Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak pro terhadap terhadap masyarakat adat, sikap anti (baca : tidak pro) itu memang tidak seperti yang dilakukan polisi dengan menembaki warga hingga mati tapi melalui kebijakan dan tindakan sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersama kekuasaannya, SBY telah memberikan keleluasaan kepada perusahaan pertambangan dan perkebunan untuk mengelolah lahan yang tak lain adalah milik masyarakat adat.
Keleluasaan itu, salah satunya berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) diantaranya PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Tambang. Dengan memberikan keleluasaan pengelolaan dan perizinan kepada perusahaan tambang untuk menduduki wilayah masyarakat adat, yakni tanah adat. Begitupun dengan perusahaan perkebunan diberikan keleluasaan yang sama, melalui izin yang kemudian diterbitkan kementerian terkait.
Dampak akan pemberian izin itu, tercatat berbagai tindakan kekerasan, penggusuran, pembakaran rumah hingga matinya warga masyarakat adat. Jika kita melihat lebih lanjut data yang dipaparkan Harian Kompas, Senin 29/Des/2011 pada halaman 1 (satu) kolom 6 dan 7, disebutkan berbagai rangkaian pembunuhan yang terjadi kepada masyarakat yang sebagian besar berada pada wilayah adat.
Ada 20 warga yang tewas kena tembak aparat yang tersebar dalam 7 tempat dan waktu kejadian yang berbeda. Diantaranya; Desa Alas Tlogo, Jawa Timur, 4 warga tewas tertembak (30 Mei 2007), Desa Koto Cengar, Kuantan Singingi, Riau, 2 warga tewas (8 Juni 2010), Desa Pelita Jaya, Mesuji, Lampung, 1 Warga tewas (6 Nov 2010), Tiak, Morowali, Sul-Teng, 2 warga tewas (22 agustus 2011), Desa Sei Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sum-Sel, 7 orang tewas (21 April 2011), Kecamatan Tanjung Raya, Mesuji, Lampung, 1 orang tewas (10 November 2011), dan Bima, NTB, 3 orang tewas (24 Desember 2011). Belum lagi, yang terjadi di Kajang, Bulukumba, Sul-Sel, juga di Sulawesei Tenggara dan paling mengenaskan pula di Papua.
Semua korban tewas itu, dan korban luka serta kekerasan yang diakibatkan oleh aparatus negara di lapangan, semua dengan dalil melindungi perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai aset vital. Namun, perlindungan itu merupakan keputusan dari pusat yakni Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, semua kendali kejadian di lapangan itu ada ditangannya. Ingat, TNI dan Kepolisian ada dibawah kendali dan perintah SBY selaku presiden.
Akibat perlindungan dan backing yang dilakukan pemerintah dan polisi sebagai penjaga lapangan (baca : anjing penjaga), tidak saja mengakibatkan kematian warga tapi juga segala yang berkenaan dengan kehidupan warga yang sebagian besar berada pada kawasan adat pada awalnya. Hitung saja, di setiap lokasi itu tidak ada yang dibawah 1.000 (seribu) Hektar pengelolaan kawasannya. Sangat tidak logis, bila kemudian tanah seluas itu tidak akan menggusur bahkan membantai habis warga yang secara turun temurun dan adat menempati dan mengembangkan budaya serta kehidupannya di daerah itu.
Perilaku bejat itu, mematikan pula kekayaan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, diantara rumah adat mereka, aksesoris kebudayaan mereka, lingkungan kebudayaan mereka dan secara paksa mereka harus meninggalkan kebudayaan mereka karena harus tergusur dan berlawanan langsung dengan polisi yang bersenjatakan api-senjata hasil dari uang rakyat yang dipajaki negara.
Kerja Sistematis, Terstruktur dan Masif
SBY dengan kampanye dan program politiknya yang pro rakyat, pada kenyataannya dilapangan tidak seperti itu justru berbalik arah 180 derajat. Apa yang terjadi pada masyarakat adat berupa pembunuhan massal itu, yang terjadi dalam sebaran wilayah dihampir seluruh kawasan di Indonesia, melibatkan aparat, dan dikerjakan melalui kebijakan terpusat dari SBY yang kemudian diturunkan hingga di pemerintahan daerah.
Ini membuktikan bahwa kerja-kerja pembunuhan masyarakat adat bukanlah sekedar pekerjaan sambil lalu, tapi memang telah digarap secara sistematis, terstruktur dan masif-yang dalam perkara pilkada di MK ini sudah tergolong pelanggaran yang berakhir pada pilkada ulang.
Sistematis, karena dikerjakan dengan ada sebuah sistem berjalan yang di pandu dari awal melalui kebijakan pemerintah pusat hingga ke daerah tambang ataupun perkebunan. Terstruktur, karena melibatkan aktor-aktor yang berada pada struktur kekuasaan negara hingga daerah. Dan massif, karena terjadi merata disemua wilayah tambang dan perkebunan di wilayah Indonesia.
Pembunuhan yang sangat rapih, penuh intrik, mungkin licik, dan ini bisa digolongkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat (UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM), dimana telah melanggar hak hidup berdasarkan Pasal 18B UUD 45, UU No 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, dan UU No 11 tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Lantas ini seakan terjadi pembiaran, tak ada langkah hukum terutama dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membawa persoalan ini pada ranah hukum sebagai sebuah pelanggaran HAM yang harus diadili di pengadilan Ad Hoc HAM?.
