Penulis adalah advokat
Mewaspadai modus Gurita Cikeas (GC) sepatutnya dilakukan pula pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2010. Indikasi duplikasi modus GC sangat mudah tercium pada pesta demokrasi setingkat pilkada yang tidak hanya terjadi pada pemilihan presiden, dimana diduga keterlibatan yayasan-yayasan dalam lingkaran dan tim kampanye SBY dalam menggunakan penggelapan dana Bank Century demi melenggangkan SBY-Boediono ke Istana Negara. Sebab logika sederhana yang diungkapkan George Junus Aditjonro (GJA) dalam karyanya Membongkar Gurita CIkeas (MGC), secara jelas memaparkan sejauhmana kepentingan modal dalam pemenangan calon.
Modal berperan sangat besar dalam menggerakkan mesin-mesin pemenangan, dimana diketahui bersama bahwa ongkos pemilu di Indonesia terbilang berbiaya tinggi. Bukan biaya yang sedikit untuk menggelontorkan anggaran pencetakan atribut kampanye, mulai dari baligho, bendera, pataka, baju, sticker hingga iklan media cetak dan elektronik. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan guna membiayai tim pemenangan yang bergerak pada level ring 1 para calon hingga pada tingkatan terkecil di setiap daerah pemilihan.
Biaya milyaran yang harus dikeluarkan bukan lagi menjadi isapan jempol semata, tapi merupakan keharusan yang selayaknya disediakan para calon yang ingin maju pada pilkada. Karena setiap calon harus mendapat dukungan partai politik, dan biaya untuk mendapatkan dukungan politik dari partai politik pun terbilang selangit. Apalagi dukungan yang diharapkan dari mesin politik resmi diatur dalam Pasal 59 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai sebuah keharusan kecuali calon independen, sehingga tak bisa dielakkan jual beli partai politik menjadi marak mendekati pelaksanaan pilkada.
Sementara pergerakan calon independen yang secara resmi diakui berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tetap memerlukan biaya tinggi, karena untuk mengimbangi kekuatan calon yang didukung partai politik memiliki kekuatan dana yang sangat besar. Maka sangat bisa dipastikan, pada calon independen akan kalah telat bila tidak memiliki dana yang sama besarnya dengan calon yang bergerak dengan mesin politik, karena ongkos untuk membentuk jaringan tim pemenangan bukan harga yang murah diluar dari perangkat kampanye lainnya.
Indikasi Gurita Cikeas
Pemaparan GJA dalam buku MGC sangat jelas digambarkan bagaimana jejaring mesin pemenangan yang dibuat semassif mungkin, mulai dari lingkaran terdalam tim pemenangan hingga lingkaran terluar pemenangan pemilihan. Dan diulas dengan gamblang bagaimana keterlibatan dana yang dibutuhkan untuk menggerakkan tim kampanye tersebut, dengan anggaran sangat besar sehingga upaya menghisap sumber-sumber dana dari luar harus pula dilakukan tidak hanya bersandar pada kekuatan dana para calon.
Pembentukan beberapa yayasan, tak lain demi merangkul dana-dana pendukung dari pihak ketiga baik secara langsung maupun tidak langsung menyokong dan memiliki kepentingan pula bagi kemenangan calon. Ada 4 sumber dana yang sangat kental menjadi aliran dana pihak ketiga, mulai dari para pemilik modal yakni pengusaha perseorangan, korporasi berbentuk badan hukum dan BUMN, pihak asing atau luar negeri, dan tentunya dana dari pengelapan anggaran yang juga termasuk didalamnya dana money laundry (pencucian uang).
Bagaikan gurita, keempat sumber tersebut mengalir baik secara swadaya maupun melalui rekayasa agar tak terindikasi pelanggaran pemilu, terutama dalam persoalan anggaran kampanye yang tak boleh menggunakan dana dari BUMN, pihak asing dan dana dari sebuah kejahatan semisal penggelapan dan korupsi. Agar dana itu dengan mudah masuk, dibuatlah alirannya tidak dilakukan secara langsung tapi melalui aliran yang terbilang canggih melalui rekening siluman.
Aliran dana sumbangan illegal itu, biasanya disetorkan dulu melalui sebuah bank mirip modus Bank Century. Agar dana itu tak langsung masuk pada rekening tim kampanye secara resmi tercatat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga sulit dilacak oleh panitia pengawas pemilu (panwaslu), dibuatlah berbagai yayasan untuk menampung dana tersebut sebagai bentuk rekening siluman. Dana yayasan tersebut pun digunakan oleh pengurus yayasan dengan membuat berbagai kegiatan yang katanya tidak berkaitan dengan politik, padahal kerja-kerjanya secara langsung dan tidak langsung menggerakkan mesin politik dan jaringan-jaringan pemenangan hingga pada tingkat terbawah.
