*Euphoria MSG*
*Kamiliyah Basith, 07 Aug 2008*
Sore hari, matahari terik sedang lucu-lucunya dan kamar kerja terasa begitu
panas di atas ini. Saya mencoba menyelesaikan beberapa sketsa desain
pakaian. *Really hard to concentrate*. Segerombolan ibu-ibu tetangga sedang
betah nongkrong di depan rumah, sejak rumah ini dibeli orangtua dan
merenovasinya menjadi bertingkat, rumah kami menjadi begitu mencolok karena
beberapa deret rumah di sebelahnya hanya satu tingkat. Jadi begitu sinar
matahari sore dinas, tetangga suka berteduh ngerumpi di depan rumah.
"Ih BBM naik lagi, saya bingung semua serba naik", cetus salah seorang ibu.
"Iya, saya berasa banget, susu naik. Udah ganti macam-macam, kalau pas cocok
sama anak *sih ngga* apa-apa, lha kalau *ngga* cocok, susah juga *berasa*.
Gaji mending naik." Saya mendengarkan dari atas, suara mereka jadi semakin
jelas karena pintu ke arah balkon saya buka.
"Mai…Shoouu…Mai" teriak abang somay beberapa meter dari rumah, dan "Beli dua
ya Mas, *ngga* pakai pare. Saosnya banyakin". Terdengar beberapa ibu juga
ikut membeli somay, "hari ini ngga masak saya, eh tanyain dulu anak-anak
pada mau *ngga* ya" dan berlari ke arah rumahnya.
Tidak lama setelah itu terdengar suara lagu anak dari odong-odong, dan
makin mendekat dan suara dekatnya bertahan sekitar lima belas menit di depan
rumah. Beberapa ibu terdengar momong cucu yang sedang duduk di bangku
odong-odong dengan ekspresi kosong. Jelas sekali kalau sebenarnya si anak
tidak begitu menikmati, tetapi para ibu dan nenek yang begitu ingin
memanjakan anak atau ingin melepas lelah memangku dan merelakan sehelai dua
helai seribuan untuk hiburan odong-odong.
Hampir pukul enam dan tukang sate padang pertama mulai lewat di depan gang
"Teee…Padeaaang…Saaateeee…Padeang". "Sate Bang.." teriak salah seorang
tetangga yang masih nongrong di luar meski magrib mulai menjelang.
Sejenak saya terpikir, kira-kira berapa banyak orang belanja sehari dengan
gaya hidup jajan seperti itu. Saya memang tidak terbiasa dan mememang tidak
dibiasakan jajan sedari kecil. Sedikit terkesan ironi ketika mereka
mengeluhkan kenaikan harga BBM yang efek dominonya turut menaikkan harga
barang di pasar lainnya. Terlebih, *frankly to tell*, lingkungan rumah saya
terisi oleh masyarakat kelas menengah, yang bisa dipastikan sepertiganya
adalah menengah ke bawah dengan kelas masyarakat lulusan SMU bekerja pada
perusahaan dan membawa hasil kurang lebih Rp 1.500.000,00 per bulan,
bekeluarga dan memiliki beberapa orang anak.
Beberapa waktu lalu ketika ngobrol dengan pembantu, Si Tante sempat cerita
kalau tetangga kami yang punya anak hampir selalu menjatahkan Rp 10.000
untuk belanja tiap anak setiap harinya. Ada lagi yang punya kebiasaan tidak
bisa kalau sehari tidak makan mie ayam baso.
And *I say to myself, what an increadable life!*
Kalau saja dalam sebuah rumah tangga ada 2-3 orang anak yang harus disiapkan
uang jajannya berarti setiap harinya harus mengeluarkan antara Rp
20.000-30.000 hanya untuk jajan yang mungkin memang sebagiannya merupakan
ongkos transport anak. Tetapi bayangkan kalau nominal tersebut kita kalikan
dengan 30 hari dalam sebulan, berarti biaya yang dikeluarkan sekitar
600.000-900.000 hanya untuk belanja yang akan menguap begitu saja.
Bagaimana mereka bisa *survive*? Dan kalau pun *survive*, kehidupan seperti
apa yang mereka jalani. Ironi ketika mengeluhkan naiknya harga susu untuk
anak yang selisih kenaikannya sekitar Rp 1.500-3.000 per kilogram susu,
tetapi ada budget untuk jajan yang terkadang pada orang tertentu seperti
keharusan dengan nominal yang sangat tinggi untuk kondisi pas-pasan dan
mengeluhkan kenaikan harga.
Kalau melihat bagaimana teriak suara penolakan rakyat atas kenaikan harga
BBM yang diputuskan pemerintah boleh ngga ya kalau kita simpulkan bahwa
sebenarnya rakyat tidak terlalu merasakan itu sebenarnya. Karena gaya hidup
rakyat, bahkan di porsi dominan (menengah ke bawah) sebenarnya tidak
berhubungan langsung dengan barang-barang tersebut. Karena rakyat tidak
masak, tetapi jajan, rakyat tidak minum susu dan membeli bahan mentah
seperti tulang untuk kaldu, tetapi memakan larutan MSG (*monosodium
glutamate*) yang sudah larut dalam mangkok mie ayam baso. Rakyat lebih suka
membiarkan anaknya menonton televisi dengan segala macam siaran yang
sebenarnya tidak mendidik daripada membeli buku karena alasannya beli buku
jadi mahal sekarang karena harga kertas naik dan lebih rela mengusahakan
apapun jalannya untuk mendapatkan sebuah TV seharga sebulan gaji.
Pemerintah tidak mungkin menurunkan harga BBM secara mendadak, kita pun
tidak begitu tahu apa yang dikerjakan pemerintah dalam mengurus hal itu.
Tetapi satu hal yang pasti, setiap perubahan yang terjadi pasti perlu
penyesuaian. Penyesuaian yang ideal adalah bagaimana menjadi bijak terhadap
situasi. Kita tidak perlu membahas skenario kelas masyarakat menengah ke
atas, karena *opportunity cost * yang dimiliki oleh masyarakat kelas dan
kondisi supportif sudah jelas. Tetapi berbeda dengan masyarakat kelas
menengah ke bawah yang dikelilingi pilihan-pilihan hampir simalakama.
Tipe gaya hidup konsumtif masyarakat kita boleh dikatakan kental dan ini
yang kadang membuat kita terlambat selangkah meski kita menguasai satu hal.
Andaikan setiap rumah di Indonesia mengkonsumsi susu dan berhenti
mengkonsumsi MSG dan berhemat dari godaan jajan, rakyat Indonesia bisa
menabung setidaknya 30% dari pendapatan dan kalau ada pun teriak penolakan
kenaikan harga BBM tentunya bukan dari suara orang penikmat MSG seumur hidup
yang bereuphoria. -liaB-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
1 komentar
Hey, Demokrasita!
I dont know why you stole this article (I say this is steeling since you didnt ask for any permossion to publish my article) which came from my wordpress on http://www.kamiliyahbasith.wordpress.com
dan jelas-jelas semua artikel saya dengan signature di akhir masih terpampang sangat jelas.
Tidak masalah kalau Anda mau publish artikel yang Anda ambil dari saya tetapi tolong dengan etika bukan main sabet seperti nyolong mangga.
Bagaimanapun Anda harus mencantumkan bahwa artikel yang bukan hasil karya Anda dengan mencantumkan nama penulis, tanggal dan sourcenya.
Posting Komentar