Keleluasaan itu, salah satunya berupa penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) diantaranya PP No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Tambang. Dengan memberikan keleluasaan pengelolaan dan perizinan kepada perusahaan tambang untuk menduduki wilayah masyarakat adat, yakni tanah adat. Begitupun dengan perusahaan perkebunan diberikan keleluasaan yang sama, melalui izin yang kemudian diterbitkan kementerian terkait.
Dampak akan pemberian izin itu, tercatat berbagai tindakan kekerasan, penggusuran, pembakaran rumah hingga matinya warga masyarakat adat. Jika kita melihat lebih lanjut data yang dipaparkan Harian Kompas, Senin 29/Des/2011 pada halaman 1 (satu) kolom 6 dan 7, disebutkan berbagai rangkaian pembunuhan yang terjadi kepada masyarakat yang sebagian besar berada pada wilayah adat.
Ada 20 warga yang tewas kena tembak aparat yang tersebar dalam 7 tempat dan waktu kejadian yang berbeda. Diantaranya; Desa Alas Tlogo, Jawa Timur, 4 warga tewas tertembak (30 Mei 2007), Desa Koto Cengar, Kuantan Singingi, Riau, 2 warga tewas (8 Juni 2010), Desa Pelita Jaya, Mesuji, Lampung, 1 Warga tewas (6 Nov 2010), Tiak, Morowali, Sul-Teng, 2 warga tewas (22 agustus 2011), Desa Sei Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sum-Sel, 7 orang tewas (21 April 2011), Kecamatan Tanjung Raya, Mesuji, Lampung, 1 orang tewas (10 November 2011), dan Bima, NTB, 3 orang tewas (24 Desember 2011). Belum lagi, yang terjadi di Kajang, Bulukumba, Sul-Sel, juga di Sulawesei Tenggara dan paling mengenaskan pula di Papua.
Semua korban tewas itu, dan korban luka serta kekerasan yang diakibatkan oleh aparatus negara di lapangan, semua dengan dalil melindungi perusahaan pertambangan dan perkebunan sebagai aset vital. Namun, perlindungan itu merupakan keputusan dari pusat yakni Presiden SBY sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, semua kendali kejadian di lapangan itu ada ditangannya. Ingat, TNI dan Kepolisian ada dibawah kendali dan perintah SBY selaku presiden.
Akibat perlindungan dan backing yang dilakukan pemerintah dan polisi sebagai penjaga lapangan (baca : anjing penjaga), tidak saja mengakibatkan kematian warga tapi juga segala yang berkenaan dengan kehidupan warga yang sebagian besar berada pada kawasan adat pada awalnya. Hitung saja, di setiap lokasi itu tidak ada yang dibawah 1.000 (seribu) Hektar pengelolaan kawasannya. Sangat tidak logis, bila kemudian tanah seluas itu tidak akan menggusur bahkan membantai habis warga yang secara turun temurun dan adat menempati dan mengembangkan budaya serta kehidupannya di daerah itu.
Perilaku bejat itu, mematikan pula kekayaan tradisional yang dimiliki masyarakat adat, diantara rumah adat mereka, aksesoris kebudayaan mereka, lingkungan kebudayaan mereka dan secara paksa mereka harus meninggalkan kebudayaan mereka karena harus tergusur dan berlawanan langsung dengan polisi yang bersenjatakan api-senjata hasil dari uang rakyat yang dipajaki negara.
Kerja Sistematis, Terstruktur dan Masif
SBY dengan kampanye dan program politiknya yang pro rakyat, pada kenyataannya dilapangan tidak seperti itu justru berbalik arah 180 derajat. Apa yang terjadi pada masyarakat adat berupa pembunuhan massal itu, yang terjadi dalam sebaran wilayah dihampir seluruh kawasan di Indonesia, melibatkan aparat, dan dikerjakan melalui kebijakan terpusat dari SBY yang kemudian diturunkan hingga di pemerintahan daerah.
Ini membuktikan bahwa kerja-kerja pembunuhan masyarakat adat bukanlah sekedar pekerjaan sambil lalu, tapi memang telah digarap secara sistematis, terstruktur dan masif-yang dalam perkara pilkada di MK ini sudah tergolong pelanggaran yang berakhir pada pilkada ulang.
Sistematis, karena dikerjakan dengan ada sebuah sistem berjalan yang di pandu dari awal melalui kebijakan pemerintah pusat hingga ke daerah tambang ataupun perkebunan. Terstruktur, karena melibatkan aktor-aktor yang berada pada struktur kekuasaan negara hingga daerah. Dan massif, karena terjadi merata disemua wilayah tambang dan perkebunan di wilayah Indonesia.
Pembunuhan yang sangat rapih, penuh intrik, mungkin licik, dan ini bisa digolongkan dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat (UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM), dimana telah melanggar hak hidup berdasarkan Pasal 18B UUD 45, UU No 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, dan UU No 11 tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Lantas ini seakan terjadi pembiaran, tak ada langkah hukum terutama dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membawa persoalan ini pada ranah hukum sebagai sebuah pelanggaran HAM yang harus diadili di pengadilan Ad Hoc HAM?.
Tidak ada komentar
Posting Komentar