Oleh : Muhammad Sirul Haq
Pertanyaan mendasar mampukah bank syariah bertahan ditengah kondisi sistem keuangan yang dibangun berdasarkan sistem barat (baca : kafir). Tentu jawabannya teramat sulit, apalagi sistem keuangan barat telah berakar jauh mengalahkan sistem perbankan syariah. Dan terutama Indonesia, telah terjebak mulai dari kemerdekaan hingga hari ini pada sistem keuangan global yang lebih bermain pada pemberlakuan uang kertas bukan berdasarkan dinar dan dirham yang merupakan dasar mata uang yang semestinya dipakai oleh perbankan syariah.
Dalam acara seminar internasional ekonomi syariah yang berlangsung di Wisma Antara, Jakarta, hari ini (Kamis 13/8) Mantan Dirut Bank Muamalat Indonesia, Dr. Ahmad Riawan Amin mempertegas penyebab miskin umat Islam di Indonesia. Menurutnya, penyebab kemiskinan tersebut adalah bangsa ini masih terus terjebak pada satanic finance atau sistem keuangan setan yang diprakarsai negara-negara Barat.
“Ada tiga pilar yang menjadi kekuatan sistem keuangan setan. Yaitu, uang kertas, dibolehkannya bank melakukan pencetakan uang, dan sistem riba,” papar praktisi perbankan syariah yang aktif menulis buku tentang pentingnya penerapan sistem ekonomi syariah (Riawan Amin: Satanic Finance Bikin Umat Miskin. http://eramuslim.com/berita/nasional/riawan-amin-satanic-finance-bikin-umat-miskin.htm)
“Uang kertas yang sekarang menjadi alat tukar kita, sebenarnya uang yang dipaksakan. Karena tidak mempunyai nilai dari uang itu sendiri,” jelas Riawan. Karena itu, menurutnya, di antara langkah yang harus dilakukan umat Islam adalah selain kembali kepada sistem ekonomi syariah juga harus mulai menerapkan uang dinar dan dirham.
Mampukah kemudian Indonesia, terkhusus perbankan syariah melakukan itu. Apalagi, konsensus ekonomi global melalui IMF dan Bank Dunia mengharuskan Indonesia memakai uang kertas. Keterjebakan Indonesia tak lain adalah karena keterlilitan utang yang teramat sangat besar pada lembaga-lembaga donor yang tak lain telah di kontrol oleh Amerika dan sekutunya.
Mampukah kita keluar dari tekanan asing yang begitu besar, dan dimanakah kedaulatan Indonesia sebagai negara terkhusus kedaulatan pengontrolan ekonominya. Lebih lanjut Riawan Amin dalam situs eramuslim walaupun tidak menyebutkan siapa biang kerok di balik kebusukan sistem ekonomi saat ini. “Saya tidak perlu menyebutkan siapa. Tapi, saya yakin kita sudah tahu. Bayangkan, penduduk yang jumlahnya hanya 1 sampai 2 persen Amerika bisa menguasai 80 persen perekonomian Amerika. Dan orang-orang inilah yang menguasai 30 persen ekonomi dunia,” papar Riawan lebih jelas.
Masih menurut Riawan, Indonesia mungkin masih lebih bagus dari Amerika dalam soal keuangan. Karena bank sentralnya masih milik negara. Tapi di Amerika, The Fed atau bank sentral Amerika sama sekali bukan milik negara. Tapi gabungan dari beberapa perusahaan keuangan swasta di sana.
Artinya, kekuatan Indonesia sebagai negara takluk ditangan kapitalis berambut putih yang bercokol di negeri paman sam. Padahal, Indonesia sekarang lagi getol-getolnya ingin memperlebar sayapnya pada penerapan perbankan syariah. Jadi walaupun perbankan syariah tetap bertahan ataupun mengalami perkembangan pesat di Indonesia, tetap saja berada pada pilihan sulit bagaikan buah simalakama.
Upaya menekan pemerintah melalui kedaulatan sistem ekonomi pun sesuatu yang sangat mustahil. Kita tahu bersama bagaimana pemerintahan SBY dengan Sri Mulyani sebagai Menkoekuin lebih merupakan representasi barat. Sesuatu yang teramat sulit, apalagi kita telah terjebak dalam sistem utang yang memang berupaya menjajah kita secara langsung. Makanya, tak ada kebebasan sistem finansial yang bisa bertahan lama ditengah tekanan yang besar itu.
