Mengarang cerpen itu gampang! Benarkah?
Coba menjawab pertanyaan sederhana ini, aku sering menjadi bingung
dibuatnya. Seperti saat ini, duduk bertopang dahi, aku menghabiskan
waktu terpekur memikirkan jawabannya. Pening, kutatap 5 jari sebelah
tangan yang lain, dan bertanya, "Benarkah?"
Lalu tiba-tiba lima jari itu seperti hidup. Bergerak-gerak di luar
kendaliku seperti ingin bicara. Dan benar, sesaat kemudian Jempol di
tangan itu menegak dan bersuara,
"Sebagai ibu para jari, ijinkan aku bicara." Ia diam sesaat menarik
jeda, lalu menyambung ucapannya.
"Menurutku, benar. Mengarang cerpen itu gampang."
Kutatap sang jermpol dengan setengah rasa tak percaya.
"Gampang? Mengapa?"
"Seperti sosokku yang pendek, pada hakikatnya cerpen itu toh hanya
sebuah cerita yang pendek." Jawabnya santai.
"Tidak seperti novel, cerpen hanya berisi sepenggal peristiwa. Kau
bisa membuat cerpen tentang peristiwa yang hanya berlangsung sehari,
beberapa jam, atau bahkan yang hanya berlangsung beberapa menit.
Meskipun tentu saja, bisa pula satu cerpen berisi cerita yang
terentang dalam waktu lebih panjang."
"Berhari-hari? Setahun?" tanyaku menegaskan.
"Ya." Jawabnya.
"Tidak ada masalah dengan rentang waktu seperti itu. Karena dalam
kenyataannya sebuah konflik bisa berada dalam diri satu orang dalam
waktu yang panjang. Cerita cinta misalnya, bisa saja bercerita tentang
perasaan yang dipendam dan menemukan konklusi dalam sebuah peristiwa
yang terjadi bertahun-tahun kemudian. Yang penting bukan rentang
waktunya tapi peristiwanya yang akan kau ceritakanlah yang akan berupa
kisah yang pendek."
"Karena pendek maka menjadi gampang? Sesederhana itu?"
Aku coba mendebat sang jempol yang bergoyang-goyang, seperti seorang
kakek di kursi ayun.
"Kau kira cerpen itu tidak sederhana? Bangunan cerpen itu sederhana
bung!" Goyangannya mulai berhenti. Tampaknya ia mulai serius.
"Kau hanya butuh dua hal pokok, tokoh dan konflik. Ramu keduanya dalam
satu jalinan cerita dan jadilah sebuah cerpen." Ia berkata dengan nada
begitu yakin.
* * *
Tokoh dan konflik.
Hanya dua? Sesederhana itu? Gila! Lalu mengapa membuat sebuah cerpen
bisa terasa begitu sulit? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Aku
memandang sang Jempol yang seperti menertawakan kebimbanganku.
"Cerpen itu pendek, dan karenanya tidak seperti cerita yang panjang,
kau bisa mengambil tokohmu empat, tiga, dua, atau bahkan satu saja.
Begitu pula tokohmu bisa siapa saja, dan bahkan apa saja. Sebutir
tomat, tongkat kayu atau koteka pun bisa menjadi tokoh dalam
cerpenmu." Kuduga ia tersenyum saat mengatakan itu. Tapi tentu saja
sebuah jempol tak bisa tersenyum.
"Bahkan tokohmu tidak harus pula bernama, tidak harus kau ceritakan
latar belakangnya siapa, berapa umurnya, darimana asalnya,
pendidikannya. Tokoh dalam cerpen bisa tetap kuat tanpa memerlukan
segala tetek bengek seperti yang diperlukan tokoh dalam sebuah novel."
"Masak sih?"
"Lha iya," katanya, "Perlu apa menceritakan tetek bengek tak penting,
kalau konflikmu hanya tentang seorang lelaki yang bangun pagi, dan
pusing dengan sebuah pertanyaan, mengarang cerpen itu gampang atau tidak?"
Aku merengut kecut. Sebal juga jempolku sendiri menyindir begitu kepadaku.
"Aku setuju dengan sang jempol." Tiba-tiba jari telunjukku mulai
angkat bicara. Kulirik si Jempol mulai mengatup seakan memberi giliran
sahabat terdekatnya berurai kata.
"Aku jari yang paling aktif. Dalam pengalamanku, aku tahu begitu
banyak peristiwa sederhana yang bisa diceritakan manusia dalam
aktivitasnya. " Telunjuk itu berkata dengan suara yang tegas.
