Oleh : Muhammad Sirul Haq
Beredarnya transkrip percakapan upaya pelemahan KPK dengan mencatut nama SBY selaku Presiden Republik Indonesia (RI) dalam percakapan itu, mengindikasikan adanya keterlibatan Presiden SBY dalam tindakan pelanggaran hukum berupa kejahatan sistematis yang dilakukan pejabat negara. Dengan berlandas pada asas pressuntium of innocence atau asas praduga tak bersalah seharusnya pihak kepolisian RI melakukan tindakan hukum, berdasarkan tugas dan kewenangan melakukan penyelidikan indikasi pelanggaran hukum dalam transkrip rekaman KPK tersebut.
Kepolisian harus bertindak secara professional dalam menyikapi beredarnya transkrip tersebut yang telah diputar pada sidang terbuka Mahkamah Konstitusi, melakukan tindakan mengusut tuntas kebenaran transkrip dan rekaman KPK dengan memanggil semua pihak yang berkaitan dengan hal itu – tindakan Mahkamah Konstitusi melalui Judicial Review Pasal 30 UU KPK juga meminta transkrip dan rekaman KPK itu sebuah tindakan benar demi kejelasan proses hukum konstitusi. Mulai dengan membuktikan kesamaan isi transkrip dengan audio rekaman KPK, memanggil pula pihak KPK yang melakukan perekaman suara, pihak-pihak yang bercakap, serta SBY selaku Presiden yang katanya dicatut dalam rekaman tersebut.
Benarkah kemudian nama SBY selaku Presiden telah dicatut ataukah ada indikasi keterlibatan yang dilakukan secara sistematis. Presiden SBY sendiri menegaskan agar mengusut tuntas pencatutan namanya, apalagi keinginan SBY dalam pemerintahannya yang sangat berkeinginan melakukan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Jadi pihak kepolisian telah memiliki signal positif yang ditunjukkan oleh SBY, tinggal kemudian apakah Jend. Bambang Hendarso Danuri selaku Kapolri memiliki itikad bekerja secara professional.
Apalagi dalam percakapan itu, SBY disebut-sebut sebagai pihak yang telah merestui adanya tindakan “pembunuhan” KPK dengan menggunakan aparatus penegak hukum yakni kepolisian dan kejaksaan untuk menggunakan kewenangannya melakukan konspirasi. Menggunakan kasus Anggoro dalam penerbitan surat pencekalan KPK sebagai dalih penangkapan 2 (dua) pimpinan KPK, diantaranya Bibit dan Chandra.
Keterlibatan SBY, dapat diindikasikan selaku kepala pemerintahan yang memiliki control terhadap kepolisian dan kejaksaan, karena aturan baku dalam penangkapan pejabat tinggi Negara sekelas KPK haruslah sepengetahuan Presiden. Jadi tindakan kepolisian yang melakukan pemanggilan, penahanan dan penetapan sebagai tersangka terhadap Bibit dan Chandra adalah sebuah tindakan yang tak mungkin tidak diketahui SBY.
Indikasi kuat diketahuinya segala persoalan mengenai kasus penetapan tersangka terhadap Bibit dan Chandra, dengan keinginan kuat SBY menggeser mereka dari pimpinan KPK. Melakukan penunjukan tim 5 (lima) untuk melakukan penyaringan terhadap dalih mengisi kekosongan pimpinan KPK yang bermasalah, dengan menyeleksi berbagai figur untuk menentukan 3 (tiga) plt KPK. Agar tindakan itu kemudian dianggap legal secara hukum, SBY selaku pemangku kekuasaan yang memiliki kewenangan berdasarkan UUD 45 mengeluarkan PERPPU walaupun muncul kontroversi bahwa sebenarnya Negara tidak dalam keadaan bahaya.
Padahal dalam penerbitan PERPPU dan tim 5 itu sendiri terkesan dipaksakan, karena penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan kepolisian tidak memiliki sangkaan yang jelas. Masih bersifat premature status Bibit dan Chandra ini ditunjukkan dengan sikap MK melalui sidang Judicial Review UU KPK terutama pasal 30 yang diajukan Bibit dan Chandra berkaitan dengan pergantian pimpinan KPK dan terbitnya PERPPU yang ditandatangani langsung Presiden SBY. MK meminta Bibit dan Chandra tidak diberhentikan dulu dari jabatan pimpinan KPK hingga keluarnya putusan MK mengenai persoalan tersebut.
Prosedur Penangkapan
Menangkap Presiden dengan dugaan keterlibatan dalam “pembunuhan” KPK bukanlah hal yang sulit. Berdasarkan transkrip rekaman adalah bukti terjadinya suatu peristiwa hukum yang berindikasi pada terjadinya pelanggaran hukum. Pihak kepolisian, berdasarkan bukti permulaan berupa transkrip rekaman memiliki kewajiban tugas melakukan tindakan standar penanganan perkara. Dan strandar itu adalah memeriksa semua nama yang tercatut dalam rekaman tersebut, namun yang sangat dikecewakan pihak kepolisian tak bekerja secara professional.