Mengeluarkan Indonesia dari pilihan itu hanya ada satu jawaban, yakni melakukan tindakan perlawanan. Kenapa kemudian harus melawan, ya sebab tak ada jalan lain ketika sistem ribawi masih berjalan. Artinya ada kondisi inkonsistensi keuangan yang akan diterapkan bank syariah itu sendiri, apalagi perlawanan besar bank syariah adalah melepaskan ketergantungan pada sistem perbankan konvensional yang memakai sistem riba.
Perlunya mendesak negara agar merubah kebijakan keuangan yang telah ada, dengan berupaya memberlakukan mata uang dinar dan dirham sebagai mata uang Indonesia. Ataupun kalau itu tidak memungkinkan, menjadikan dinar dan dirham sebagai pilihan alternatif. Artinya negara selain menerbitkan uang kertas karena tak bisa melepaskan diri dari kontrol barat, ya menggunakan sistem sampingan atau alternatif dengan mengeluarkan peraturan penggunaan uang dinar dan dirham sebagai jawaban atas kebutuhan riil di masyarakat dan terutama menggeliatnya perbankan syariah di Indonesia.
Memang perlu kerja keras dari berbagai pihak, terutama pihak perbankan syariah dan seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan akan hal ini. Karena bila ini tak dilakukan sama saja bohong dengan tetap menjalankan sistem perbankan syariah dengan menggunakan uang kertas, karena mau tak mau bila uang kertas pasti akan bermain pada pasar uang global. Dan pastilah bila bermain pada pasar keuangan global maka akan ada perhitungan riba yang bermain disitu, dan lebih parah lagi mata uang dan sistem ekonomi kita telah dikontrol jadi akan tetap dibawah tekanan yang sangat imperialisme.
Sangat bisa dipastikan, bila sistem keuangan yang mengikuti cara permainan penjajah itu. Maka gelombang krisis akan mudah menimpah lagi Indonesia setelah krisis finansial di tahun 1997, bahkan krisis yang melanda Amerika sampai hari ini masih memiliki dampak yang begitu besar pada negara ini.
Menurut Ir. Muhaimin Iqbal dalam kesempatan yang sama di situs eramuslim, mengungkapkan bahwa uang sebenarnya mempunyai tiga fungsi. Yaitu, sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan sebagai satuan perhitungan atau timbangan. “Uang kertas yang selama ini kita gunakan, baik rupiah, dolar, atau apa pun, sama sekali tidak mempunyai ketiga fungsi itu. Kecuali hanya sebagai alat tukar yang sangat terbatas,” jelas Iqbal yang juga pengusaha gerai dinar.
Masih menurut Iqbal, dunia sekarang selama kurun 85 tahun terakhir sedang menuju kehancuran besar dengan hanya menggunakan uang kertas. “Bahkan, sejak 27 tahun lalu, IMF telah melarang anggotanya untuk menggunakan dinar dan dirham sebagai referensi mata uang,” tegas Iqbal.
Kondisi ini memang sulit, pilihan tetap berada pada jejaring IMF membawa kita pada resiko hilangnya kedaulatan negara dalam pengaturan sistem ekonominya termasuk pemberlakuan dinar dan dirham. Disisi lain, upaya perubahan yang diinginkan dengan memberlakukan sistem ekonomi syariah dengan menggunakan dinar dan dirham akan membuat gelombang perlawanan yang begitu besar terhadap pemerintah kita sendiri dibawah kepemimpinan SBY dan Boediono yang diindikasikan lebih condong mengambil kebijakan neoliberalisme. Selain itu, mau tak mau akan berhadapan pula pada kaum penjajah yang telah merenggut kemerdekaan negara ini dari berbagai sektor terutama sektor keuangan yang sangat diatur ketat.
Hal ini sebagai sebuah pilihan sadar, tetap menjadi negara boneka dari kepentingan imperialis ataukah melakukan tindakan perlawanan dengan keluar dari jejaring keuangan yang sangat menyesatkan itu. Dan tentu saja, pilihan sadar bila kita ingin menjadi negara berdaulat dan betul-betul keluar dari penjajahan asing. Maka tak ada pilihan lain selain mengubah sistem keuangan negara ini, dan untuk melakukan itu harus merangkul semua elemen masyarakat yang sadar dan peduli bahkan mau tak mau semua lapisan masyarakat harus disadarkan.
Dan motor penggerak dari tindakan perlawanan ini, tak lain adalah secara khusus bank syariah yang memiliki kepentingan untuk memainkan peran menjalankan sistem perbankan syariah sebagai alternatif jawaban akan krisis dan pengontrolan finansial yang akan terus menekan. Dan tentunya, semua sektor lapisan masyarakat harus dirangkul untuk melakukan tindakan yang sama. Sebab tinggal diam, bukanlah sebuah tindakan yang bijak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar
Posting Komentar