"Kupikir karena itulah membuat cerpen itu seharusnya menjadi sesuatu
yang gampang. Mengapa memikirkan thema yang berat-berat kalau kau bisa
menceritakan beribu peristiwa yang pernah dilakukan jari telunjukmu?
Kau bisa membuat seribu cerpen dengannya, atau bahkan sepuluh ribu
cerpen karena nyatanya detik-detik yang kau lalui sejatinya selalu
menghadirkan rentetan konflik dan cerita tersendiri."
Kupikir ada benarnya telunjukku itu. Tapi kubiarkan dulu ia
melanjutkan kata-katanya.
"Konflikmu pun tidak harus terurai dalam bentuk yang rumit. Perasaan
yang sesaat baik itu senang, gembira, kesal, marah, cinta, bimbang,
atau yang tengah bertanya-tanya sepertimu sudah bisa menjadi sebuah
konflik. Fenomena kecil yang kau jalani sehari-hari, atau yang dialami
orang di sekitarmu, pasti banyak menyimpan kisah yang unik." Telunjuk
itu melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat.
"Kalau bercerita thema besar?" Aku sendiri merasa itu pertanyaan
bodoh, tapi aku tak tahu lagi harus berkata apa untuk mendebatnya.
"Tentu saja tidak ada salahnya. Tapi soal itu tidak menjawab
pertanyaanmu kan?" Sial. Nada suara telunjuk itu terdengar seperti
mencemooh.
"Mengarang cerpen itu gampang. Itu yang harus kau yakini. Seperti kata
si Jempol tadi, yang kau butuhkan hanya dua hal pokok, tokoh dan
cerita. Dan keduanya terbentang begitu banyak di hadapanmu. Hakikat
cerpen juga hanyalah cerita dalam format yang pendek, sehingga itu
akan mempermudahmu saat membuatnya. Format yang pendek membuatmu
leluasa untuk bercerita tentang apa saja, yang sederhana-sederhana ,
yang singkat-singkat, yang kecil-kecil, dan membuatmu terbebas dari
aturan-aturan baku. Lupakan lima W-mu. Who, What, When, Where and Why
itu harusnya lau ganti menjadi 5 W yang baru, Wrong When Wright Won't
Write." Ia mengatakan kalimatnya dengan nada yang begitu yakin.
* * *
Tapi aku masih tidak dapat membimbing hatiku seyakin itu. Mataku
menatap jari jemariku mencari-cari jawaban yang lain. Dan tiba-tiba
kelingkingku bersuit nyaring.
"Sayangnya, membuat cerpen tak semudah itu, honey." Katanya dengan
genit. Kulirik sang telunjuk ingin melihat reaksinya. Ia kini saling
bertaut mengatup dengan sang jempol, seperti tengah berkasak-kusuk
berdua membhasa sanggahan si kelingking mungil..
"Dalam cerpen ada elemen seperti diriku. Kecil, mungil dan terkesan
tak berarti, tapi cobalah kau menggenggam tanpa menggunakan aku.
Genggamanmu tak akan kokoh apabila aku, jari yang terletak paling
dasar saat kau menegakkan telapak tanganmu itu, tidak kau ikut
sertakan." Suara kelingking mungil itu genit. Terkesan seperti nona
muda, kenes, tapi tegas.
"Begitupula dalam cerpen, ada hal-hal dasar yang harus kau sertakan
kalau kau mau cerpenmu menjadi kokoh."
"Hal dasar? Apalagi? Bukankah hal pokok hanya dua, tokoh dan cerita?"
Samar aku menangkap kelingkingku seperti mencibir. Mencibir?
Kugelengkan kepalaku. Tidak mungkin kelingking punya bibir.
"Bahasa." Jawabnya singkat. Tapi kata-kata selanjutnya tidak sesingkat
pada awalnya.
"Cerpen adalah seni yang dituliskan, dan itu menggunakan alat yang kau
sebut sebagai bahasa. Mungkin kau mengira, lalu apa yang sulit dengan
bahasa? Memang tidak sulit. Sehari-haripun kau berbahasa. Tapi menulis
cerpen bukan seperti kau bertukar kabar burung dengan tetangga."
"Menulis cerpen, engkau harus memperhatikan betul hal-hal dasar dalam
berbahasa. Penguasaan kata, kemampuan menyusunnya menjadi kalimat yang
benar secara kaidah, mungkin tak perlu mewah dalam keindahan tapi
paling tidak tepat dalam penyampaian pesan yang kau inginkan dalam
setiap kalimat. Pengarang akan hancur kalau menyusun katapun ia masih
amburadul." Nada suara kelingking itu tak lagi mungil. Ia seperti
wanita tua yang terus memberondongku dengan omelannya.
