Oleh :
Muhammad Sirul Haq
{Anggota Tim Deklarasi CICAK SUl-SEl dan Advokat pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM)}
Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini sedang hangat bergulir, bahkan upaya itu terlihat hingga pada pemotongan kewenangan KPK hanya sebagai lembaga pencegahan korupsi saja. Ada 11 upaya melemahkan KPK, diantaranya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berupa mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan pasal 53 UU KPK tidak sah. Perlu dibentuk dengan UU tersendiri yakni UU Pengadilan Tipikor. MK memberikan batas waktu sampai tahun 2009 sejak diputuskan 19 Desember 2006. (Rilis Media Gerakan Cintai Indonesia Cintai KPK – dan tulisan ini merupakan intisari dari rilis tersebut).
Artinya bila sampai pelantikan baru anggota DPR, ini mengindikasikan perlunya pembenahan ulang dari awal. Karena dapat dipastikan sebagian anggota dewan yang mengurusi persoalan RUU Tipikor adalah wajah baru yang mungkin tidak mengetahui sama sekali mengenai isu dan substansi isi dari RUU Tipikor tersebut.
Alasan lain, muncul upaya “pembajakan KPK” melalui proses seleksi fit and propert test pimpinan KPK jilid III. Track record calon tidak menjadi pertimbangan dalam memilih, ini mengindikasikan para anggota dewan yang pro pelemahan KPK akan bertindak aneh, dengan menghapuskan beberapa calon terutama pengganti Antasasri Azhar (AA) yang terpilih menjadi Ketua KPK 10 Desember 2007. Apalagi penyudutan AA dalam keterkaitan dengan kasus dugaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, dan indikasi penyeretan keterlibatan beberapa anggota KPK lainnya.
Chandra Hamzah, wakil Ketua KPK diperiksa sebagai saksi oleh Mabes Polri. Para petinggi Polri memberi sinyal Chandra diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, yang menyeret Ketua KPK nonaktif AA pada bulan Juni 2009. Tolak ukur kasus pidana yang menimpa AA dan penggiringan beberapa unsure KPK terkait, mengindikasikan adanya penekanan secara langsung dan mengaduk-aduk keberadaan institusi pemberantas korupsi ini. Sehingga dengan muda bagi para pihak yang tidak menyukai keberhasilan KPK, sangat kuat diindikasikan akan bertindak dengan memilih ketua KPK yang tidak memiliki kredibilitas yang bagus dan bisa diandalkan menggantikan AA dikemudian hari.
Selain itu, ada pula isu ancaman pemboman Gedung KPK. Namun setelah ditelusuri tidak ditemukan ancaman itu yang terjadi pada 6 Februari 2008, dan diindikasi hanya berupa penyudutan terhadap tindakan riil yang dilakukan oleh KPK terhadap pengejaran para koruptor kakap di Indonesia. Secara beruntun pula, ada wacana pembubaran KPK yang dilakukan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR Ahmad Fauzi. Hal ini terkait dengan penggeledahan KPK di Gedung DPR. Ahmad menilai, KPK menjadi lembaga yang super dalam menangani kasus-kasus korupsi. Bagi Ahmad Fauzi yang mengeluarkan pernyataan pada April 2008, mengatakan UU KPK perlu direvisi dengan alasan yang tidak logis.
Ketidak logisan itu terlihat pula pada penolakan anggaran KPK terutama dalam operasional pemberantasan korupsi menemukan jalan buntu, indikasi ini terlihat pada permintaan tambahan dana dalam rekening 069 pada RAPBN 2009 untuk KPK sebesar Rp90 miliar ditolak DPR dengan alasan belum pernah dibicarakan dalam rapat Komisi III DPR pada November 2008. Dan sangat berimbas pada proses legislasi UU antikorupsi, terkhusus mengenai RUU KPK. Pemerintah dan DPR memasukkan Revisi UU KPK ke dalam Program Legislasi Nasional 2004-2009. Jika UU KPK dibahas, potensial justru akan melemahkan KPK. Namun proses pembahasan batal dilakukan, apalagi banyaknya anggota DPR yang lengser dan digantikan wajah baru yang tidak mengikuti alur jelas mengenai peraturan tersebut.
RUU Tipikor pun memiliki isu krusial, diantaranya kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan yang pernah dilimpakan ke DPR Mei 2009. RUU Pengadilan Tipikor yang juga terdapat isu krusial, berupa komposisi hakim ad hoc mulai diperkecil, Ketua Pengadilan diberikan kewenangan penuh memilih hakim, pembentukan pengadilan tipikor disetiap kabupaten yang telah dilimpakan ke DPR September 2008. Proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di Pansus DPR masih macet, jika tidak disahkan hingga 19 Desember 2009, maka semua kasus yang ditangani oleh KPK akan diadili oleh pengadilan umum.
Lebih mengherankan lagi, ada indikasi tindakan penarikan personel dari KPK yang dilakukan mabes POLRI, dengan berupaya menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK pada November 2008. BPKP berupaya menarik 25 personelnya dari KPK dan akan memberikan sanksi jika menolak. Namun rencana urung dilaksanakan pada Mei 2009, berkat adanya desakan dari elemen masyarakat yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi agar tak melemahkan KPK.
Tidak hanya sampai disitu saja, tindakan pembatasan kewenangan penyadapan bagi KPK pun menjadi isu hangat, ini muncul dari sejumlah anggota Komisi III DPR. Muncul ide pembatasan penyadapan KPK melalui Revisi UU KPK yang dilaksanakan pada Agustus 2008. Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah terkait, bagi upaya pembatasan dan mungkin berupa tindakan pengubahan beberapa pasal dalam revisi UU KPK.