Jendral Bambang Hendarso Danuri (BHD) bisa saja melakukan hal yang sama terhadap Bibit dan Chandra, namun hal itu tak dilakukan. Padahal bukti permulaan dalam rekaman rekayasa KPK itu sudah jelas memperlihatkan alur perkara yang sangat runut memaparkan persoalan sebenarnya, dengan durasi rekaman sekitar 4,5 jam adanya tindakan sistematis melibatkan aparat penegak hukum, makelar kasus dan tentunya penggunaan jabatan Presiden untuk menggunakan kekuasaan melakukan konspirasi.
Lebih lanjut, rekaman percakapan Anggodo teramat sangat jelas pula melakukan upaya pembunuhan berencana terhadap Bibit dan Chandra. Dan lagi-lagi, keinginan Anggodo itu diungkapkan diketahui dan telah diamini oleh SBY. Ini berarti adanya pelibatan yang sangat sistematis dan terencana yang merupakan pelanggaran pidana. Secara jelas ini tertuang pada Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi;
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”
Pada penjelasan Pasal 340 dalam buku KUHP dan Penjelasan karangan R. Sugandhi, SH, timbulnya suatu keinginan pembunuhan yang kemudian direncanakan dengan timbulnya niat, untuk mengatur rencana dan cara bagaimana pembunuhan itu akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga si pelaku masih dapat berfikit, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu. Waktu itu tidak boleh demikian sempit, tetapi juga tidak perlu terlalu lama. Yang penting di sini ialah bahwa dalam waktu itu sipelaku masih dapat berfikir dengan tenang, apakah ia akan membatalkan niatnya atau meneruskan rencananya.
Walaupun belum terwujud, Anggodo yang katanya diketahui oleh RI 1 berkeinginan menghabisi nyawa Bibit dan Chandra yang sangat berkaitan dengan konspirasi penetapan sebagai tersangka dan tindakan penahanan oleh aparat kepolisian, yang dalam hal ini dilakukan oleh Susno Djuaji selaku Kabareskrim waktu itu. Jadi sangat jelas, adanya alur peristiwa yang sangat diatur dengan rapih menggunakan uang, jabatan dan kekuasaan melakukan tindakan pidana yang dilakukan secara berjamaah oleh Anggodo, Oknum Kepolisian dan tentunya RI 1 yang dicatut ataukah memang betul sebagai pihak yang memberikan lampu hijau.
Sebuah alibi hukum pun sangat jelas terjadi tindakan konspirasi terhadap alur peristiwa yang terjadi terhadap diri dan atas nama jabatan terhadap Bibit dan Chandra. Ini terlihat dengan penetapan Bibit dan Chandra sebagai tersangka yang kemudian secara cepat dan lugas disikapi SBY dengan mengeluarkan PERPPU, padahal keluarnya peraturan istimewa itu seharusnya dalam keadaan negara yang gawat. Padahal negara waktu dikeluarkannya PERPPU Indonesia dalam keadaan tenang-tenang saja, bahkan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan Indonesia secara ekonomi dalam keadaan wajar ketika ditanya mengenai kondisi ekonomi walaupun dalam tempat dan suasana berbeda.
Seharusnya pula tindakan SBY mengeluarkan PERPPU harus disikapi secara hukum melalui MK, dan bila kemudian tindakan pengeluaran PERPPU itu merupakan tindakan yang dipaksakan dalam kondisi negara yang tidak memaksa. Maka sewajarnya, MK juga mengeluarkan putusan PERPPU KPK itu tak layak hadir di bumi nusantara ini. Dan SBY tersebut sangat berimplikasi secara politik melalui DPR lewat tindakan impeachment untuk memberhentikan SBY sebagai presiden Indonesia, karena menggunakan kekuasaan/jabatan mengeluarkan aturan perundang-undangan demi kepentingan rekayasa pelemahan KPK.
Nah, apakah kemudian pihak kepolisian mau memproses SBY secara hukum karena terindikasi atau diduga dengan tetap berlandaskan pada asas pressuntium of innocence atau asas praduga tak bersalah terlibat dalam tindakan upaya pembunuhan berencana, menghilangkan nyawa orang lain, perbuatan yang tidak menyenangkan, dan penyalah gunaan kekuasan. Sungguh sangat meragukan, karena kepolisian hari ini berada pada kondisi amoral yang tidak bisa dipercaya lagi sebagai penegak hukum jalalanan.
Berharap pada MK mungkin masih bisa dilakukan, seiring dengan pengajuan Bibit dan Chandra terhadap judicial review UU KPK yang mungkin berdampak pada dicabutnya PERPPU KPK yang tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan lemah secara hukum. Harapan terhadap MK tersebut memang terbilang besar, dan bila memang MK mengambil keputusan seperti itu maka selayaknya ditindak lanjuti oleh DPR dengan mengggunakan hak politik melakukan impeachment untuk menghentikan SBY dari jabatan Presiden RI. Mungkinkah kemudian tindakan itu dilakukan kepolisian, MK dan DPR RI, selayaknya bersama menunggu perkembangan kasus konspirasi “pembunuhan” KPK?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
Tidak ada komentar
Posting Komentar