"Coba lihat Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer milikmu itu. Ada berapa
halaman di dalamnya? Seribu Tujuh Ratus Empat Puluh Sembilan! Tebak
berapa kata ada di dalamnya, kalau satu halaman punya 20 entri saja.
Tiga puluh empat ribu sembilan ratus delapan puluh kata. Berapa kata
yang kau kenal? Berapa yang kau kuasai benar? Yang kau tahu benar
maknanya apa, bagaimana penempatannya yang tepat, atau bagaimana beda
yang spesifik dengan kata-kata lain yang tampak seperti padanannya?
Setengahnyakah? Atau hanya sepersepuluhnya?
Kutekuk tubuh kelingkingku. Curiga, jangan-jangan ada tatto nama Gorys
Keraf di buku punggungnya. Rupanya ia tak suka dengan perlakuanku.
Merajuk ia terus menutup. Dan itu akhirnya memancing si jari manis
angkat bicara. Didahului dengan sebuah dehem, suaranya agak serak
berat saat berkata,
"Ehm... Maaf, aku harus setuju dengan sahabatku yang mungil. Maafkan
kekenesannya, tapi ia benar. Menulis cerpen tidaklah segampang yang
mungkin kau kira."
Aku menatap si jari manis. Mestinya ia bergelang cincin, tapi entah
cincin itu terbang kemana. Pegadaian mungkin. Lucunya ia menyinggung
hal itu dalam kalimatnya.
"Aku jari yang sering menjadi tempat orang meletakkan cincin ikatan."
Katanya perlahan.
"Saat kau memandang sebuah cincin tersemat di jari manis seorang
wanita, cincin itu memberikan sebuah kesan, dan sekaligus sebuah
pesan. Kesan ia sudah terikat, dan pesan kau jangan coba mengganggunya. "
"Begitupula dengan sebuah cerpen, ia harus memberikan kesan dan pesan.
Dan untuk bisa mengungkapkan itu, penulis cerpen mau tak mau harus
menguasai hal dasar yang dikatakan kelingking tadi."
Aku tertegun mendengar nada suara jari manis yang terkesan begitu
dewasa. Lebih enak menerimanya dibanding omelan kelingking mungil tadi.
"Benar apa yang dikatakan telunjuk, cerpenmu bisa bercerita apa saja.
Tapi sungguhpun begitu, tetap kau menulis cerpen bukanlah untuk dirimu
sendiri, tetapi untuk mereka yang di luar sana. Kau harus membuat
mereka terkesan dengan bahasamu, dengan gaya yang kau bentuk saat
merangkai kata demi kata. Tapi sekaligus kau harus mampu mengangkat
pesan yang menggelisahkan dirimu. Mungkin tidak seluruh pesan akan
terungkap, itu akan sangat tergantung dari kemampuan pembaca untuk
mengapresiasi, tapi paling tidak cerpenmu seharusnya mempunyai lapisan
terluar yang memberi satu pesan terbuka."
"Bagaimana kalau aku hanya ingin bersenda gurau?"
"Bahkan sebuah senda gurau." Jawabnya matang.
"Tapi bukankah menyedihkan kalau pesan humor yang kau selipkan hanya
menjadi lelucon basi dan tertangkap sebagai rasa menyebalkan? Merunut
paragraf demi paragraf, pesan demi pesan, dan meletakkan yang kuat
pada psosisinya yang benar akan membuat cerpenmu menjadi cerpen yang
berharga bagi pembaca. Sebaliknya, kekacauan yang kau buat akan
membuat pesanmu tercecer dan tumpang tindih satu dengan yang lainnya.
Dan cerpenmu hanya menjadi satu tulisan di antara jutaan sampah dunia."
"Jadi?"
"Membuat cerpen itu tidak gampang teman." Si jari manis berkata, lalu
mengakhirinya dengan anggukan sopan saat membungkuk menutup dirinya.
Tinggal aku tertegun semakin bingung.
Dua jari bersetuju, mengarang itu gampang, dan dua jari menolaknya.
Rasanya aku harus mencari jawaban aku pada jari yang tersisa. Yang
ganjil sering menawarkan kebenaran bukan?
Tapi jari tengah itu tak bicara apa-apa. Kutunggu lama, ia tetap diam
tak bersuara. Mengacung tegak di antara empat jari yang tertutup,
memberi pesan yang tegas tanpa kata-kata.
Alamak…!
Bogor, Agustus 2008
Sentaby,
DBaonk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar
Posting Komentar