temuannya itu.

Pelimpahan hak eksklusif dapat pula dilakukan dengan mengadakan perjanjian lisensi dengan perusahaan yang ingin membelinya untuk kemudian di pasarkan atau dikomersilkan. Untuk selanjutnya dikelola dan diperdagangkan oleh pemilik lisensi itu, dan pelimpahan hak dan kewenangan untuk melakukan pengawasan akan penjualan serta segala bentuk kejahatan yang dilakukan pihak ke-tiga. Baik berupa pembajakan, memperbanyak, menyebarkannya, menjualnya akan dikenakan tindak pidana dan perdata.

Jadi setiap orang ataupun badan hukum yang kemudian terbukti melakukan pembajakan dengan niat jahat untuk mendapatkan keuntungan, maka akan dikenakan pidana penjara lima tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta. Selain itu dapat pula dikenakan tuntutan perdata, bila penemu atau pemegang lisensi merasa dirugikan lebih dari yang dikenakan secara pidana. Penemu atau pemegang lisensi menuntut penggantian kerugian atas tindakan pihak ketiga yang telah melakukan kejahatan tersebut, dan denda atau ganti rugi dapat tak terhingga tergantu seberapa besar nilai takaran kerugian yang diderita penemu atau pemegang lisensi.

Perlindungan Hak Cipta yang tercakup didalamnya Arsitektur, lagu, karya seni, sinematografi, …. Dan program komputer, itu merupakan delik aduan artinya setiap tindakan kejahatan pembajakan itu dapat dilakukan razia oleh polisi berdasarkan laporan yang diterima dari penemu atau pemegang hak cipta yang dirugikan.

Tindakan polisi untuk melakukan razia itu, adalah tugas dan kewenangan yang diberikan berdasarkan UU untuk melakukan penggeledahan, pemeriksaan, penyitaan hingga membawanya pada proses di pengadilan. Jadi apa yang dilakukan pihak kepolisian adalah tanggungjawab kerja yang harus dipatuhi sebagai aparat negara yang menjalankan hukum sebagaimana yang tertuang dalam peraturan negara.

Tindakan Pembajakan

Pembajakan yang dilakukan pihak ke tiga yang sekarang lagi diributkan, banyaknya pedagang komputer di mall-mall di Makassar yang telah melakukan tindakan yang dilarang UU Hak Cipta. Berupa memperbanyak, memperjual belikannya merupakan tindakan pidana yang harus ditindak, karena itu merupakan pencurian hak seseorang atau badan hukum atas ciptaan yang mereka temukan.

Tindakan pembajakan memang bagaikan buah simalakama melihat kondisi masyarakat kita yang stándar kehidupannya dibawah garis kemiskinan, dan disisi lain Indonesia harus menjalankan UUHC itu sebagaimana mestinya diterapkan. Memang jika kita betul patuh pada aturan itu, maka akan minim sekali masyarakat Indonesia yang dapat menikmati kecanggihan teknologi komputer yang bisa bernilai puluhan juta.

Tingginya angka penjualan software itu tak lain karena perusahaan penemunya yakni Mikrosof t, menjual dengan harga tinggi dengan nilai dollar US yang sekarang masih melambung disekitaran Rp. 9.000 per dollar US. Bila harga di rupiahkan maka akan bisa menembus angka rupiah yang mencengangkan. Kondisi ini teramat menyedihkan dan menyakitkan masyarkat yang daya belinya masih rendah, dan kesadara hukum yang minim pula.

Diluar dari kondisi ekonomi masyarakat yang menyedihkan, pemerintah melalui kepolisian juga berwenang melakukan tindakan yang dianggap sah menurut aturan perundang-undangan.

Substansi Perlindungan Hak Cipta

Pemahaman masyarakat mengenai hak cipta memang masih mini, bahkan media pun banyak melakukan kesalahan dalam pemberitaanya dengan menyatakan “pemegang paten software”, seharusnya adalah pemegang hak cipta. Istilah Paten itu digunakan untuk suatu temuan yang digunakan untuk industri berupa teknologi penggunaan praktis akan suatu alat. (tulisan bersambung).

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.