Adapula aliran dana dari yayasan dan bank yang masuk ke rekening tim kampanye, tidak melebihi ambang batas dari aturan yang ditetapkan oleh UU dan aturan KPU. Sehingga tidak terlihat sebagai suatu pelanggaran dalam pengaturan anggaran dana kampanye, apalagi kekuatan KPU dan Panwaslu dalam kebijakan menyikapi pelanggaran anggaran kampanye terbilang mandul. Hal ini memang telah direkayasan sistematis melalui UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang secara sengaja dibuat agar sulit terjerat, indikasi pelanggaran hanya diberi kepada Panwaslu waktu 3 hari untuk diusut ditambah 5 hari bila masih membutuhkan informasi dan data sejak ditemukannya pelanggaran (Pasal 190, ayat 6 dan 7 UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Padahal untuk membongkar kejahatan pidana sangat tidak masuk akal akan selesai dalam jangka waktu singkat, sementara kejahatan tersebut terjadi secara sistematis dan profesional.
Modus Duplikasi
Mengecek modus duplikasi pada pelaksanaan pilkada sebenarnya memiliki kesamaan, cuman yang membedakan adalah para pelaku, skala wilayah dan jumlah anggarannya. Modus paling nyata yang pernah terungkap hingga penangkapan oleh KPK adalah fungsionaris PAN, Abdul Hadi Jamal yang menggunakan dana penggelapan pembangunan kawasan pelabuhan yang ada di Indonesia bagian timur. Jadi begitu pula yang terjadi di Pilkada, para calon yang maju terutama yang masih berada di lingkungan kekuasaan sangat memiliki indikasi menggelapkan dana anggaran pemerintah daerah.
Kekuatan dana bagi para incumbent, apalagi bila ia penguasa yang bukan pengusaha atau memiliki anggaran pribadi untuk maju, maka dapat dipastikan aliran dana dari pihak ketiga akan sangat besar. Terutama yang memiliki kepentingan adalah para pengusaha yang berupaya mempertahankan usaha mereka tetap langgeng di daerah tersebut, menguras kantong para kepala SKPD (Satuan Kerja Pelaksana Dinas) dengan ancaman akan diturunkan jabatan bila tidak melakukan dukungan dana dan dari BUMD tak luput dari penghisapan logistik.
Modusnya sangat jelas, dana-dana siluman itu tak mungkin masuk melalui rekening yang terdaftar di KPUD yang diawasi oleh Panwaslu. Tapi dana itu akan mengalir ke rekening-rekening yang dibuat secara terpisah dan tertutup yang sulit dideteksi publik, biasanya menggunakan nama pihak ketiga di rekening yang biasanya orang-orang atau badan hukum yang juga ada dalam lingkaran para calon.
Dana liar itu tak masuk begitu saja sebagai sumbangan sukarela, tapi memiliki muatan politik juga yang biasanya terjalin melalui kontrak politik terselubung. Kontrak itu sangat jelas demi kepentingan dana pula, sebab tak ada yang ingin rugi dalam pertarungan politik layaknya pertaruhan di meja judi. Siapa yang menang maka bersiap-siap menfasilitasi para pengusaha dan jejaring sumbangan dana tersebut dalam berbagai proyek di daerah, dan biasanya akan melukai kepentingan rakyat serta melabrak aturan yang berlaku.
Maka tak heran, bagi para kepala daerah maupun kepala negara yang menang pemilu akan memanjakan para tim pemenangannya baik yang berada di lingkungan kekuasaan maupun yang diluar. Modus yang paling jelas terlihat adalah penggantian mobil dinas bagi pejabat terkait, sebagai bentuk pelampiasan pesta politik dari sebuah kemenangan walaupun melukai rasa keadilan masyarakat. Hal lain, kepala daerah biasanya mengakomodasi kepentingan pengusaha lewat kebijakan dan rekayasa proyek demi politik balas budi.
Politik balas budi inilah yang biasa lahir melalui proyek-proyek pembangunan di daerah yang biasanya mengorbankan kepentingan masyarakat. Semisal pembangunan mall di area publik yang tidak seharusnya dijadikan tempat berbisnis, tapi kemudian itu tetap dilakukan walaupun kemudian masyarakat tak bisa lagi menikmati tempat tersebut sebagai kawasan akses publik atau daerah kepemilikan umum. Menempatkan orang-orang pada jabatan di pemerintahan, walaupun orang-orang tersebut tidak memiliki kapasitas untuk berada disitu. Dan bila kursi kekuasaan telah penuh dan masih banyak yang harus ditampung, maka dibuatlah berbagai jabatan yang sebelumnya tak pernah ada semisal jabatan wakil kepala yang cenderung hanya mubassir dan pemborosan anggaran.
Lantas dimanakah kepentingan masyarakat yang dulunya dikejar-kejar untuk mendapatkan suara agar bisa melenggang ke kursi kekuasaan? Jawabannya tentunya akan dinomor tigakan, atau hanya menjadi bentuk eksploitasi saja. Slogan kampanye yang memihak rakyat dengan berbagai program menggiurkan, kini hanya tinggal janji hisapan jempol semata. Jika indikasi tersebut benar adanya, haruskah kemudian pesta demokrasi yang digelar dengan biaya mahal tetap dilaksanakan tanpa pemihakan kepada rakyat dan penegakan hukum secara pasti bagi yang melanggarnya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar
Posting Komentar