Ada dorongan dari sebagian anggota Komisi III DPR untuk meminta KPK tidak melakukan penyidikan atau penuntutan selama komposisi pimpinan tidak lengkap 5 orang yang dilakukan pada Mei 2009. BPKP berupaya melakukan audit terhadap KPK atas perintah Presiden, namun SBY membantah adanya tindakan itu pada Juni 2009. Padahal secara terang-terangan semua media baik cetak maupun elektronik memberitakan hal tersebut, sehingga tak ada upaya mengelak yang sepantasnya dilakukan SBY. Apalagi dalam setiap kampanyenya, SBY selalu menekankan upaya pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan sepatutnya ditagih hingga 5 tahun ke depan.
Deklarasi Cicak
Sejumlah elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu korupsi terutama mengenai tindakan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap proses pelemahan KPK, perlu melakukan tindakan perlawanan bersama. Dan tindakan perlawanan itu muncul dengan menggunakan simbol CICAK sebagai singkatan dari Cinta Indonesia Cinta KPK. Hal ini berkaitan pula dengan kondisi semakin tidak baik, ketika salah seorang perwira POLRI menggunakan istilah “Cicak kok Mau Melawan Buaya”. Penggunaan istilah ini dinilai semakin menunjukkan resitensi pihak tertentu dengan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Akan tetapi, Deklarasi Gerakan CICAK yang telah dilakukan di Jakarta pada 12 Juli 2009 yang dilakukan elemen masyarakat tersebut tidak ditujukan untuk menyerang salah satu institusi. Karena personifikasi Buaya lebih mengarah pada seluruh kekuatan “corruptor fight back” yang terus menerus menyerang KPK dan melemahkan pemberantasan korupsi. Jika dulu koruptor perseorangan dilambangkan dengan tikus, maka saat ini koruptor yang mengkonsolidasikan diri dan bersarang di instansi negara disimbolkan dengan Buaya (koruptor). Kekuatan itulah yang saat ini mengepung KPK dari berbagai arah.
Makanya, upaya perluasan perlawanan itu kemudian digulirkan pula oleh semua elemen masyarakat di Sulawesi Selatan, terutama kota Makassar. Dengan rencana akan melakukan deklarasi CICAK Sul-Sel pada Kamis, 20 Agustus 2009, untuk menggaungkan tindakan pelemahan KPK secara khusus, dan pemberantasan korupsi secara umum. Sangat diharapkan, secara umum bagi masyarakat dan siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap upaya pemberantasan korupsi khususnya yang ada di Sul-Sel, dukungan terhadap KPK agar tidak surut dalam pemberantasan korupsi dan upaya pihak bertanggungjawab untuk melemahkan keberadaan KPK melalui perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK.
Sehari berselang setelah Deklarasi Gerakan CICAK, Presiden mengundang sejumlah pimpinan Lembaga Negara yang terkait penegakan hukum di Istana Negara (13/7/09). Seperti diketahui, KPK dan POLRI hadir disana. Selain itu, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, BPK, BPKP dan Kejaksaan pun turut diundang.
Sebenarnya masyarakat berharap, Presiden bisa memperkuat fungsi dan peran KPK untuk memproses kasus korupsi yang terjadi diinsitusi manapun. Akan tetapi, kesan yang muncul ke publik justru sebaliknya. Penggunaan frase seperti: KPK jangan jebak koruptor, sebaiknya prioritas pada pencegahan korupsi, dan jangan sampai ada rivalitas antar penegak hukum menimbulkan kekhawatiran baru. Wajar jika masyarakat menilai, tidak banyak hal krusial dan kabar baik bagi pemberantasan korupsi dari rapat koordinasi tersebut.
Prioritas Pemberantasan Korupsi pada strategi pencegahan termasuk poin yang seringkali dikritik keras oleh publik. Bagaimana mungkin dalam kondisi korupsi menjalar dan tumbuh besar diberbagai institusi negara, yang dilakukan justru “pencegahan”? Kasus-kasus di Bea dan Cukai adalah contoh terbaik yang seharusnya jadi acuan. Meskipun strategi pencegahan telah dimulai sejak lama, namun saat KPK melakukan penggrebekan, suap dan praktik pungutan liar masih tetap tumbuh dan terjadi.
Dalam kondisi korupsi Indonesia yang masih terpusat di Institusi Politik, seperti Legislatif dan Partai Politik serta lembaga penegak hukum, maka penggunaan strategi pencegahan sama halnya dengan tindakan kompromi dengan koruptor. Lagipula, pencegahan korupsi dilakukan untuk kasus korupsi yang belum terjadi, itupun dalam jangka panjang. Jika korupsi sudah terjadi, pilihan strategi yang dilakukan tetap pencegahan, hal itu sama artinya menggunakan isitilah pencegahan sebagai legitimasi melindungi koruptor.
Oleh karena itu, lewat deklarasi CICAK sangat mengharapkan agar KPK tetap kuat melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan memprioritaskan strategi penindakan. KPK memprioritaskan membongkar kasus korupsi di lembaga penegak hukum. Dan Presiden, Kepolisian beserta Kejaksaan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Bila kemudian presiden SBY tidak melakukan tindakan tersebut, ini sangat mengindikasikan kekecewaan yang teramat sangat dengan terpilihnya kembali sebagai presiden 5 tahun kedepan. Padalah keberadaannya sebagai hasil pencitraan sangat terbantukan dengan kampanye anti korupsi dan upaya pemenjaraan koruptor tanpa pandang bulu. Kita lihat saja, apakah SBY mampu melakukan itu ataukah hanya sesumbar janji politik saja.
(tulisan ini dimuat di Harian Tribun Timur, edisi 18 Agustus 2009 pada kolom OPINI)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar
Posting Komentar